Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Kilang Exor tanpa Ekspor

Selama tiga tahun terakhir, kilang Balongan mengalami sembilan kali kerusakan sehingga tak berproduksi selama 265 hari dan merugi US$ 35 juta. Rancangan untuk kilang ini memang merepotkan.

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ASYHAB memandang deretan tangki minyak raksasa dari balik jendela kantornya, suatu pagi, dua pekan lalu. Manajer Umum Kilang Unit Pengolahan Balongan IV itu tersenyum dengan wajah sumringah. Hari itu, mesin beroperasi normal di semua unit. Maka, menjelang senja hari, kilang itu akan mengalirkan 125 ribu barel minyak beserta semua hasil olahan residunya, melalui pipa sepanjang 211 kilometer, ke Ibu Kota.

Sejak beberapa bulan lalu kilang pengolahan minyak mentah itu mampu berproduksi pada kapasitas maksimal, 125 ribu barel per hari. Tapi masa yang baik tidak terbit setiap hari—apalagi di Balongan, yang masih sering berurusan dengan kerusakan mesin. Empat bulan setelah Presiden Soeharto meresmikan kilang ini pada Mei 1995, Balongan sudah keok.

Padahal, sebelum pita digunting, mesin kilang baru saja direparasi setelah ngadat tiga bulan. Selama tiga tahun berikutnya, kilang ini mengalami sembilan kali kerusakan. Akibatnya, kilang tak bisa berkutik selama 265 hari. Ini berarti Balongan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan US$ 35 juta.

Selama ini lebih dari 94 persen produksi kilang Balong dialirkan ke Jakarta. Padahal, kilang yang pernah dinamakan Exor (Export Oriented) I Balongan itu semula diniatkan menghasilkan minyak untuk diekspor. Untuk mewujudkan ambisi menjaring dolar itu, dibenamkan investasi tak tanggung-tanggung: hampir US$ 2,45 miliar atau Rp 5,6 triliun dengan hitungan kurs sebelum akhir 1995.

Dibangun di atas areal 250 hektare, kilang Balongan memang bukan proyek kecil-kecilan. Selain memiliki unit pengolah minyak mentah, kilang ini juga punya unit pengolah residu RCC (Residue Catalytic Cracking) yang terbesar di dunia, yakni 83 ribu barel per hari (yang nomor dua terbesar hanya berkapasitas 45 ribu barel per hari). Namun, di balik kapasitasnya yang mega itu, unit RCC ini ternyata punya desain yang merepotkan.

Ambil contoh, regenerator RCC. Sekali rusak, mesin ini butuh waktu paling sedikit 21 hari untuk mendinginkan, membuka, dan memanaskannya kembali. Beres? Tunggu dulu. Begitu regenerator ditutup lagi dan dipanaskan, tak ada seorang pun yang bisa menjamin bahwa perbaikan tadi akan membuat proses berjalan lancar.

Semua kerumitan itu masih ditambah dengan “keunikan” spesifikasi peralatan. Kilang ini mendapat pasokan peralatan dari 12 negara berbeda, dengan spesifikasi berlainan. Artinya? Satu saja alat rusak, berarti perlu waktu lama untuk menunggu penggantinya yang harus didatangkan dari negara asal. Kerugian akibat kondisi kilang yang sakit-sakitan—setelah investasi yang begitu mahal—membuat Pertamina, pada 1996, harus menguras tabungan hingga US$ 1,16 miliar guna menutup utang Balongan.

Selain merugikan rakyat secara tak langsung, Balongan juga menimbulkan persoalan terhadap penduduk sekitarnya. “Bertahun-tahun kami menderita karena bau gas yang datang dari arah kilang,” ujar Nanan Jualiana, 30 tahun, warga Desa Kosambi. Selama ini, penduduk desa terdekat dari areal kilang itu tidak berani memprotes. Setelah ada perubahan suasana politik pada Mei 1998, baru warga setempat sepakat berdemo, meminta tanggung jawab Pertamina soal bau gas tadi. Berhasil.

Pada 1999, unit kilang pengolahan Pertamina itu menganggarkan dana pengembangan lingkungan Rp 100 juta lebih. Duit ini disalurkan dalam bentuk bantuan koperasi simpan-pinjam. Pihak kilang juga memenuhi tuntutan warga untuk uang ganti rugi, obat-obatan, susu—saban ada kebocoran gas—serta memberi pekerjaan kasar kepada penduduk setempat. Selain itu, Balongan juga mempersilakan warga sekitar memanfaatkan kawasan penyangga (luasnya 250 hektare) dengan ongkos sewa yang sangat murah: Rp 200 per hektare.

Namun, berbagai kerugian dan masalah yang ditimbulkan Balongan sesungguhnya tak semuanya bisa dijawab dengan uang. Ia berutang jawaban kepada publik mengapa kilang yang dibangun dengan cita-cita megah itu—mengekspor minyak—akhirnya “cuma” memasok keperluan domestik. Ia juga berutang jawaban terhadap sejumlah tuduhan: mark-up, korupsi, desain yang membuat kilang tak bisa bekerja efisien, yang membuat kilang itu mungkin tak mampu untung sampai kapan-kapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus