Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBUKAAN Pekan Seni Media oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid di pelataran Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, pekan lalu molor hampir dua jam. Acara penandanya, pertunjukan multimedia Spatial Trichotomy karya Julian "Togar" Abraham, baru bisa disaksikan para undangan menjelang pukul 10 malam. Besi-besi perancah yang menutupi tangga masuk ke gedung pertunjukan mendadak berubah menjadi konfigurasi lampu pijar yang menyilaukan.
Cahaya muncul silih berganti, menciptakan berbagai bentuk segitiga yang berpendar di kegelapan, dipicu oleh gelombang bunyi yang diprogram melalui peranti lunak komputer. Togar tertarik pada wujud segitiga sama sisi, raut geometri paling sederhana yang bisa menjelaskan berbagai kerumitan, dari kaidah arsitektur sampai sains. Pengalaman kita terhadap ruang, kata Togar, tak memisahkan antara yang visual dan auditif. Keterkaitan antar-indra penting untuk mengenali kenyataan di sekitar kita.
Seni media adalah seni yang lahir seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi. Media teknologi menjadi dasar ungkapan bentuk-bentuk seni. Teknologi, yakni teknologi informasi dan komunikasi, dimaknai sebagai wahana untuk menyampaikan pesan melalui seni. Teknologi menjadi seni. Media bukan sekadar perantara pesan, tapi sebagai penanda perubahan dalam penyampaian pesan itu sendiri.
Togar menyampaikan pesan ruangnya melalui sintesis cahaya dan bunyi. Ketika melihat karya video performance Prilla Tania, Memanen Matahari (2008), kita memperoleh pesan yang berbeda melalui penggunaan mediumnya. Prilla menggunakan teknik stop-motion, merangkai satu per satu citra foto yang menunjukkan dia membawa ember, berjalan menuju tiang jemuran, dan menjemur pakaian. Benda-benda itu maya, digambar dengan kapur dan direkam melalui video. Sosok yang eksis di dunia nyata meleburkan diri ke dalam peristiwa yang tidak pernah ada. Pesan medium adalah peristiwa rekaan itu sendiri. Karya Prilla ini adalah salah satu studi awal seniman media baru di Indonesia mengenai ketaksaan representasi di dunia maya dengan medium video.
Video performance yang sudah sering dibincangkan adalah What (2001), karya Reza Afisina yang kini menjadi koleksi Museum Guggenheim, New York, Amerika Serikat. Karya ini menampilkan performance kekerasan atas tubuh senimannya sendiri di depan kamera video. Pesan religius dan kekerasan bercampur-baur dalam karya ini. Peristiwa, gambar, dan suara hadir sebagai pesan dalam bingkai mediumnya, dapat diulang sampai tak terhingga. Dalam durasi waktu lebih-kurang 10 menit, sang seniman menampari mukanya sendiri hingga lebam seraya mendaraskan Injil Lukas 12: 3-11 tentang pengakuan dosa. Kamera pada What menunjukkan watak ambigunya, menjadi wahana antara pesan-pesan privat dan tayangan publik.
Tulisan "Insya Allah" dengan huruf kapital berukuran besar di dinding adalah penanda fisik untuk menarik perhatian penonton pameran. Ini judul karya Ade Darmawan yang dibuat pada 2012. Di bawah judul itu ditaruh sebuah obyek buku tebal terbuka. Isinya adalah kumpulan foto dan tulisan yang diunduh dari Internet tentang ungkapan "Insya Allah". Seperti perulangan tak terhingga (loop) dalam What, mesin digital menyediakan "makna", citra, dan data tak terhingga mengenai suatu topik. Kemampuan medium elektronik untuk menyimpan semua informasi digital tak terbatas. Peluang kita untuk mengaksesnya bergantung pada kecepatan komputer. Jejaring hiperteks ini akan menghubungkan semua data visual ataupun verbal yang kita cari dengan miliaran data yang lain. Filsuf media Marshall McLuhan menyebut "media panas" untuk wahana elektronik yang sarat data. Mesin semacam ini cenderung menyebabkan partisipasi penggunanya menjadi rendah. Sebaliknya, "media dingin" seperti telepon dan karya kartun, misalnya, mengundang partisipasi yang lebih tinggi. Di titik inilah kita bisa mengatakan memilih media adalah sebuah sikap politik.
Karya video instalasi Krisna Murti, The Kabau Gadang (2017), dapat dilihat sebagai upaya untuk menyiasati otomatisasi kode di dunia digital. Krisna menggunakan dua layar, masing-masing menampilkan adegan para pesilat di tengah alam Minangkabau dan sang pendekar sebagai pelantun mantra. Silat tak terlepas dari alam, inspirasinya adalah gerakan seekor kerbau besar (kabau gadang). Dengan dua representasi praktik budaya ini, kita memiliki ruang untuk memberi tafsir atas relasi tradisi sastra dan wacana tubuh pada lingkungan tradisi tertentu. Seni video, bagi Krisna, bukanlah paradigma seni yang mengutamakan faktor estetis, melainkan "mengabdi pada kepentingan publik". Jika seni video ditempatkan sebagai kritik atas hegemoni program siaran televisi, "kepentingan publik" dalam hal ini dianggap relatif otonom dari sirkuit produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam industri televisi, pengkonsumsian pesan (televisi) adalah momen dari proses produksi. Sebaliknya, pengetahuan yang "didistribusikan" melalui seni video adalah artikulasi bahasa seniman yang mengabaikan informasi mengenai perilaku konsumen.
Representasi sejarah juga muncul pada karya Otty Widasari, Jati Goes to Rotterdam (2015). Ini adalah video satu kanal yang mengaitkan masa kini dengan sejarah melalui arsip film industri kayu jati di Jawa pada abad ke-20. Sebuah laptop diletakkan di sudut-sudut Kota Rotterdam (Belanda), membawa kita mundur ke masa lalu ketika gerbong-gerbong kereta keluar-masuk hutan di Jawa dan memindahkan "hutan jati" ke pelabuhan-pelabuhan besar di Belanda.
Karya F.X. Woto Wibowo, Golden Memories: Listen to Video (2012-2015), berwujud koleksi sampul lagu nostalgia yang kini bisa didengarkan di mana saja dengan memindai sebuah kode. Aplikasi teknologi telah mengubah cara kita berhubungan dengan dunia fisik. Tapi digitalisasi tidak sepenuhnya mampu melampaui lingkungan fisik kita. Kita tidak hanya membutuhkan cakrawala dalam arti metafor, tapi sebagai pengalaman nyata di dalam keruwetan hidup di kota besar, seperti "pilot pesawat yang mencari titik lenyap dengan hidung pesawatnya". Video tiga kanal yang berjejer rapat pada karya The Missing Horizon (2016) Tita Salina menggambarkan relasi antarmuka dengan dunia fisik itu.
Teknologi media itu pula yang mempengaruhi penampilan rupa dan teknik menggambar komik. Narpati Arwangga menyajikan "realitas" piksel suasana kerja ketika semua orang terhubung dengan gawainya (Perusahaan Kantor, 2017). Ribuan komik sudah diciptakan Reza Mustar untuk dunia maya, secepat kebiasaan orang mengklik dan menyebarkan gosip. Komik Instagram adalah "inti komik" (punch) yang sekaligus instan (Respon Siap Saji, 2014-2017).
Di bawah paradigma aktivisme, seni media di Indonesia berkembang sebagai "proyek seni kemasyarakatan". Sejak 2009, Kelompok House of Natural Fiber (HONF) di Yogyakarta memelopori kecenderungan ini dengan mengapropriasi teknologi sepenuhnya ke dalam praktik "seni": teknologi berbasis seni. Di kalangan para seniman media di seluruh dunia, berkembanglah praktik sains warga sebagai pertautan antara teknologi, seni, dan sains sehari-hari. Komunitas Lifetpatch mengadakan lokakarya dengan sejumlah warga Pekanbaru, merespons bencana asap yang rutin terjadi di wilayah ini. Heri Budiman adalah salah seorang penggiatnya, satu dari dua seniman media di Pekanbaru yang diundang di pameran ini. Ia menampilkan video patung berasap di bekas lahan yang terbakar dan sejumlah arsip dari jejaring gerakan melawan asap (Manusia Asap, 2017).
Kurator pameran ini, Hafiz Rancajale, menyebut praktik advokasi yang dilakukan melalui mediasi berbasis teknologi berguna untuk "membuka sekat teknologis" dalam masyarakat. Dibarengi acara simposium (10-11 Juli), yang semua pembicaranya datang dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, proyek yang didanai Direktorat Kesenian ini perlu memikirkan cara untuk membuka kesempatan lebih luas bagi seniman setempat.
Hendro Wiyanto, Kurator Dan Penulis Seni Rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo