Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI sebelum mengetuk palu untuk memutuskan nasib politikus Partai Gerindra, Muhammad Taufik, komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum DKI Jakarta, Puadi, menghadap Ketua Bawaslu RI Abhan dan komisioner Bawaslu RI, Edward Fritz Siregar. Di kantor Bawaslu di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis dua pekan lalu, Puadi melaporkan hasil rapat pleno mengenai putusan sidang adjudikasi perkara Taufik yang digelar hari itu. "Kami aktif berkonsultasi dengan Bawaslu RI," ujar Puadi, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puadi mengabari Abhan dan Edward bahwa Taufik bisa kembali mendaftarkan diri sebagai calon legislator. Komisi Pemilihan Umum Jakarta awalnya mencoret Taufik dari daftar calon anggota legislatif sementara Pemilihan Umum 2019 karena statusnya bekas narapidana korupsi. Bekas Ketua KPU DKI itu pernah mendekam di penjara selama 18 bulan karena terbukti melakukan korupsi dalam proyek pengadaan alat peraga Pemilu 2004 yang merugikan negara Rp 488 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Esoknya, dalam sidang putusan, Puadi, yang menjadi ketua majelis sidang perkara sengketa proses pemilihan, resmi mengabulkan gugatan Taufik. "Setelah dari Bawaslu RI, kami hanya merapikan susunan putusan," ujarnya. Edward dan Abhan enggan menanggapi pertemuan dengan Puadi sebelum sidang putusan. Tapi komisioner Bawaslu RI, Rahmat Bagja, membenarkan ada pertemuan tersebut. "Konsultasi saja," ujarnya.
Komisi Pemilihan Umum sudah memprediksi Bawaslu akan mengeluarkan putusan yang membolehkan bekas narapidana korupsi berlaga dalam Pemilu 2019. Sejak awal, Bawaslu memang menentang keras Pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota. Pasal itu menyatakan partai politik tidak boleh menyertakan bekas terpidana bandar narkotik, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi sebagai calon anggota legislatif.
Selain ditentang Bawaslu, peraturan KPU tersebut dikecam partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly. Mereka berpendapat peraturan tersebut berlawanan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 240 Undang-Undang Pemilu menyatakan tidak ada larangan bagi mantan narapidana apa pun untuk mendaftarkan diri sebagai calon anggota Dewan. Siapa pun yang pernah dipidana bisa mencalonkan diri asalkan berterus terang mengenai statusnya kepada masyarakat. Pada Juni lalu, Menteri Yasonna mengatakan, bila peraturan KPU tentang pencalonan disahkan, akan timbul gejolak.
Setelah aturan tersebut disahkan, pada 5 Juli lalu pemimpin DPR menggelar pertemuan tertutup dengan pemimpin Komisi Pemerintahan DPR, Ketua Bawaslu Abhan, Ketua KPU Arief Budiman, Tjahjo Kumolo, dan Yasonna. Mereka membahas peraturan KPU itu panjang-lebar.
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan dari Fraksi PKB, Nihayatul Wafiroh, menuturkan, dalam pertemuan itu disepakati bekas narapidana korupsi bisa mendaftarkan diri sebagai calon anggota Dewan. Dengan catatan, kata Nihayatul, partai meneken pakta integritas tidak memasukkan bekas terpidana narkotik, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi ke daftar calon legislator. "Kesepakatan lain, menunggu adanya putusan Mahkamah Agung tentang gugatan uji materi PKPU," ujar Nihayatul.
Politikus Gerindra, Muhammad Taufik, termasuk yang pertama-tama menggugat peraturan KPU ke Mahkamah Agung pada Juli lalu. Dalam pertemuan antara KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Rabu pekan lalu, ketiga lembaga menyepakati putusan Mahkamah Agung sebagai solusi atas kisruh pencalonan bekas narapidana. DKPP juga meminta partai menepati pakta integritas yang mereka teken setelah pertemuan di DPR. "Semoga bisa terpenuhi," ujar Ketua DKPP Harjono.
KPU tak goyah meski ditekan kiri-kanan. Pada 29 Agustus lalu, KPU pusat mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada KPU daerah bahwa aturan yang melarang napi koruptor maju masih berlaku meski Bawaslu telah meloloskan mereka. "Aturan ini masih berlaku. Kami akan menyatakan status mereka tidak memenuhi syarat," ujar Ketua KPU RI Arief Budiman.
Seorang komisioner Bawaslu RI dan dua komisioner Bawaslu provinsi di Jawa menuturkan, polemik pencalonan terjadi, antara lain, karena panas-dingin hubungan Bawaslu dengan KPU RI. Tegangnya hubungan kedua lembaga awalnya dipicu penolakan Bawaslu mengenai kewajiban meng-input data melalui Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) sebagai syarat utama pendaftaran pemilu. Permintaan Bawaslu tak digubris KPU. Ketika partai yang tak lolos karena tak mengisi Sipol mengajukan gugatan, Bawaslu mengabulkannya.
Bawaslu juga disebut masygul terhadap komisioner KPU, Wahyu Setiawan, yang memberikan keterangan berbeda kepada Badan Reserse Kriminal mengenai dugaan pelanggaran aturan kampanye oleh Partai Solidaritas Indonesia. PSI memasang iklan di Jawa Pos mengenai alternatif calon wakil Presiden Joko Widodo. Dalam pariwara itu tercantum pula nomor urut PSI pada Pemilu 2019.
Di depan polisi, Wahyu menyatakan tidak ada pelanggaran. Tapi, ketika memberikan keterangan di Bawaslu, Wahyu menyebutkan iklan itu termasuk kampanye. Pada Mei lalu, Ketua Bawaslu Abhan menyebutkan pernyataan Wahyu inilah yang berkontribusi pada berhentinya penyidikan perkara pelanggaran kampanye oleh PSI.
Anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja, tidak membantah kabar bahwa hubungan lembaganya dengan KPU renggang. "Sesama lembaga harus saling menghargai," ujarnya. Adapun Wahyu enggan menanggapi perseteruan lembaganya dengan Bawaslu. "Itu sudah selesai," katanya, Rabu pekan lalu.
Perselisihan Bawaslu dan KPU tampaknya bakal terus panas. Rahmat Bagja dari Bawaslu RI menyebutkan lembaganya telah menginstruksikan Bawaslu daerah meloloskan bekas narapidana korupsi. Bawaslu berkukuh berpegang pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. "Kami memberikan arahan lisan. Keputusan di daerah di bawah supervisi Bawaslu," ujar Rahmat Bagja.
Anggota Bawaslu DKI, Puadi, mengatakan, pada Senin pekan lalu, Bawaslu RI mengadakan pertemuan dengan sepuluh Bawaslu daerah di Hotel Grand Mercure, Harmoni, Jakarta. Selain Bawaslu DKI, ada antara lain Bawaslu Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Menurut Puadi, pertemuan itu dibuka Rahmat Bagja dan Edward Fritz Siregar. "Salah satu yang dibahas adalah putusan calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi," ujarnya.
Hingga Jumat pekan lalu, setidaknya 25 calon legislator berstempel bekas narapidana korupsi di sejumlah kabupaten dan provinsi diloloskan Bawaslu daerah. Misalnya di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, dan di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Rahmat Bagja menuturkan, jumlahnya mungkin bakal terus bertambah.
Hussein Abri Dongoran, Fitria Rahmawati, Fikri Arigi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo