Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Transaksi di Lahan Konservasi

Puluhan warga negara asing diperkirakan menguasai tanah di wilayah hutan lindung dan taman wisata Lombok. Dibeli untuk dijual lagi.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI dalam mobil, telunjuk Lalu Muhammad Sainu, 45 tahun, tak berhenti menunjuk perbukitan di kanan-kiri jalan di Desa Prabu, Lombok Tengah. Pemandangan di sepanjang jalan desa itu sungguh eksotis—pasir putih dan laut biru nan jernih di kejauhan serta bukit landai yang seolah-olah tengah menatap Samudra Hindia. "Yang ini punya orang Australia. Nah, kalau itu orang Amerika," katanya.

Awal Oktober lalu, Kepala Desa Prabu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, itu mengantar Tempo berkeliling melihat tempat-tempat di desanya yang menjadi primadona orang asing pemburu tanah.

Desa Prabu ramai dibicarakan di NTB setelah Suriyah Ardhiana melaporkan sengketa tanah milik suaminya yang berkewarganegaraan Australia, Kearins Kierans, ke Ombudsman setempat pada April tahun lalu. Ia tak terima tanah 7.000 meter persegi milik suaminya ditetapkan sebagai area hutan konservasi. "Dia kaget tiba-tiba ada patok hutan konservasi di lahannya," kata Adhar Hakim, Kepala Ombudsman NTB.

Pengaduan Suriyah membuat kaget banyak pihak. Orang asing memiliki tanah di Lombok, tanah konservasi lagi, bagaimana mungkin?

Tanah milik Kierans sejajar dengan Pantai Tumpak, salah satu tempat pesiar di daerah itu. Berada di puncak tebing dengan ketinggian sekitar 50 meter, harga tanah di sana kini Rp 5-10 juta per are atau Rp 500 juta-Rp 1 miliar per hektare.

Kierans menguasai tanah itu melalui jasa seorang nomine bernama Lalu Jelamin pada 2004. "Dibeli dari warga, Rp 300 ribu per are," kata Jelamin, yang ditemui Tempo di Desa Kuta, Lombok Tengah. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Timur mengeluarkan sertifikat hak milik (SHM) atas tanah itu pada 2007. Jelamin, yang tercatat sebagai pemilik tanah, mengaku tak kesulitan saat mengurus sertifikat. "Kalau tanah itu hutan, mana mungkin dapat SHM," katanya.

Sebenarnya hutan di sepanjang pantai Desa Prabu sudah ditetapkan sebagai hutan lindung sejak 1997. Pada 2009, status tersebut diubah menjadi hutan konservasi/taman wisata alam. Karena minim pengawasan, dan BPN seolah-olah tidak peduli, sertifikasi atas lahan hutan berlangsung terus.

Baru setelah kasus Kierans ramai dipermasalahkan, administrasi pengurusan tanah di daerah itu mulai ditertibkan. Warga tidak lagi mudah mendapatkan sporadik alias surat keterangan kepemilikan tanah dari kepala desa. Sporadik inilah yang kemudian dibawa ke BPN untuk mengurus SHM. Mengaku baru dua tahun menjadi Kepala Desa Prabu, Sainu bercerita, sporadik bukan urusan gratis. Ia biasa mematok ongkos sporadik tiga persen dari harga tanah. Itu belum termasuk komisi lima persen. Sekali urus bisa mendapat puluhan juta rupiah. "Sekarang saya tidak berani lagi mengeluarkan sporadik untuk tanah di kawasan hutan konservasi," ujarnya.

Bupati Lombok Tengah Muhammad Suhaili Fadil Thohir dingin menanggapi pertanyaan mengenai sengketa kepemilikan lahan hutan konservasi oleh warga asing di Desa Prabu. "Itu urusan polisi dan Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Barat," ujarnya. Lagi pula, menurut Thohir, mereka membutuhkan investasi untuk mengembangkan pariwisata daerahnya.

Dengan sikap pemerintah daerah yang tak banyak ambil pusing, sepuluh tahun terakhir banyak lahan strategis di sepanjang pantai Lombok beralih kepemilikan ke tangan warga asing. Ada yang digunakan untuk membangun rumah peristirahatan pribadi. Tak sedikit yang mengaku sebagai investor, tapi lalu menjual lagi tanah tersebut dengan harga berkali-kali lipat kepada investor sebenarnya. Celakanya, sebagian dari mereka tidak peduli tanah yang mereka incar terletak di wilayah hutan lindung.

Selain di Desa Prabu, menurut data Dinas Kehutanan NTB, warga asing merambah hutan yang lain. Paling banyak di Desa Sekaroh, Lombok Timur. Maklum, hutan lindung di daerah ini bermuka-mukaan dengan Pantai Pink, yang terkenal dengan pasir merah jambunya.

"Sejauh ini ada 80 sertifikat hak milik yang diperkirakan mengklaim lahan di Hutan Lindung Sekaroh," kata Kepala Dinas Kehutanan NTB Andi Pramaria, awal Oktober lalu. Total lahan yang dikuasai sekitar 100 hektare.

Pemerintah mengeluarkan Peta Tata Batas Kawasan Hutan Sekaroh pada 1982 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 756/kpts/Um/10/1982. Luas kawasan itu 2.834 hektare, sebagian besar ditumbuhi pohon akasia dan mahoni.

Andi bersama jajarannya giat mengumpulkan bukti kepemilikan lahan secara ilegal di hutan itu untuk diajukan ke pengadilan. Saat ini mereka tengah meminta pengadilan membatalkan tujuh sertifikat atas lahan seluas sekitar tujuh hektare di Hutan Sekaroh.

Kepala Desa Sekaroh Muhammad Mansyur mengatakan ketujuh lahan tersebut dikuasai warga asing dengan menggunakan jasa nomine. "Dua di antaranya berada persis di depan Pantai Pink," katanya.

Sertifikat-sertifikat itu umumnya muncul pada 2002-2004. Mansyur mengangkat bahunya saat dimintai penjelasan mengenai hal itu. Ia mengaku baru dua tahun menjabat kepala desa, sejak Sekaroh menjadi desa baru, lepas dari Desa Pemongkok.

Salah satu yang dipersoalkan Dinas Kehutanan adalah tanah di bukit Hutan Sekaroh, menghadap Pantai Pink. Amaq Sandri, 33 tahun, nomine pemilik sertifikat tanah seluas 1,08 hektare itu, mengatakan tanah tersebut sesungguhnya milik Christina, warga negara Spanyol. Christina membeli tanah itu Rp 750 juta, lima tahun lalu. "Itu warisan ayah saya yang mantan kepala dusun," kata Amaq.

Amaq mengatakan Christina juga memiliki dua lahan lain di hutan lindung, di depan Pantai Pink. Dia kaget ketika kepemilikan atas tanah-tanah tersebut dipersoalkan. Pasalnya, menurut dia, pada 2000 justru BPN yang meminta warga mengurus sertifikat lewat program Prona. "Biayanya Rp 300 ribu per sertifikat. Kok, sekarang dipersoalkan?" kata pria bertubuh gempal itu.

Kepala BPN Lombok Timur Pudji Dipo Utomo menolak diwawancarai mengenai penerbitan sertifikat tanah di Hutan Sekaroh ini. Anggota staf di kantor BPN mengatakan Pudji tengah bersiap-siap rapat dengan bupati.

Kepala BPN Hendarman Supandji, yang ditemui di Jakarta, memberi jawaban tegas: penerbitan sertifikat kepemilikan tanah di hutan lindung dan hutan konservasi melanggar aturan. Ia berjanji memerintahkan stafnya segera memeriksa sengkarut tanah hutan lindung di Desa Prabu dan Sekaroh. "Kami akan menindak petugas bila ada penyelewengan di Lombok," katanya.

Kisruh sertifikat di Sekaroh semakin rumit setelah pemerintah mengeluarkan izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan bagi PT Eco Solution Lombok (ESL). Perusahaan penanaman modal asing itu diberi hak mengelola sepuluh persen dari luas hutan untuk pariwisata. Sebagian lahan yang hendak mereka kelola ini ternyata beririsan dengan tanah milik Christina.

Penduduk desa pun terbelah. Sebagian mendukung Christina, sebagian lain di pihak ESL. Mereka yang mendukung Christina selama ini mendapatkan upah jaga tanah. Yang lain mendukung ESL karena dijanjikan pekerjaan bila fasilitas pariwisata telah dibangun di hutan itu. Kedua kubu saling merusak saung yang didirikan di Pantai Pink.

Janjinya, PT ESL akan membangun vila, hotel, dan sarana wisata ekologis di sana, dengan nilai investasi triliunan rupiah. Namun setahun lewat, hingga awal Oktober lalu, belum ada satu pun fasilitas yang mereka bangun. John Higson, Direktur Utama PT ESL, beralasan mereka dihambat oleh sengketa tanah.

Warga setempat menduga PT ESL, yang konon didukung pemerintah Swedia, cuma ingin menguasai izin untuk dijual lagi ke investor yang sebenarnya. Ini juga yang ada dalam benak Bupati Lombok Timur Ali bin Dachlan. Dia heran perusahaan yang katanya akan berinvestasi triliunan rupiah itu isi rekeningnya cuma Rp 2 miliar. "Mereka hanya makelar proyek," katanya sembari berjanji segera mengkaji ulang izin yang telanjur diberikan ke perusahaan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus