Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAUH mata memandang, hanya puing yang berserak dan tersembunyi di balik rimbunnya semak. Semua rumah sudah hancur. Hanya masjid dan sekolah yang masih berdiri, tapi atapnya roboh. Siang itu, awal Oktober lalu, Gili Sunut tampak seperti pulau mati.
"Di sini dulu salah satu perkampungan nelayan yang padat," kata Maandi, nelayan dari Desa Sekaroh, yang membawa Tempo ke pulau itu. Empat tahun lalu, 137 keluarga nelayan yang mendiami pulau seluas 155 hektare itu dipaksa pindah. Sebuah perusahaan penanaman modal asing asal Singapura, PT Ocean Blue Republik Indonesia, hendak membangun resor kelas dunia di sana.
Gili berarti pulau dalam bahasa Sasak. Pulau kecil ini tersembunyi di ujung Tanjung Ringgit, Desa Sekaroh, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ada empat pantai berpasir putih dan hutan yang menawan di sana. Saat air laut surut, pulau ini bisa dicapai dengan berjalan kaki dari daratan Pulau Lombok.
Enam tahun silam, Lalu Jelamin, 37 tahun, menawarkan pulau eksotik ini kepada Stephen Gow dan Martin Gow, dua pengusaha asal Australia. Jelamin adalah biong tanah sekaligus nomine yang cukup dikenal di kawasan itu. Dia menawarkan jasa untuk mengurus izin investasi di sana. "Harga Gili Sunut Rp 4 miliar," katanya.
Agar urusan lancar, Stephen dan Martin mendirikan Ocean Blue di Singapura. Belakangan, Jelamin angkat kaki tanpa menerima komisi. Ocean Blue jalan terus dan berhasil mengantongi izin pengusahaan pulau dari pemerintah daerah. Perusahaan ini antara lain berjanji membangun 46 vila mewah, setara dengan resor di Kepulauan Maladewa. Dalam situs oceanblue.com.sg, mereka mengatakan vila-vila tersebut akan memiliki kolam laut tembus pandang. "Kami sudah menyiapkan anggaran US$ 2 miliar (sekitar Rp 20 triliun)," kata Martin dalam konferensi pers di kantor Bupati Lombok Timur, Agustus tahun lalu.
Empat tahun lalu, mereka memindahkan para nelayan yang telah mendiami pulau itu sejak 1950 ke Dusun Sunut Baru. Dusun baru ini masih di wilayah Desa Sekaroh. Untuk mencapainya harus menembus Hutan Sekaroh sejauh tujuh kilometer, sangat buruk dan berdebu.
Di sana mereka diberi rumah permanen 6 x 7 meter lengkap dengan sertifikat hak milik. "Tiap kepala keluarga dibekali lima juta rupiah," kata Muhammad Mansyur, Kepala Desa Sekaroh.
Karena berada di atas tebing setinggi hampir 100 meter, dusun ini selalu diterpa angin laut yang kencang. Setiap hari pasti ada genting rumah yang rusak. Warga dusun juga lebih sering berada di dalam rumah, berlindung dari debu. "Di sini banyak yang terkena penyakit batuk dan sesak napas," kata Riki, 35 tahun, istri Kepala Dusun Sunut Baru, saat Tempo berkunjung ke sana, awal Oktober lalu.
Sebenarnya relokasi ini ditentang warga dan banyak kelompok masyarakat Lombok. Warga merasa tak praktis hidup di tempat baru. Di Gili Sunut, jarak pantai dari rumah mereka hanya beberapa tombak. Di dusun baru, jika hendak melaut, mereka harus berjalan sekitar setengah kilometer, melewati jalanan berdebu dengan kemiringan 45 derajat. Air bersih pun sulit didapat. Dulu mereka mendapatkan air dari kapal pedagang yang singgah.
"Lahan relokasi yang sekarang juga masih dalam sengketa," kata Riza Damanik, aktivis Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan alias Kiara. Lembaga swadaya ini mengadvokasi warga Gili Sunut sejak beberapa tahun lalu.
Beberapa kelompok di Mataram, termasuk Kiara, ragu akan kesungguhan Ocean Blue berinvestasi. Mereka berjanji pada triwulan pertama tahun ini tempat wisata baru itu sudah mulai dioperasikan. Hingga awal Oktober lalu, tak ada tanda-tanda ada pembangunan di pulau itu. Melalui e-mail [email protected], Tempo mengajukan pertanyaan mengeni hal tersebut, tapi tak dijawab. Panggilan telepon pun tak berbalas.
Dan pemerintah daerah? Mereka sepertinya tidak peduli. "Itu warisan dari pemerintah sebelumnya," kata Bupati Lombok Timur Ali bin Dachlan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo