Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Mengharap Komisi dan Kompensasi

Haris Azhar membuka lembar demi lembar kertas yang memuat profil dan catatan pemeriksaan terhadap anak buah kapal nelayan Indonesia yang ditahan di penjara Australia pada 2008-2013.

8 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mengharap Komisi dan Kompensasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haris Azhar membuka lembar demi lembar kertas yang memuat profil dan catatan pemeriksaan terhadap anak buah kapal nelayan Indonesia yang ditahan di penjara Australia pada 2008-2013. Mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan itu kini menjadi Direktur Eksekutif Lokataru, kantor bantuan hukum untuk hak asasi manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lokataru bekerja sama dengan Ken Cush & Associates dari Australia menangani gugatan 123 remaja Indonesia terhadap pemerintah Australia. Dalilnya, polisi Australia telah keliru menahan mereka karena mengategorikan para remaja ini sebagai orang dewasa dan menahan mereka di penjara dengan pengamanan maksimum. Dalam hukum Australia, menahan anak berusia 10-15 tahun di penjara orang dewasa adalah pelanggaran hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haris dan timnya tengah mendata anak-anak mantan narapidana itu dengan mencari mereka ke pelosok-pelosok Rote di Nusa Tenggara Timur. ABK yang ditahan dengan tuduhan menyelundupkan imigran gelap dari negara-negara konflik itu datang dari pelbagai desa di Indonesia, tapi sebagian besar berasal dari NTT. "Kami masih mengumpulkan informasi tentang mereka," kata Haris pada Agustus lalu.

Selama berbulan-bulan, Haris dan timnya berburu tanda tangan anak-anak yang kini sudah dewasa tersebut untuk mendapatkan kuasa menggugat pemerintah Australia. Pada Juni lalu, misalnya, Haris bersama Sam Tierney dari kantor pengacara Ken Cush berkeliling NTT menemui anak-anak yang masih tinggal di sana. "Jumlahnya akan terus bertambah," tutur Tierney lewat surat elektronik, pertengahan Agustus lalu.

Sebanyak 274 anak yang ditangkap di perairan Australia pernah merasakan penjara. Selain Haris, pengacara Indonesia yang menangani gugatan anak-anak ini adalah Lisa Hiariej dari kantor Lisa Hiariej & Partners. Ia mengklaim mewakili 115 anak yang ia cari sejak 2014.

Berbeda dengan Haris dan Ken Cush, yang langsung menggugat pemerintah Australia di pengadilan sana, Lisa menggugat penahanan para ABK itu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November 2016. Karena menganggap tempat dan waktu kejadian perkara itu di Australia, hakim menolak gugatan tersebut. Lisa kini sedang mengajukan permohonan banding.

Ia berharap pemerintah mengganti biaya yang ia keluarkan selama memproses gugatan itu. Lisa menuntut pemerintah Australia memberikan kompensasi Rp 750 juta-50 miliar per anak. Nilai ini tak jauh berbeda dibanding nilai gugatan Haris dan Ken Cush. Haris memperkirakan gugatan itu bernilai puluhan ribu hingga ratusan ribu dolar Australia per anak.

Menurut Sam Tierney, nilai gugatan tiap anak berbeda karena tergantung lama penahanan dan lokasi penjara. Selama 2008-2013, ratusan anak itu ditangkap dalam waktu berbeda dan ditahan di imigrasi sebelum dikirim ke penjara Australia di sejumlah ibu kota negara bagian: Perth, Sydney, dan Darwin. "Nilai gugatan juga tergantung perlakuan yang mereka terima selama di penjara," ujar Tierney.

Baik Haris maupun Lisa mengaku akan menyerahkan sepenuhnya kompensasi itu kepada setiap anak. Namun, dalam perjanjian dengan setiap anak buah kapal, para remaja ini diminta menyerahkan 75 persen dari nilai gugatan untuk pengacara. "Surat perjanjian ini berlaku untuk semua anak," kata Syarif Arsyad, kini 21 tahun, yang menjadi klien Haris dan Ken.

Syarif ditangkap pada Mei 2010 dan ditahan di penjara imigrasi selama tiga bulan di Pulau Christmas. Tiga bulan setelah bebas, ia kembali melayarkan imigran dan ditangkap untuk kedua kalinya. Ia lantas enam bulan mendekam di penjara imigrasi. Syarif kini menjadi nelayan di Alor, NTT.

Surat perjanjian itu hanya menerakan nilai persentase untuk tiap anak dan pengacara. Syarif mengaku tak tahu nilai uang yang akan ia terima jika gugatannya dikabulkan pemerintah Australia. Haris membantah nilai bagian gugatan tersebut. "Setahu saya cuma 10-20 persen untuk pengacara, tapi persisnya saya tidak tahu," ucapnya.

Muhammad Rasid, kini 23 tahun dan menjadi pedagang di Tangerang, Banten, mengatakan tak tahu nilai kompensasi yang dituntut Lisa Hiariej. "Saya mah yang penting bisa ngegolin kasus ini," tutur Rasid, yang menghuni penjara dewasa Australia pada 2009-2010.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus