Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
URIP Arpan dan Kemayoran tak pernah bisa di-pisahkan. Kawasan yang dulu jadi konsentrasi permukiman Betawi itu kini banyak berubah, terutama setelah digadang-gadang akan jadi area internasional. Warga asli Betawi berdiaspora ke mana-mana. Tapi Urip Arpan tetap berta-han. Ia setia mendiami rumah peninggalan leluhurnya di Kelurahan Utan Panjang di kawasan itu.
”Dulu 90 persen warga Kemayoran adalah orang Betawi,” kata seniman yang mirip almarhum Benyamin Suaeb itu. Kini mereka tinggal sepetiganya saja. Salah satunya adalah Urip. Bagai ingin menegaskan kesetiaannya pada tanah leluhur, pria berkulit gelap itu memasang boneka kepala ondel-ondel di dinding teras rumahnya. Sebuah bangunan yang diwarisinya dari Engkong Umar, kakeknya.
Urip memang anak Kemayoran asli. Dia lahir dan besar di wilayah yang dulunya penuh sawah-ladang itu. Tercatat, sudah tiga generasi keluarga Urip bermukim di sana. Sepanjang waktu itu pulalah keluarga Urip, juga warga Betawi lainnya, menjadi saksi perubahan di atas bumi Kemayoran.
Perubahan itu dimulai pada 1938, ketika hamparan sawah-ladang dan perkampungan disulap menjadi lapangan terbang. Adalah Sun’ah Andrees, 76 tahun, yang ikut menjadi saksi lenyapnya sebagian sawah Kemayoran.
Perempuan sepuh itu mengenang, pembebasan tanah untuk landasan Kemayoran dilakukan mulai 1934. ”Saat itu tak ada perlawanan dari warga,” ujar ibu aktor Deddy Mizwar ini. Soalnya, sebagian besar dari 450 hektare lahan yang dibeslah adalah milik tuan tanah bernama Rekeendal.
Lahan milik penduduk lainnya diganti pemerintah Belanda. Adalah Muhammad Jiung, kakek Benyamin Suaeb, yang meminta Belanda menyediakan tanah pengganti. Permintaan disanggupi dan warga suka rela ringkes-ringkes. ”Warga bersedia dipindah karena dikasih tempat baru,” kata Mahmud, 72, warga Kelurahan Kebon Kosong.
Menurut Alwi Shihab, seorang tokoh Betawi, pola serupa pernah dilakukan Belanda ketika menggusur 600 hektare tanah orang Betawi di Menteng untuk dijadikan hunian elite pada 1928. Atas desakan orga-nisasi Syarikat Islam (SI), pemerintah kolonial menyediakan tanah baru di Karet, Jakarta Pusat, sebagai pengganti. ”Warga juga dapat ganti rugi lima gulden per meter persegi,” ujar Alwi. Upaya pemindahan berlangsung mulus.
PEMERINTAH Belanda meresmikan Kemayoran sebagai bandara internasional pada 8 Juli 1940. Bandara itu dikelola oleh Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappy (KNILM). Pesawat pertama yang mendarat adalah DC-3 milik KNILM yang terbang dari lapangan udara Tjililitan, sekarang Halim Perdanakusuma, pada 6 Juli 1940. Ke-esokannya, 7 Juli 1940, pesawat DC-3 bernomor pe-nerbangan PK-AJW berangkat dari Kemayoran menuju Australia.
Sun’ah ingat, sejak itu pemandangan pesawat terbang yang naik dan turun menjadi hiburan murah warga sekitar. Tak peduli orang tua, kawula muda, hingga anak-anak semua ikut nonton. ”Minta duit! minta duit!” begitu anak-anak berteriak setiap kali pesawat melintas.
Kampung Kemayoran seluas 500 hektare meliputi Serdang, Sumur Batu, Utan Panjang, Kebon Kosong, Kepu, Gang Sampi, Pasar Nangka, dan Bungur. -Ketika itu Kemayoran merupakan daerah pinggiran Ba-tavia.
Penduduk asli Kemayoran adalah orang Betawi asli dengan mata pencaharian bertani. Salah satu sumber irigasi mereka adalah dari kali yang dibuat oleh Belanda. Rute kali awalnya melalui belakang bioskop Kramat (Grand) di Senen, Adiluhung, Pasar Nangka, lalu melintas di Kemayoran. ”Tapi sekarang semua sudah jadi comberan,” kata Alwi.
Belakangan, etnis Betawi tak lagi menjadi satu-satunya kelompok masyarakat yang tinggal di sana. Pemerintah Belanda mendatangkan warga campuran Belanda-Indonesia, mendiami kompleks tentara di Jalan Garuda. Lalu, pasca-Perang Dunia II, banyak pensiunan tentara datang ke Kemayoran. ”Mereka ini disebut Sinyo Kemayoran,” kata Alwi.
Nama Kemayoran berasal dari seorang mayor berkebangsaan Belanda yang tinggal di Jalan Garuda, persisnya dekat tikungan Jalan Kemayoran Gempol. Jika hendak menuju kawasan ini, orang selalu bilang, ”Mau pergi ke Mayor”—tempat tinggal si Belanda. Lama-kelamaan orang-orang menyebut daerah itu menjadi Mayoran. Belakangan, nama itu lebih cespleng diucapkan sebagai Kemayoran.
Menurut Alwi Shihab, pangkat mayor jamak diberikan oleh pemerintah Belanda kepada orang-orang kaya Belanda atau Cina yang berkeduduk-an di Batavia, Semarang, dan Surabaya. ”Mereka bertugas memungut pajak dari rakyat,” katanya. Ukuran kekayaan adalah jumlah penguasaan tanah. ”Makanya, mereka disebut juga tuan tanah.” Seorang mayor biasanya juga memonopoli perdagangan dan tinggal di rumah besar dengan pekarangan berhektare-hektare yang dalam bahasa Belanda kerap- di-sebut landhuis.
Untuk menjaga kepentingannya, sang mayor lalu mengupah centeng, jagoan, dan tukang pukul untuk menarik pajak. ”Dia juga punya puluhan budak,” kata Alwi lagi. Rumah si Mayor terletak di Kebon Kosong dan dulu diberi nama Gedung Tinggi. Sayangnya, kediaman itu kini sudah dibongkar.
Pembongkaran kemudian jadi pemandangan biasa di Kemayoran. Urip ingat, di satu kawasan yang dulu disebut sebagai Pulau Kecil dan Pulau Besar, dulu banyak warga memancing. Kondisinya masih alami. ”Kalau tak sadar, orang mancing bisa duduk di atas ular besar,” katanya. Tempat Urip memancing itu kini bernama Sunter, kawasan industri supersibuk di Jakarta Utara.
Perubahan besar terjadi lagi pada 1984. Ketika itu Pemerintah DKI mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5/1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) DKI Tahun 1985-2005. Peraturan ini diperbaharui lagi dengan Perda Nomor 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta. Dalam peraturan itu disebutkan, Kemayoran akan disulap menjadi pusat bisnis dan jasa internasional, dengan nama Bandar Baru Kemayoran. Pada 2010 kawasan ini diproyeksikan menjadi pusat promosi dan perdagangan antar-bangsa. Rencana ini memakan korban. Pada 1991, 5.500 kepala keluarga digusur, dan pada 1996 menyusul 6.500 lainnya. ”Ganti rugi yang diberikan hanya Rp 75 ribu per meter persegi. Jumlah yang sangat minim,” kata Alwi. Orang-orang Betawi itu lalu menyebar hingga ke Bekasi dan Depok.
Tak hanya orang yang digusur, landasan Kemayo-ran yang menjadi tonggak perubahan di kawasan itu pun ikut tergulung. Ini sebetulnya rencana lama. Pada 10 Januari 1974, Kemayoran kehilangan rute internasionalnya karena fungsinya diambil alih Bandara Halim Perdanakusuma. Akibatnya, Kemayoran cuma melayani penerbangan domestik hingga ditutup total pada 31 Maret 1985.
Warga Kemayoran adalah saksi mata segala perubahan itu. Sun’ah mengaku tak akan pernah tahu akan jadi apa di atas lahan eks bandara itu. Juga Hasbullah, Lurah Kemayoran. ”Kita tidak pernah dilibatkan dalam pengembangan kawasan,” kata dia. Menurut Hasbullah, mereka hanya kebagian getah-nya. Yakni, harus membersihkan kawasan itu dari pekerja seks komersial atau pedagang kaki lima, dan lainnya.
Di antara debu dan ingar-bingar sengketa pemba-ngunan Kemayoran itulah kini Urip Arpan tinggal. Sambil sesekali main sinetron, ”Saya kini jadi penasihat kelurahan dan Ketua Komite STM 54 Bendung-an Jago,” ujarnya. Di luar, boneka kepala ondel-ondel bergoyang diterpa angin siang....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo