Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya beberapa lembar laporan muncul di mesin faks. Namun, angka-angka di atasnya jelas menunjukkan satu hal: pemilik perusahaan di atas mestinya sosok yang bonafide, menyimpan uang gede dalam buku tabungan. Fasilitas yang boleh dia gunakan—tertera dalam laporan bank tersebut—misalnya antara lain dua kartu kredit Gold Visa (dengan batas maksimum US$ 30 juta) dan Gold Master (US$ 20 juta). Istrinya, Barbara Louise Odang—yang gemar berbelanja perhiasan di Tiffany, Singapura—juga menerima fasilitas serupa. Sang nyonya boleh menggesek kartu Gold Visa hingga US$ 35 juta.
Memo itu di satu sisi menunjukkan betapa mewahnya hidup seorang Erry Oudang. Di sisi lain, tampak suatu hubungan yang akrab antara Erry dan Foster Wheeler (FW), perusahaan kontraktor asal Inggris yang mengerjakan kilang Exor I Balongan—kilang raksasa Pertamina yang dibangun dengan biaya kelewat mahal sehingga merugikan negara ratusan miliar rupiah.
Siapakah Erry Oudang? Nama ini tak pernah terdengar di kalangan pengusaha atau miliuner Indonesia—kendati ia benar-benar miliuner. Ia justru punya kelebihan dibandingkan dengan para miliuner biasa: mampu mencetak puluhan juta dolar Amerika dengan kepandaian makelar hanya dalam beberapa tahun (lihat boks: Malin Kundang, Sang Keponakan).
Seperti ditunjukkan oleh memo yang ditemukan kakak kandung Erry, Hazier Moien, dan diperlihatkan ke TEMPO dua pekan lalu, Erry mestinya tak bisa mengelak keterlibatannya dalam proyek yang diresmikan pada 1995 itu. Dua tahun lalu silam, ia mengatakan: “Semula saya berminat menjadi kontraktor di proyek itu, tapi akhirnya ragu dan tak jadi. Saya tak tahu-menahu lagi soal kilang Balongan,” ujarnya (TEMPO, 16 November 1998). Dalam wawancara TEMPO, Oktober 1999, pun akhirnya ia mengakui dirinya hanya sebagai “duta besar” FW. “Ketika FW datang ke sini, saya ikut mendesain dan mengembangkannya selama empat tahun. Setelah FW menemukan konfigurasi perencanaan kilang dan biaya yang dia butuhkan, saya sudah tidak terlibat lagi,” tuturnya ketika itu.
Boleh-boleh saja Erry berkilah. Namun, terlalu banyak saksi yang bisa mengatakan keterlibatannya di Balongan, sejak proyek ini direncanakan hingga bergulir. Keponakan angkat almarhumah Tien Soeharto itu berperan besar dalam penentuan nilai proyek yang belakangan dinilai supermahal. Dari proyek ini, lulusan sebuah sekolah menengah di Den Haag, Belanda, yang sebelumnya boleh dikatakan “tak berpunya” , kini bergelimang dalam dolar. Sejumlah kerabatnya memastikan, semua kemewahan yang dinikmati pria yang kini gemar menyamarkan penampilannya itu —entah apa yang ditakutinya—berasal dari proyek Balongan. Ditotal-total, sebagai mitra lokal FW—yang resmi—dan dari berbagai jasa permakelaran (yang tidak resmi) di Balongan, kabarnya ia berhasil menangguk US$ 80 juta. Jumlah yang mungkin tak terbayangkan oleh rakyat kebanyakan: Rp 168 miliar (itu pun dihitung menurut kurs tahun 1995, yang cuma sekitar Rp 2.100).
Siapa pun dia, Erry hanyalah satu pion dalam percaturan tipu-menipu yang mengiringi pembangunan Exor I Balongan -- yang terletak di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Ya, dia hanya salah satu pemain dari banyak nama lain yang berpesta di proyek senilai US$ 2,45 miliar itu. “Otak Erry tidak mampu menjadi “dalang” mark-up Balongan,” ujar Herman Spiro, eksekutif perminyakan yang pernah bekerja sama dengan Erry.
Nah, jika pion saja dapat mengantongi uang sebesar itu, berapa besar pula yang bisa masuk ke kantong sang “dalang”?
Proyek Exor I (export-oriented refinery) Balongan—begitu namanya semula—adalah kilang pemurnian minyak terbesar di dunia yang dibangun dengan dana raksasa pula. Didesain untuk mengolah minyak mentah Duri dan Minas, Riau, ia ditargetkan mengalirkan 125 ribu barel minyak per hari, yang akan dilempar ke pasar dunia. Yang terjadi kemudian, Balongan tak pernah menjual minyaknya ke luar negeri. Semua minyak dijual di pasar domestik dengan alasan efisiensi penyediaan bahan bakar.
Proyek ini dibangun dengan cita-cita nan manis. Untuk membangunnya, pemerintah semula tak akan direpotkan dengan pendanaannya. Pemerintah Inggris—melalui FW—menjanjikan hibah US$ 60 juta berikut pinjaman lunak US$ 140 juta. Sisanya ditanggung sindikasi pembiayaan internasional. Utang ini cuma perlu dicicil dengan hasil penjualan selama 12 tahun masa produksi. Di atas kertas, Balongan diperkirakan mampu menyetor laba sekitar US$ 4 juta pada tahun pertama. Setelah pelunasan utang komersial, Pertamina tinggal membuka kasnya untuk menampung dolar keuntungan yang masuk.
Rencana tinggal rencana. Realisasinya, hibah dan pinjaman lunak tak jadi turun, sementara FW beserta anggota konsorsiumnya melenggang masuk ke Balongan tanpa melalui tender terbuka—yang otomatis membuat proyek jatuh lebih mahal. Selain FW, anggota konsorsium lainnya adalah British Petroleum (BP) sebagai koordinator pemasaran, Japan Gasoline Corporation (JGC) sebagai kontraktor, dan Mitsui Corporation sebagai pencari dana. Sesuai dengan peraturan pemerintah, perusahaan asing itu harus menggandeng mitra lokal. FW membawa Erry Oudang, JGC bersekutu dengan Bob Hasan.
Pola tanpa tender semacam itu tak hanya terjadi di level-level atas, tapi juga terjadi di tingkat subkontraktor. Sumber TEMPO di Pertamina menunjuk contoh sebuah perusahaan yang membangun tangki dan fasilitasnya serta sandaran tanker bernilai di atas US$ 200 juta. Sumber itu juga mencurigai Chicago Bridge Indonesia (CBI)—milik Pertamina, patungan saham dengan pengusaha Ongko Wendratmo—mendapat proyek sekitar US$ 100 juta tanpa lewat tender. “Seharusnya ditenderkan, dong. Itu kan pekerjaan gede banget,” ujarnya.
Seperti penyakit, pola tak sehat itu pun seperti menyuburkan praktek-praktek penggelembungan harga. Katalis untuk mempercepat proses pemurnian minyak yang dibeli—lagi-lagi tanpa tender—misalnya, dipatok dengan harga US$ 600 per ton lebih mahal dari harga pasar bebas. Saat mulai beroperasi, persediaan katalis sudah dibeli 20 ribu ton untuk dua tahun ke depan. Dari sini saja sudah ada US$ 12 juta yang diboroskan begitu saja.
Mark-up memang terjadi dengan bermacam-macam modus. Simak misalnya yang dikerjakan Erry. Diam-diam, agen FW ini berselingkuh dengan JGC sehingga ia mendapat proyek mengangkut semua peralatan untuk keperluan kilang, yang beratnya 400 ribu ton. Mestinya, konsorsium bisa mencarter kapal sendiri dengan harga paling mahal US$ 75 per ton. Tapi Erry bisa mendapatkan proyek itu dengan harga US$ 125 per ton. Padahal, ternyata JGC juga yang memodali dan membayari usaha pengangkutan itu. Nah, keuntungan dari perselingkuhan ini tentu saja tak dimonopoli Erry sendiri, tapi dibagi-bagi. “Saya melihat sendiri perjanjian tersebut,” ujar rekan bisnis Erry, Zul Arsjad. Erry sendiri berkali-kali gagal dikontak TEMPO. Sejak tahun silam ia memang sudah sulit ditemui wartawan dalam urusan Balongan. “Terserah, Anda mau tulis apa. Soalnya, apa pun yang saya jelaskan, saya akan tetap dianggap kroni (Soeharto),” tuturnya dalam sebuah wawancara dengan TEMPO, setahun silam.
Cara Erry dan JGC menjebol dana proyek sebetulnya bukan modus istimewa, tapi maknanya luar biasa: dalam sebuah proyek yang penuh kongkalikong, orang bisa menyedot jutaan dolar uang negara dengan modal tangan kosong. Uang negara? Tepat sekali. Pertamina, BUMN yang seharusnya menciptakan sebesar-besarnya keuntungan untuk kemakmuran rakyat, modalnya kini malah digerogoti bertahun-tahun oleh Balongan. Pada tahun pertama operasi, Balongan sudah mencatat rugi Rp 500 miliar. Tahun berikutnya rugi lagi sekitar Rp 300 miliar. “Tiap tahun boleh dikata Pertamina hanya menghabiskan kasnya untuk menutupi defisit,” ujar pengamat minyak dan gas yang pernah menjadi staf ahli Departemen Pertambangan dan Energi, Ramses Hutapea.
Tapi, apa yang bisa dilakukan pemerintah? Balongan—seperti kasus megakorupsi lainnya—cenderung terbungkus dalam kabut misteri. Di sana ada nama-nama besar, selain uang yang lebih besar lagi. Kejaksaan Agung pernah berupaya menyibakkan kabut ini. Pada Mei 1999, jaksa agung waktu itu, Andi M. Ghalib, melontarkan surat kepada presiden, waktu itu dijabat Habibie.
Dua nama, Faisal Abda’oe (mantan Dirut Pertamina) dan Tabrani Ismail (bekas direktur pengolahan Pertamina), disebut sebagai calon tersangka. Mereka dianggap bertanggung jawab atas naiknya nilai proyek sehingga, menurut catatan Kejaksaan Agung, lebih mahal US$ 113 juta (versi lain menyebutkan US$ 800 juta, tapi angka pasti memang sulit ditemukan. Bekas Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Soedarjono, mengaku tidak pernah melihat hasil audit Balongan hingga pensiun tahun lalu).
Menurut sumber TEMPO, dalam laporan Kejaksaan itu sebenarnya juga tertulis nama bekas Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, bekas Direktur Pertamina A.R. Ramly, Erry P. Oudang, dan Bing Cintamani sebagai calon tersangka. Namun, tanpa alasan yang jelas, kabarnya Presiden Habibie meminta agar nama-nama itu dihapus sehingga hanya menyisakan nama Tabrani dan Faisal. Nama-nama seperti Sigit Hardjojudanto dan Siti Hardijanti “Tutut” Indra Rukmana, yang dicurigai ikut kecipratan proyek ini, sama sekali tak disebut-sebut dalam laporan itu.
Media massa dan DPR sempat meributkannya ketika surat Ghalib bocor ke masyarakat. Ketika itu Mentamben Kuntoro Mangkusubroto serta-merta menjanjikan pengusutan tuntas. Tapi, begitulah. Andi Ghalib turun, Habibie meninggalkan Istana, Kuntoro kini pindah ke kursi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara. Dan kasus Balongan kian berdebu, tenggelam dalam lemari dan map-map perkara Kejaksaan Agung. Kuntoro kini menolak dimintai komentarnya. “Kok, tanya sama saya? Tanya, dong, sama yang berwewenang,” katanya. Sementara itu, Kejaksaan Agung, yang punya wewenang, seperti jalan di tempat.
Hingga hari ini kasus Balongan masih berstatus dipelajari Jaksa Agung Muda Intelijen, Mayjen Jusuf Kertanegara—sebuah tahap yang sudah dilakukan pada masa Andi Ghalib. Juru bicara Kejaksaan Agung, Soehandojo, menjelaskan, kesulitan terletak pada kejadiannya yang sudah lama. Jadi? “Segera setelah tahap pengumpulan bahan selesai, kami melangkah ke tahap berikutnya. Sekarang ini kami belum melakukan pemanggilan,” demikian Jaksa Agung Marzuki Darusman menjawab melalui telepon internasional dari Thailand, pekan lalu.
Janji Marzuki agaknya lebih mirip retorika pejabat, bila menilik rapor Kejaksaan Agung yang minus dalam menyelidiki kasus korupsi selama ini. Belum lagi kalau bicara sejarah korupsi di Pertamina. Lupakan Balongan. Kasus deposito pribadi US$ 80 juta Achmad Thahir—Direktur Keuangan Pertamina di bawah Ibnu Sutowo (1957-1976), yang menghebohkan pada era 1970-an—belum tuntas sampai hari ini. Setali tiga uang dengan tabungan pribadi Ibnu Sutowo, seperti diberitakan koran Indonesia Raya Edisi 30 Januari 1970, sejumlah Rp 90,84 miliar (ketika kurs dolar AS setara dengan Rp 400).
Balongan seperti ulangan dari sekian kisah lain yang pernah diwariskan Orde Baru: dilahirkan dengan cita-cita megah, mendapat restu penguasa, realisasi penuh kolusi dan semrawut, tuding-menuding antara para penanggung jawab. Ujung-ujungnya, negara—serta rakyat, sebagai pemilik negara—yang harus menanggung setiap sen kerugian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo