Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tantangan Konservasi Harimau Dan Gajah

27 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sunarto*

GAJAH mati tak meninggalkan gading, harimau mati tak meninggalkan belang. Gading gajah serta kulit dan bagian tubuh harimau selalu menjadi incaran pemburu satwa. Dalam tiga tahun terakhir, hampir 200 ekor gajah, atau 10 persen dari total populasinya, ditemukan mati di seantero Sumatera. Sebagian besar tanpa gading. Sedangkan harimau terus diburu, dikuliti, dan diam-diam diperdagangkan.

Perdagangan gelap merupakan salah satu faktor yang mendorong pembunuhan dan penurunan populasi dua satwa ikonik tersebut. Dan pasar satwa langka ini tak pernah susut. Meski ada upaya untuk memperketat peredaran gading gajah, sejak 2012 permintaan pasar domestik dan internasional terus meningkat. Akibatnya, perburuan satwa kian menjadi-jadi, terlihat dari bertambahnya temuan jerat satwa.

Arena berburu pun terus meluas. Kawasan hutan tanaman industri serta perkebunan sawit, bahkan kawasan konservasi seperti taman nasional dan suaka margasatwa, telah menjadi lahan subur perburuan liar.

Tak hanya diburu, harimau dan gajah juga tertekan oleh konflik dengan manusia. Wilayah jelajah dua satwa tersebut semakin sempit karena diambil alih oleh manusia. Maka terjadilah interaksi tak ramah antara gajah-harimau dan manusia. Ketidakpahaman masyarakat tentang karakter dan perilaku satwa liar menambah parah konflik tersebut. Umumnya korban konflik adalah pendatang yang tak paham cara hidup di wilayah jelajah satwa.

Konflik dan perburuan biasanya terkait erat. Masyarakat yang terlibat konflik cenderung mencari solusi, tapi pemburu sering hadir lebih cepat dibanding mereka yang peduli terhadap nasib gajah-harimau.

Sebenarnya, di balik pembunuhan dan konflik antara manusia dan satwa, terdapat persoalan mendasar, seperti karut-marutnya pengelolaan kawasan konservasi akibat kepentingan sesaat pihak-pihak yang lebih kuat. Suaka Margasatwa Balai Raja, di tepian jalur lintas timur Sumatera, dekat Kota Duri, Riau, misalnya, kini telah menjadi bentangan perkebunan sawit. Pada awal 1980-an, bukan hanya harimau dan gajah, badak juga hidup di sana.

Kini tinggal gajah yang bertahan. Nasibnya pun terancam. Para pekerja perkebunan sawit selalu berjaga menghalau gajah klan Balai Raja yang rutin melintas di wilayah tersebut. Petasan, raungan sepeda motor, dan teriakan para pekerja kerap membuat gajah lari tunggang-langgang meninggalkan kawasan perkebunan. Tapi, lepas dari satu kebun, gajah-gajah itu masuk ke kebun lain, yang juga bersiap dengan "senjata" serupa.

Apa yang terjadi di Balai Raja sungguh mengenaskan. Menteri Kehutanan pada 1986 menetapkan sekitar 18 ribu hektare kawasan tersebut sebagai suaka margasatwa, karena merupakan habitat penting bagi gajah, harimau, dan satwa langka lain. Sejak sekitar sewindu lalu, akibat perambahan, area hutan ini tinggal sekitar 200 hektare atau hanya 1 persen dari luas semula.

Tonggak kerusakan tersebut adalah Surat Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Menteri Kehutanan Nomor 989.K/ 06/M.PE/ 1989M.PE/ 1989M.PE/1989M.PE/1989 dan Nomor 429/Kpts-II/1989 yang melegalkan pengeboran minyak di wilayah suaka tersebut. Akses yang dibuat perusahaan turut dimanfaatkan oleh masyarakat pendatang tanpa ada kendali nyata dari pengelola. Beberapa tahun kemudian, program transmigrasi pun tercatat mengambil sebagian lahan dari kawasan suaka margasatwa itu.

Buruknya pengelolaan suaka margasatwa mengakibatkan pengambilalihan lahan kawasan konservasi terus berlanjut, termasuk oleh beberapa perusahaan dan bahkan instansi pemerintah daerah setempat. Kini bukan cuma rakyat biasa yang menduduki kawasan suaka tersebut. Beberapa kantor pemerintah serta fasilitas umum pun berdiri di dalam batas suaka. Padahal proses penetapan kawasan tersebut didukung secara tertulis oleh masyarakat dan tokoh-tokoh setempat, termasuk pemerintah daerah, dengan bukti-bukti surat yang sah.

Nasib serupa dialami oleh gajah di kawasan konservasi lain, seperti Taman Nasional Tesso Nilo, yang sebenarnya menjadi harapan utama konservasi gajah di Riau. Tesso Nilo pada awal 1980-an masih memiliki wilayah hutan alam lebih dari 500 ribu hektare. Sekarang yang tersisa hanya sekitar lima persen dan belum ada tanda-tanda penggerogotannya bakal berhenti. Tak mengherankan bila gajah dan harimau menghilang dari beberapa wilayah Sumatera.

Apa yang dialami Riau sejak 1980 hingga 2010 sebenarnya pernah terjadi di Lampung pada dua-tiga dekade sebelumnya. Dan kini proses serupa tampaknya mulai berulang di Aceh.

Sebagaimana di Balai Raja, gajah di Tesso Nilo dan beberapa wilayah lain, seperti Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Aceh, masih mencoba bertahan hidup dan berkembang biak di habitat yang telah tercabik-cabik dan berganti wajah menjadi bentangan perkebunan dan area tanaman industri. Itu tak mudah.

Gajah memiliki rentang usia sekitar 50 tahun dan dapat bertahan di tempat-tempat yang nyaris tak menyisakan hutan dalam waktu yang relatif lebih lama dibanding memori manusia. Sedangkan harimau dengan masa hidup lebih pendek, sekitar 20 tahun, lebih sensitif dan menghilang lebih cepat jika terjadi kerusakan hutan dalam skala besar.

Data lapangan di beberapa kawasan di Riau menegaskan hal ini. Harimau lebih dulu menghilang atau punah secara lokal di wilayah yang hutannya telah dihabiskan atau terfragmentasi parah serta lokasinya jauh dari blok hutan yang luas tempat mereka dapat berbiak. Hilangnya harimau dari kawasan seperti itu terjadi akibat kombinasi beberapa hal: lenyapnya area jelajah, berkurangnya ketersediaan satwa mangsa, dan tingginya ancaman perburuan.

Harimau dan gajah di Sumatera kini sama-sama berada dalam kondisi kritis. Tanpa kelahiran dan regenerasi, harimau yang tersisa akan menua dan habis dengan sendirinya dalam waktu kurang dari 20 tahun. Sedangkan gajah, meskipun memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk beradaptasi di wilayah yang telah berubah, tak berarti dapat bertahan dalam tekanan terus-menerus.

Untuk menyelamatkan kedua satwa tersebut, perlindungan dari perburuan dan pembunuhan menjadi prioritas mendesak. Selain itu, keutuhan habitat mereka perlu dijaga, termasuk memulihkan yang telah rusak serta menyambungkan lokasi-lokasi yang terisolasi. Mitigasi konflik yang berfokus pada pencegahan dan respons cepat juga merupakan keharusan agar tak ada lagi korban dari pihak satwa ataupun manusia. Pemeo "siapa yang lebih penting antara manusia dan satwa" saatnya dihapus dengan menggiatkan program konservasi dan pembangunan yang terintegrasi serta program-program yang memenangkan keduanya.

Komitmen untuk menghentikan perusakan dan memulihkan populasi satwa dan habitatnya harus dimulai dari tokoh-tokoh kunci dan pejabat negara. Mereka bisa mendorong para pengusaha, pendidik, peneliti, aktivis, dan semua anggota masyarakat melestarikan dua satwa kebanggaan Indonesia itu.

Ketamakan yang mengancam harimau dan gajah akhirnya akan merugikan masyarakat. Komitmen kuat serta contoh langsung tokoh masyarakat, ditambah dukungan masyarakat yang hidup berdampingan dengan satwa tersebut, bisa menghasilkan energi besar untuk melawan keserakahan sebagian kecil manusia itu. Jika populasi serta habitat gajah-harimau berhasil pulih dan terawat, sumber daya alam yang diperlukan untuk kelangsungan hidup generasi mendatang pun bakal turut terselamatkan. Kekuatan dan pilihan ada di tangan kita.

*) Ekolog Satwa Dan Lanskap, Wwf Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus