Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zen Hae*
Bahasa Indonesia hari ini tak henti-hentinya ditantang untuk mengatakan pelbagai hal baru dalam dunia modern. Termasuk kata atau istilah terbaru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan penggunaan teknologi Internet. Sebagian besar kata atau istilah itu kita serap dari bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang paling banyak digunakan saat ini. Bagaimana kita menyerapnya ke dalam bahasa Indonesia, itulah soal utama tulisan ini.
Di media massa atau media sosial, kita mendapati istilah seperti e-commerce, e-paper, e-ticket, e-budgeting, dan e-passport, setelah email atau e-mail di masa sebelumnya. Sejauh ini kita telah menyerap email sebagai kata yang wajar dalam korespondensi sehari-hari. Tidak menjadi soal apakah ia berasal dari bahasa Inggris atau Indonesia. Sepanjang kata itu mudah dilafalkan, kita bisa menggunakannya untuk pelbagai keperluan.
Namun ada juga yang berupaya menyerap sejumlah kata asing ini dengan mencari padanan atau terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, email diterjemahkan sebagai surat-e-salah satu pihak yang mengupayakan ini adalah redaksi jurnal kebudayaan Kalam. Sedangkan e-commerce, sebagaimana dilakukan harian terbesar di Ibu Kota, diterjemahkan menjadi e-dagang (electronic-dagang). Pengertiannya, kurang-lebih, perdagangan yang berlangsung dengan bantuan teknologi Internet.
Apakah bentukan e-dagang ini wajar dan berterima? Apakah ada presedennya?
Sebelum kemunculan e-dagang, kita sebenarnya sudah menerima istilah e-KTP tanpa banyak cingcong. Namun, jika kita tilik lebih jauh, kata tersebut terasa campur aduk, seakan-akan frasa itu diturunkan dari frasa elektronik-KTP. Bukankah itu bentukan yang aneh? Sekilas ia seperti gabungan antara penerjemahan (ID atau IC > KTP) dan penyerapan (electronic > elektronik), tapi strukturnya tetap Inggris.
Dalam bahasa Inggris, electronic identity card disingkat menjadi eID atau EIC. Karena itu, jika kita ingin menyerapnya secara menyeluruh, semestinya KTP-e (KTP elektronik), bukan e-KTP. Ini selaras dengan email yang telah diserap menjadi surat-e (surat elektronik).
Kita memang belum terbiasa dengan perkara menyingkat salah satu kata dalam kata gabungan atau frasa. Kita belum pernah mendengar frasa orang Jawa disingkat menjadi o-Jawa atau orang-J dan nasi uduk menjadi n-uduk atau nasi-u. Tapi, secara terbatas, beredar singkatan pemudi L ("pemudi Linda") atau kota R seperti yang pernah menjadi kebiasaan para penulis fiksi Indonesia pada 1950-an.
Sejatinya, penyerapan frasa e-commerce dan kawan-kawannya itu mesti didudukkan ke dalam struktur bahasa Indonesia. Terlebih dulu ia mesti diterjemahkan sekaligus diserap menjadi "dagang elektronik" atau "niaga elektronik". (Ingat, jangan dirancukan dengan "dagang/niaga peralatan elektronik"!) Kemudian baru disingkat unsur yang menerangkannya: elektronik > e. Maka e-commerce bisa kita serap dan terjemahkan menjadi dagang-e atau niaga-e.
Patokan dasar dari itu semua adalah "hukum susunan kalimat", sebagaimana diperkenalkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, yakni "hukum D-M" (yang diterangkan-yang menerangkan): "Baik dalam kata majemuk maupun dalam kalimat, segala sesuatu yang menerangkan selalu terletak di belakang yang diterangkan" (Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia I, 1978: 59).
Secara umum bahasa Indonesia menganut hukum D-M, seperti dalam kalimat "Karena gemar menonton film laga, ia sering memakai kacamata hitam pada malam hari". (Perhatikan frasa kacamata hitam yang saya cetak miring.) Pengecualian, masih menurut Sutan Takdir Alisjahbana, bisa terjadi dalam beberapa kasus, seperti pada kata keterangan, kata bantu, kata bilangan, dan kata depan. Sedangkan bahasa Inggris, bahasa yang menjadi sumber serapan e-commerce dan kawan-kawannya, pada umumnya, menganut "hukum M-D" (yang menerangkan-yang diterangkan), seperti dalam frasa yang belakangan ini populer, UPS (uninterruptible power supply).
Karena secara umum susunan kalimat bahasa Indonesia menganut "hukum D-M", sudah semestinya pengindonesiaan istilah-istilah asing, dalam kasus ini, yang berkaitan dengan penggunaan teknologi Internet, juga menuruti pakem "hukum D-M". KTP-e dan dagang-e bisa kita lanjutkan dengan bujet-e, koran-e, tiket-e, paspor-e.
Penyebutan ini memang masih terasa janggal, di lidah dan di telinga. Namun, jika kita mau mencari acuan bunyinya, tidak terlalu asing. Para penutur bahasa Jawa terbiasa memberi akhiran -e pada kata benda: de-e 'dianya', wonge 'orangnya', dan seterusnya. Perkara selanjutnya tinggal bagaimana kita memulai dan membiasakannya saja. "Alah bisa karena biasa," kata peribahasa.
Memang, masih banyak di antara kita yang tetap mempertahankan bentukan asli e- dalam percakapan atau penulisan. Salah satu alasannya demi kepraktisan. Namun, bagi mereka yang peduli pada pengembangan dan pemberdayaan bahasa Indonesia, mengindonesiakan bentukan-bentukan asing itu menjadi tugas penting. Mereka berijtihad memberdayakan bahasa Indonesia-meski dengan cara yang terkesan keras kepala dan asyik sendiri. l
*) Penyair Dan Kritikus Sastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo