Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Perjalanan Sebuah Kolusi

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALONGAN adalah “karya” Orde Baru yang “luar biasa”. Proyek ini benar-benar mega dalam segala hal: melibatkan dana yang sangat besar, nama-nama penggede beserta kroni-kroninya, dan (mungkin) kolusi dan korupsi gila-gilaan—yang memang masih belum dan tampaknya sulit dibuktikan secara hukum. Menyimak kronologi sejarah kelahirannya, tak mengherankan bila proyek ini melahirkan kilang dengan kerugian luar biasa pula.

1 April 1985
Perdana Menteri Inggris (ketika itu) Margaret Thatcher menawarkan hibah US$ 60 juta dan pinjaman lunak US$ 140 juta untuk membangun kilang di Indonesia.

21 Mei 1985
Foster Wheeler (FW), perusahaan pembangunan kilang dari Inggris, bertemu dengan staf ahli Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

7 Maret 1988
Pertamina mengirim surat kepada Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) selaku Ketua Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP). Isinya meminta persetujuan prinsip pengembangan proyek yang ditawarkan Inggris. Dengan memanfaatkan hibah dan pinjaman lunak, total investasi diperkirakan US$ 938,6 juta. Dalam surat itu disebutkan bahwa FW sebagai kontraktor, British Petroleum sebagai koordinator pemasaran, dan Mitsui & Co. sebagai pencari dana. Tidak dijelaskan kenapa Mitsui langsung ditunjuk tanpa lewat tender.

22 Maret 1988
Permintaan izin prinsip dari Pertamina untuk membangun kilang Exor disetujui DKPP lewat Mentamben Prof. Subroto, dengan prinsip pembiayaan yang tidak membebani anggaran pemerintah (non-recourse financing). Jadi, pembayarannya akan dibiayai seluruhnya dengan hasil kilang.

2 Agustus 1988
Terbentuk Japanese Financing Corporation, yang terdiri atas Mitsui, C. Itoh, Toyo Menka, Niisho Iwai, Soemitomo, dan Marubeni, yang akan menghimpun dana untuk Exor I Balongan. Japan Gasoline Corporation (JGC) diikutkan atas usul pihak Jepang. FW menyetujui dengan alasan JGC sudah berpengalaman membangun di Proyek Paraxylene Cilacap.

1-2 Maret 1989
Rapat konsorsium dengan Pertamina di London. Konsorsium memberikan harga awal investasi Exor I sekitar US$ 2,7 miliar. Angka ini belum memasukkan komponen bunga dan pajak. Harga ini memang belum definitif karena sedang dilakukan pengumpulan data secara menyeluruh. Pertamina meminta harga ini diturunkan.

14 April 1989
FW mengajukan revisi harga menjadi US$ 2,126 miliar. Penurunan harga secara drastis itu, menurut ketua tim negosiasi Tabrani Ismail, karena Pertamina berhasil menolak biaya komisi yang diajukan FW, yang besarnya mencapai 25 persen dari proyek. Rincian komisi yang diminta FW masing-masing 10 persen untuk agen, 1 persen sebagai uang muka, 10 persen untuk Mitsui, 20 persen untuk Mitsui/JGC, dan asuransi 2 persen.

20 Juni 1989
Konsorsium kembali mengajukan tawaran baru, sekitar US$ 1,996 miliar. Harga ini bisa dicapai karena Pertamina akan menggunakan tangki minyaknya sendiri, kapasitas atmosphere residue hydro demetalisation (ARHDM) diubah dari 3 menjadi 2 train dengan kapasitas masing-masing 29 ribu barel per hari, sedangkan kapasitas residue catalyst cracking (RCC) naik menjadi 83 ribu barel per hari. Penambahan kapasitas RCC, menurut BPPT, hanya menaikkan biaya hingga US$ 45 juta, sedangkan JGC menawarkan US$ 61 juta. Menurut Zul Arsjad, kolega Erry Oudang, tangki itu tak mungkin diberikan karena milik salah satu kontraktor Pertamina. Dan normalnya, soal tangki seharusnya sudah masuk dalam perhitungan awal. Di kemudian hari, kasus ini menyebabkan biaya proyek meningkat.

16 Juli 1989
Kepada Bing Cintamani, mitra lokal FW, staf ahli Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek), Profesor Kho Kian Hoo, menyarankan agar proyek yang dikerjakan sendiri oleh Pertamina (owner scope) diintegrasikan dalam kontrak, bukan dipisahkan. Kho juga menyarankan agar hibah pemerintah Inggris jangan dimasukkan dalam kontrak. Alasannya, kontrak pembangunan fisik tidak ada hubungannya dengan pendanaan, dan menjadi tanggung jawab kontraktor untuk menyediakan dananya. Namun, hingga perundingan sampai tahap final, rencana hibah ini selalu dimasukkan. Akibatnya, ketika hibah tak jadi diperoleh, nilai proyek membengkak lagi senilai hibah yang batal.

26 Juli 1989
Konsorsium menulis surat kepada Direktur Pengolahan Pertamina. Mereka menawarkan US$ 1,859 miliar dengan bagian yang akan dibangun Pertamina sebesar US$ 120 juta. Jadi, nilai total proyek adalah US$ 1,979 miliar. Namun, dalam surat ini, FW tidak tegas menyebutkan berapa nilai kontraknya.

2 Agustus 1989
Pertamina menambahkan harga katalis, pembelian tanah, dan biaya arsitek kilang, sehingga proyek yang dikerjakan sendiri oleh Pertamina besarnya naik menjadi US$ 190 juta. Sedangkan kontrak kilang menurut mereka harganya bisa ditekan sampai sekitar US$ 1,55-1,7 miliar berdasarkan pengalaman membangun kilang di Cilacap, Dumai, dan lain-lain. Dalam suratnya, Pertamina juga menyatakan bahwa biaya yang diajukan konsorsium adalah US$ 2,049 miliar. Jadi, perkiraan Pertamina lebih rendah sekitar US$ 300 juta.

8 Agustus1989
Menristek (kala itu) Habibie memberikan surat Pertamina itu kepada Kho dan ia berbeda pendapat dengan Pertamina. Kho mempertanyakan dari mana Pertamina mendapat angka US$ 2,049 miliar karena konsorsium tidak menyebutkan biaya pastinya. Yang kedua, biaya katalis, arsitek, dan pembebasan tanah sudah termasuk dalam US$ 120 juta, jadi tak perlu ditambah US$ 70 juta lagi. Menurut Kho, harga yang bisa ditoleransi adalah US$ 1,94-1,95 miliar, termasuk proyek Pertamina yang tetap US$ 120 juta. Kho juga meragukan kemampuan Pertamina untuk menangani pekerjaan sebesar itu.

10 Agustus 1989
Menanggapi surat staf Menristek itu, Direktur Utama Pertamina mengirim surat kepada Mentamben dan masih menganggap bahwa harga tertinggi yang layak adalah US$ 1,823 miliar, dan totalnya, termasuk pekerjaan yang dilakukan Pertamina, adalah US$ 1,999 miliar.

Mentamben (waktu itu) Ginandjar Kartasasmita mengirim surat kepada Direktur Utama Pertamina, yang salah satu isinya meminta agar dalam negosiasi kembali Pertamina memperhatikan pendapat Prof. Kho dan hasil negosiasinya dilaporkan langsung kepada Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri dan Pengawasan Pembangunan. Menurut Tabrani, surat tersebut harus dilaksanakan oleh Pertamina sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8/1971 tentang Pertamina. Ginandjar mengaku tidak sempat memeriksa secara teliti satu per satu dokumen Balongan karena, menurut pengakuannya, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/88 telah membatasi kewenangannya terhadap proyek dengan nilai Rp 3 miliar ke atas. “Itu peraturannya dan saya mengikuti apa kata Inpres saja,” katanya. Ketika dipersoalkan kenapa ia tidak memberikan pertimbangan dan saran, yang bisa dilakukannya sesuai dengan UU Nomor 8/1971 tentang Pertamina, ia tetap bersikeras tidak melakukannya karena berpegang pada Inpres. Surat Ginandjar ini menyebabkan nilai proyek yang diajukan adalah US$ 1,999 miliar, padahal harga awal dari Pertamina adalah US$ 1,85 miliar.

1 September 1989
Konsorsium dan Pertamina akhirnya menyepakati harga US$ 1,999 miliar; sebagian di antaranya (US$ 176 juta) merupakan proyek yang dikerjakan Pertamina. Presiden Soeharto secara langsung memberikan catatan di kop surat FW kepada Pertamina tertanggal 27 Juli 1989. Isi catatan itu agar Pertamina mempercepat negosiasi proyek Balongan dan supaya jangan ditunda lagi. Katebelece ini diberikan Soeharto kepada Ginandjar sebagai Mentamben, dan menurut Ginandjar kepada TEMPO, ia meneruskannya tanpa imbuhan apa pun kepada Direktur Utama Pertamina. Oleh Pertamina, tulisan Soeharto itu diartikan bahwa harga di atas tak bisa diutak-atik lagi. Sedangkan kata Ginandjar, “Kalau menteri mau tanya ini-itu, akan dianggap menghambat dan punya kepentingan dengan proyek ini. Karena itu, ya, saya teruskan saja.”

6 September 1989
Tabrani resmi menyetujui nilai proyek US$ 1,999 miliar dan mengirim surat kepada Dirut Pertamina agar pelaksanaan proyek Exor I diajukan kepada Menko Ekuin dan Wasbang. Dalam surat itu, Tabrani juga mengusulkan FW dan JGC sebagai kontraktor Exor I, walaupun tanpa tender, karena keduanya sudah ada sebelum ia menjabat direktur pengolahan dan atas saran “pemerintah”, FW dan JGC dipakai di proyek Balongan. Menko Ekuin & Wasbang setuju. FW dan JGC ditunjuk sebagai kontraktor, BP koordinator pemasaran, dan Mitsui pencari dana. Menurut pengakuan Tabrani kepada TEMPO, menjelang turunnya katebelece Soeharto, seorang utusan Erry Oudang datang kepadanya dan memperingatkan agar ia, kalau masih ingin menjabat di Pertamina, tidak menghambat proyek Exor I.

5 April 1990
Hibah dari Inggris batal sehingga konsorsium memberikan diskon US$ 10 juta dan nilai total proyek menjadi US$ 1,989 miliar. Seharusnya konsorsium memberikan diskon US$ 60 juta atau senilai hibah yang batal itu karena tanggung jawab konsorsiumlah untuk menyediakan dana. BP sebagai pemasar mendapat komisi 2,75 persen.

23 April 1990
Kontrak pembangunan fisik ditandatangani. Erry Putra Oudang sebagai sales representative FW di Indonesia, sedangkan JGC menggaet Bob Hasan lewat Inti Karya Persada Teknik sebagai mitranya. FW, yang mengusulkan pembangunan ini, hanya mengerjakan 3 persen dari proyek, sedangkan sisanya dikerjakan JGC.

4 Agustus 1990
Ketua Kelompok (KK) I Exor Balongan, dipimpin Joesoef Soejoed dan bertugas menilai aspek ekonomi dan pembiayaan kilang bersama KK III, yang menilai kelayakan teknisnya, mengirim satu surat kepada Mentamben yang isinya menilai Kilang Exor I Balongan secara ekonomis cukup wajar.

1 September 1990
Menurut perhitungan KK I, setahun pertama proyek ini masih akan defisit sebesar US$ 15,06 juta, tapi pada tahun ke-12 akan ada surplus pajak US$ 2,307 miliar. Karena sering rusak dan selalu merugi, cicilan tahun pertama, jatuh pada 1996, ditomboki uang Pertamina US$ 1,163 miliar, sehingga status proyek ini bukan non-recourse lagi. Dengan pelunasan langsung ini, utang Balongan tinggal US$ 975 juta, yang menurut Manajer Umum Balongan, Asyhab, akan habis dicicil sampai 2003.

24 Mei 1995
Kilang Balongan diresmikan Presiden.

Sampai 1998
Sejak diresmikan selama tiga tahun berikutnya kilang ini mengalami sembilan kali kerusakan dengan total hari stop sebanyak 265 hari. Produksi yang hilang dari kerusakan itu sekitar 32 juta barel.

21 Mei 1999
Hasil Tim Penyelidik Kejaksaan menetapkan Tabrani Ismail, mantan Direktur Pengolahan Pertamina, dan Faisal Abda’oe, mantan Dirut Pertamina, sebagai calon tersangka. Menurut sumber TEMPO, dalam laporan kejaksaan itu sebenarnya juga tertulis nama Ginandjar Kartasasmita, A.R. Ramly, Erry P. Oudang, dan Bing Cintamani sebagai calon tersangka. Namun, tanpa alasan yang jelas, kabarnya, Presiden (waktu itu) Habibie meminta nama-nama itu dihapus sehingga hanya menyisakan nama Tabrani dan Faisal.

1 Februari 2000
Tabrani Ismail menjelaskan kepada TEMPO bahwa dugaan mark-up di kilang Balongan tidak benar. “No mark-up in Balongan,” katanya dengan tegas. Menurut Tabrani, dari nilai anggaran sebesar US$ 2,711 miliar, realisasi proyek ini menghabiskan biaya total US$ 2,451 miliar. Kejanggalan pembiayaan yang ditemukan selama pembangunan proyek, misalnya biaya contingency sekitar US$ 54 juta, menurut Tabrani dipakai untuk membuat tangki baru. Soalnya, tangki itu milik Direktorat Eksplorasi dan Produksi Pertamina, yang kemudian diminta kembali untuk keperluan lain. Tabrani tak menjelaskan kenapa ada biaya konsultan sekitar US$ 31 juta. Bukankah, dalam kontrak, biaya konsultan sudah dimasukkan (besarnya US$ 11 juta)?

Tarik-Ulur Penentuan Nilai Proyek

TanggalTawaran Pertamina (US$ juta)Penawaran Konsorsium (US$ juta)
07-3-1988-938,6
02-3-1989-2.700
26-7-19891.500-1.7002.049
08-8-19891.8131.999
01-9-19891.9991.999 harga yang disetujui Menko Ekuin

Catatan: Harga terakhir setelah mendapat diskon karena batalnya hibah Inggris adalah US$ 1,989 miliar, bila ditambah bunga dan pajak, nilai proyek menjadi US$ 2,049 miliar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus