Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Pemburu Pulau dari Seberang

Ribuan hektare lahan di pelbagai lokasi pariwisata utama di Nusa Tenggara Barat, dari Lombok hingga Sumbawa, kini dikuasai warga negara asing. Berkongkalikong dengan notaris dan aparat, serta menyaru sebagai investor, mereka memanfaatkan celah hukum untuk memiliki sebanyak-banyaknya tanah di "bumi seribu masjid" itu. Hutan lindung juga dibeli.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAPAN pengumuman berbagai ukuran bertulisan "land for sale" bertebaran di sepanjang jalan masuk Pantai Kuta, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Sebagian berbahan tripleks yang dipaku di batang pohon, sebagian lain berupa baliho setinggi empat meter.

Tulisan di papan reklame itu menunjukkan target pasar yang dituju pemasangnya: orang-orang berkewarganegaraan asing. Menurut Saiful, warga Desa Kuta, transaksi "internasional" telah biasa dilakukan di wilayahnya. "Sebagian besar tanah, terutama yang dekat pantai, sudah milik orang asing," kata Saiful, 35 tahun, warga Desa Kuta, akhir Agustus lalu.

Di Desa Prabu, sebelah barat Desa Kuta, warga negara asing bahkan menguasai tanah di wilayah hutan, yang telah dijadikan taman wisata alam, yakni Taman Wisata Alam Tanjung Tampa. Menurut Kepala Desa Prabu, Lalu Muhammad Sainu, sekitar 300 hektare-dari total 931 hektare-lahan hutan di kawasan tersebut kini milik warga asing. "Sertifikat hak milik dibuat atas nama nomine," katanya. Nomine merupakan penduduk lokal yang namanya dipakai dalam berbagai dokumen resmi, termasuk sertifikat tanah.

Ombudsman Nusa Tenggara Barat mencatat, dari 222 tapal batas di hutan itu pada 2002, yang kini tersisa hanya 16. Penyerobotan lahan konservasi, menurut data Ombudsman, terjadi pula di Hutan Lindung Sekaroh, Lombok Timur. "Sekitar 80 sertifikat hak milik terbit di wilayah hutan itu atas nama nomine, untuk pembeli asing," ujar Kepala Ombudsman NTB Adhar Hakim.

Maraknya penguasaan lahan oleh warga negara asing dengan cara mengakali hukum membuat Badan Koordinasi Penanaman Modal setempat kerepotan. "Sekitar 30 persen dari mereka menguasai tanah dengan nomine. Tiap bulan selalu ada laporan proyek mandek karena sengketa lahan," ujar Kepala Bidang Pengembangan dan Kerja Sama BKPM NTB Hadi Irfan Zahidi.

Ombudsman NTB juga ikut sibuk. "Hampir tiap hari ada orang asing datang terkait dengan pembelian tanah," ucap asisten Bidang Pencegahan Ombudsman NTB, Rasyid Ridho. Dia mengatakan sebagian besar menanyakan mekanisme pembelian tanah di sana, tanpa tahu bahwa hal itu dilarang.

Banyak orang asing memang tidak begitu paham mengenai peraturan tentang kepemilikan tanah di negara ini. Mereka mengira penguasaan tanah melalui nomine atau perusahaan penanaman modal asing (PMA) bodong dibenarkan secara hukum. Ini antara lain disampaikan oleh Paul Randall, lajang 20-an tahun asal Amerika Serikat yang bertemu dengan Tempo di Hotel Airlangga, Mataram, awal Oktober lalu.

Paul mengincar tanah di dekat Pantai Pink, Lombok Timur. Perusahaan calo tanah yang dia temui di Mataram menyarankan dia menggunakan nomine atau mendirikan perusahaan PMA abal-abal. "Mereka mengatakan itu tidak menyalahi peraturan," katanya bercerita.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) bukannya tidak tahu soal ini. Hal serupa terjadi di Bali dan banyak daerah wisata lain. BPN merasa persoalan nomine dan perusahaan asing bodong bukan urusan mereka. "Selama ia warga negara, dan secara de facto menguasai lahan, ya kami kasih sertifikat," kata Kepala BPN Hendarman Supandji, yang ditemui di Jakarta. Meski demikian, dia menegaskan, sertifikat hak milik atas tanah hutan lindung jelas melanggar aturan.

PERBURUAN tanah di NTB oleh warga asing meningkat sejak provinsi kepulauan itu disebut-sebut bakal menyusul Bali sebagai destinasi wisata eksotis di tenggara Nusantara. Pada 1996, Asian Wall Street Journal menulis bahwa Lombok saat itu sama dengan Bali 20-30 tahun sebelumnya. "Lombok bisa menjadi alternatif utama bagi Bali," tertulis di koran internasional itu.

Mutiara dari Timur-demikian NTB sering disebut-kian menarik setelah pemerintah menetapkan daerah itu dan Bali sebagai pintu gerbang pariwisata nasional dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Karena itu, bukan kebetulan sebagian besar tanah yang dikuasi asing tersebar di pantai Lombok Selatan, Sumbawa Barat, Rinjani, Mataram dan sekitarnya, yang diproyeksikan sebagai sentra pariwisata.

Warga negara asing sebenarnya dilarang memiliki tanah di Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Orang atau badan hukum asing, menurut pasal 43 undang-undang itu, hanya boleh mendapatkan hak pakai. Itu pun tak boleh lebih dari 5.000 meter persegi bagi perorangan.

Hak atas tanah yang lebih luas bisa diperoleh melalui perusahaan penanaman modal asing. Dengan syarat: harus berinvestasi di atas lahan tersebut. Di lapangan, banyak warga asing memiliki tanah di NTB. Sebagian menggunakan jasa nomine, biasanya penduduk lokal. Agar si nomine tak macam-macam, dibuatlah perjanjian bahwa tanah tersebut dibeli menggunakan uang milik orang asing yang diwakili.

Ada yang menggunakan perusahaan PMA untuk mendapatkan hak guna usaha, hak guna bangunan, izin pengelolaan, atau izin usaha yang lamanya bisa sampai 20 tahun. Tentu saja ada banyak yang benar-benar berinvestasi. Mereka menguasai tanah untuk berinvestasi, kebanyakan di bidang pariwisata. Masalahnya, Ombudsman NTB menduga sebagian perusahaan PMA sesungguhnya hanya calo yang hendak mencari untung dari jual-beli tanah.

Ahli hukum agraria Universitas Mataram, Widodo Dwi Putro, menyebutkan praktek beli tanah menggunakan nomine dan perusahaan PMA bodong sebagai penyelundupan hukum. "Itu bukan pelanggaran hukum, tapi jelas sebuah kejahatan," katanya.

Menurut dia, kejahatan itu merugikan daerah dan masyarakat. Daerah rugi karena kehilangan peluang mendapatkan investor sejati, potensi pajak, dan efek berganda dari pembangunan pariwisata. Di sisi lain, warga asli kehilangan hak atas tanah dan kebanyakan jatuh miskin di tengah tumbuhnya turisme di daerah itu. "Sebagian besar penderita busung lapar di NTB saat ini justru tinggal di kantong-kantong wisata," katanya. Badan Pusat Statistik NTB mencatat pada Maret 2014 jumlah penduduk miskin provinsi ini mencapai 820 ribu orang atau 17,24 persen dari total penduduk.

MARAKNYA pembelian tanah oleh warga asing menggunakan nomine membuat sengketa hukum antara penduduk asli dan warga asing di NTB kerap terjadi. Salah satunya membuat Kurniawati diadili di Pengadilan Negeri Mataram. Pada Agustus lalu, ketika ditemui Tempo, perempuan 40 tahun ini tampak kuyu. Ibu empat anak ini menyatakan, "Saya bukan penjahat."

Sejak Juli lalu, Wati-panggilan Kurniawati-menjadi tahanan di lembaga pemasyarakatan Mataram. Penyebabnya, ia dilaporkan Nichole Ann Jennings, warga negara Australia, dengan tuduhan penipuan dan penggelapan tanah.

Wati mulai berhubungan dengan Nichole, 48 tahun, pada Juli 2011, ketika wanita kelahiran Sydney itu bertamu ke rumahnya di Taliwang, Sumbawa Barat. Nichole menyatakan ingin membeli bekas tambak mutiara milik PT Paloma Agung di Desa Goa, Kecamatan Jereweh, Sumbawa Barat. Status tambak 15 hektare itu hak guna bangunan, dijual seharga Rp 250 juta per hektare. "Katanya akan dijadikan dermaga kapal pesiar," ucap Wati.

Mereka pun bersepakat Wati dijadikan nomine. Nichole menjanjikan bagi hasil bila proyek tersebut sukses. Wati menerima uang muka Rp 100 juta. Dia diminta membuat surat pernyataan bahwa uang yang digunakan membeli tanah adalah milik Nichole. Dengan demikian, Nichole-lah pemilik sebenarnya tambak itu.

Wati belakangan didatangi Lawrence Elms, pemilik perusahaan properti Elms Partners Limited di Australia. Dia mengklaim uang yang digunakan Wati untuk membeli tambak adalah miliknya. "Ia punya bukti transfer Rp 3,6 miliar dari rekening dia ke rekening saya," ujar Wati. Maka dia mengatakan menurut saja ketika diminta membuat pernyataan tertulis untuk menyerahkan tambak kepada Lawrence.

Hingga tulisan ini diturunkan, Lawrence tak berhasil dimintai komentar. Namun Wati mengakui mendapatkan transfer Rp 3,6 miliar, yang ia bayarkan untuk membeli tambak. Nichole berang dengan penyerahan aset ke Elms. Ia melaporkan Wati ke polisi.

PANTAI Jelenga membentang lebih dari lima kilometer di Desa Beru, Kecamatan Jereweh, Kabupaten Sumba Barat. Selain pasir putihnya yang lembut, kebanyakan turis terpikat oleh ombak pantai ini. Ombaknya bisa begitu menantang, menggulung seperti pipa panjang raksasa setinggi lima meter.

Berbagai lomba selancar internasional pernah digelar di sana. Orang asing menamainya Scar Reef karena terdapat banyak karang hidup yang tajam di perairan itu. Nichole Ann Jennings memulai bisnis tanahnya di tempat itu.

Ia "pelopor" kedatangan warga negara asing yang membeli tanah, baik untuk membangun rumah pribadi maupun resor dan hotel di sana. Sekarang seluruh lahan di pantai itu telah dimiliki orang asing, dan Nichole menguasai tanah paling luas.

Bersama sejumlah teman senegaranya, yaitu Mark Petch, Heidi Margaret Petch, dan McMillan David, Nichole mulai membeli tanah di Jelenga pada 2001. Mereka menyewa Khamson, 50 tahun, warga setempat, untuk menjadi nomine.

Setahun kemudian, Nichole mendirikan perusahaan bernama PT Vassa. Berdasarkan dokumen persetujuan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, perusahaan ini bergerak di bidang jasa akomodasi. Mereka akan mendirikan cottage 35 kamar, setara dengan hotel bintang tiga. Total investasinya direncanakan US$ 695 ribu atau sekitar Rp 8,3 miliar.

Penanaman modal asing boleh dibilang kedok yang paling aman bagi warga asing yang hendak menjadi calo tanah di NTB. Asalkan mereka punya desain proyek-walau sering fiktif-dan modal dasar untuk mendirikan perusahaan.

Data BPKM NTB menunjukkan bahwa populasi perusahaan PMA di provinsi itu terus bertambah. Pada 2013, jumlah mereka mencapai 65 buah. Dari jumlah itu, 90 persen adalah PMA di bidang akomodasi pariwisata. Artinya, mereka pasti akan berurusan dengan penguasaan tanah.

Perusahaan-perusahaan ini biasanya didirikan dengan janji investasi yang "wah". Nyatanya, menurut BPKM setempat, banyak yang tidak jelas. Padahal di antara mereka ada yang diberi hak mengelola lahan milik daerah ratusan hektare.

Di Lombok Timur, ada perusahaan asal Singapura bernama PT Ocean Blue Republik Indonesia. Berjanji membangun resor kelas dunia, dengan total investasi sekitar Rp 20 triliun, mereka mendapatkan izin pengusahaan lahan dari pemerintah daerah setempat untuk mengelola Gili Sunut, sebuah pulau kecil di sana.

Pada 2010, mereka memaksa 137 keluarga nelayan yang telah mendiami pulau itu lebih dari 50 tahun pindah ke daratan Lombok. Kini, empat tahun berlalu, belum satu pun fasilitas mereka bangun. Ketika Tempo berkunjung ke sana pada awal Oktober lalu, pulau kecil itu tampak mati suri, berantakan tidak terurus. Pemilik Ocean Blue tidak bisa dihubungi untuk ditanyai soal ini. Surat elektronik ke perusahaan itu tak dijawab.

Masih di Lombok Timur, proyek PT Eco Solution Lombok (ESL), yang mendapatkan izin pengusahaan atas sepuluh persen lahan hutan lindung di Desa Sekaroh, pun macet. Mereka berjanji membangun vila, hotel, dan sarana wisata ekologis di sana. Tapi, sampai Oktober lalu, lebih dari setahun sejak mereka mendapatkan izin, belum ada tanda-tanda pembangunan akan dimulai. John Higson, Direktur Utama PT ESL, mengatakan mereka dihambat sengketa tanah. "Kami tidak didukung bupati," ujarnya mengeluh.

Bupati Lombok Timur Ali bin Dachlan berpendapat lain. Dia menduga PT Eco cuma calo. "Mereka makelar proyek," katanya. Yang membuat Bupati Ali curiga, perusahaan itu berjanji menanamkan investasi triliunan rupiah, tapi modalnya hanya Rp 2 miliar.

Itu pula yang tampaknya terjadi pada perusahaan Nichole Jennings. Hingga Oktober lalu, melalui nomine, dia sudah menguasai lebih dari 300 hektare lahan. Tapi belum ada investasi berarti selain berkali-kali mendirikan dan membubarkan perusahaan PMA.

Belakangan, dia mendirikan PT Ubantu. Perusahaan ini membuat rencana investasi dahsyat: membangun kota satelit kawasan wisata terpadu di Jereweh. Luas lahan untuk proyek itu 1.800 hektare, mencakup hampir seluruh pesisir Pantai Jelenga, dari Desa Beru hingga Goa.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, kota satelit itu mengintegrasikan sejumlah fasilitas pelesiran mewah, seperti empat hotel bintang lima, supermarket, vila pinggir pantai, pusat olahraga pantai, lapangan golf 18 lubang, pelabuhan kapal pesiar, sirkuit balap standar Federation Internationale de l'Automobile, dan lapangan terbang pribadi. Investasinya bernilai triliunan rupiah.

"Investor menjajikan akan bangun semua itu," ujar Bupati Kabupaten Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli, tiga pekan lalu. Tapi, empat tahun lewat, janji tak pernah terwujud.

Malah Nichole berseteru dengan Khamson soal kepemilikan tanah, dan menggugatnya. Majelis hakim Pengadilan Negeri Sumbawa Besar menyatakan Khamson tak bersalah. Tapi, awal tahun ini, Mahkamah Agung menyatakan Khamson bersalah dan mengganjarnya dua tahun penjara.

"Ubantu itu akal-akalan Nichole saja," kata Khamson, saat dijenguk Tempo di lembaga pemasyarakatan Sumbawa Besar. Menurut dia, rencana kota satelit sejak awal hanya kedok untuk mempermudah pembelian tanah yang seluas-luasnya, secara murah. "Nanti dia jual kembali dengan harga tinggi."

Sejak pecah kongsi dengan Khamson itulah Nichole beralih menggunakan Wati sebagai nomine. Ia membubarkan Ubantu dan mendirikan perusahaan PMA baru dengan nama PT Kerajaan West Sumbawa.

Agustus lalu, saat menelisik lika-liku jual-beli tanah oleh orang asing di NTB, Tempo sempat mengikuti persidangan kasus Wati melawan Nichole di Pengadilan Negeri Mataram.

Ditemui seusai sidang, Nichole membantah tudingan bahwa dia cuma broker tanah, bukan investor. "Saya benar-benar ingin membangun pariwisata di sini," ujarnya. Selebihnya, ia tutup mulut rapat-rapat.

Dia juga sulit ditemui. Bungalow Royal Ubantu Resort miliknya di Pantai Jelenga sudah berbulan-bulan sepi. Saat Tempo tiba di tempat itu dua pekan lalu, bangunan empat kamar tersebut tampak tak terurus. Sebuah speedboat rusak tergeletak begitu saja di depan gudang. "Ibu Nichole tidak ada. Terakhir ke sini awal 2014 dikawal tiga anggota Brimob bersenjata," kata Nasir, penjaga di sana.

Nichole juga tidak menanggapi panggilan telepon selama berpekan-pekan. Baru Selasa dua pekan lalu dia akhirnya membalas e-mail Tempo, tapi tidak membahas pertanyaan yang diajukan. Dia malah bercerita, sejak kasus Wati muncul, ia mendapat banyak ancaman pembunuhan. "Saya tidak menjawab SMS ataupun e-mail dari Indonesia dengan alasan keamanan," tulisnya.

Kasus Wati telah divonis pada akhir September lalu. Ketua majelis hakim I Made Pasek memutus perempuan itu bersalah dan menghukumnya delapan bulan kurungan. Vonis tersebut lebih ringan empat bulan dibanding tuntutan jaksa. Namun Wati tidak terima. Ia mengajukan permohonan banding.

Wati terjerat pesatnya "pasar" tanah di Mutiara dari Timur.


Tim Investigasi
Penanggung jawab: Budi Setyarso, Philipus Parera Pemimpin proyek: Agung Sedayu Penyunting: Budi Setyarso, Philipus Parera Penulis: Agung Sedayu, Mustafa Silalahi, Sukma N. Loppies, Agoeng Wijaya Penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Sukma N. Loppies (Jakarta), Agung Sedayu, Mustafa Silalahi, Supriyantho Khafid (Lombok), Akhyar M. Nur (Sumbawa) Periset foto: Ratih P. N. Bahasa: Sapto Nugroho, Iyan Bastian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus