Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEBOLNYA kasbon Bank Indonesia tak lepas dari krisis yang menerjang Asia pada pertengahan 1997. Ekonomi Amerika sedang kuat-kuatnya waktu itu. Harga dolar melambung terhadap mata uang asing. Rupiah jatuh. Masyarakat panik dan mulai berebut mata uang Amerika itu.
Pada 11 Juli 1997, BI memperlebar rentang intervensi dari 8 persen menjadi 12 persen. Tujuannya adalah meningkatkan peran pasar dalam menentukan kurs rupiah dan mengembangkan pasar valas domestik. Langkah ini dilanjutkan dengan melakukan pengetatan likuiditas rupiah untuk mengurangi potensi pembelian dolar, serta menghentikan lelang pembelian surat berharga pasar uang (SBPU) perbankan sejak 24 Juli 1997, yang diikuti dengan penyetopan fasilitas diskonto I dan sertifikat Bank Indonesia repurchasing (SBI repo). Namun, langkah itu tak berhasil menyetop dolar yang terus saja meroket.
Sebagian bank akhirnya mulai mengibarkan bendera putih dan muncullah kasus-kasus pelanggaran ketentuan giro wajib minimum (GWM) 5 persen. Perbankan yang semula masih bisa mengatasi penarikan dana nasabah dengan menggunakan dana mereka sendiri pada BI, lama-lama, tak tahan dan terpaksa memakai dana GWM. Setelah sumber dana ini habis dipergunakan, bank-bank pun menghadapi masalah baru, yaitu saldo negatif pada BI.
Dunia perbankan menghadapi hari-hari penuh cobaan sepanjang September-Oktober 1997. Puncaknya terjadi setelah penutupan 16 bank pada awal November 1997. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang makin tipis membuat pada akhir Desember 1997 ada 29 bank yang mengalami saldo negatif dengan BI.
BI memutuskan untuk bergerak cepat. ”Dalam krisis, speed is the essence,” kata bekas Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono. Lahirlah apa yang kemudian disebut sebagai bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Celakanya, belakangan, dana BLBI menyeleweng ke mana-mana. Ada pemilik bank yang memalsukan laporan dan malah menggunakan dana talangan itu untuk mengeruk keuntungan, misalnya memborong valas dan melarikan dana ke luar negeri. Ada pula yang melarikan diri sehingga Bank Indonesia kesulitan menagih. Tinggallah pemerintah, Bank Indonesia, dan terutama rakyat kebanyakan yang tidak tahu apa-apa terpaksa menanggung beban segunung utang yang ditinggalkan para penjebol BLBI—dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1999/2000, rakyat harus membayar bunga BLBI sebesar Rp 17 triliun.
1997
11 Juli 1997
14 Agustus 1997
1 September 1997
3 September 1997
1 November 1997
26 Desember 1997
27 Desember 1997
31 Desember 1997
1998
15 Januari 1998
26 Januari 1998
11 Februari 1998
2 April 1998
Mei 1998
4 Juni 1998
Juli 1998
1999
8 Januari 1999
13 Maret 1999
18 Juli 1997
1 November
8 Desember
9 Desember
12 Desember
15 Desember
8 Januari
14 Januari
26 Januari
11 Februari
11 Maret
7 Mei
14 Mei
21 Mei
11 Juni
8 September
14 September
21 Oktober
4 November
18 November
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi.
BI menutup 16 bank yang tidak layak beroperasi. Walau disediakan dana talangan kepada deposan dengan simpanan di bawah Rp 20 juta, masyarakat telanjur panik dan terjadi rush besar-besaran selama beberapa hari dan pelarian dana ke luar negeri (capital flight).
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.
(Catatan: Komisi IX DPR Panja BLBI hingga kini masih menyelidiki kebenaran surat ini)
Keran uang Bank Indonesia mulai dibuka, dan mengucurlah aliran dana besar-besaran ke bank-bank yang saat itu mengalami masalah.
Dalam letter of intent yang diteken pemerintah dan IMF secara resmi disebutkan bahwa dana yang dikucurkan ke berbagai bank sebagai bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Bantuan itu merupakan kredit yang diberikan kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas karena keadaan darurat.
Keluar Keputusan Presiden Nomor 26 dan 27 tentang penjaminan pemerintah atas simpanan pihak ketiga yang ada di bank-bank nasional. Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang harus bertanggung jawab atas pelaksanaan pengamanan penjaminan.
Gubernur BI Soedradjad Djiwandono diganti oleh Syahril Sabirin. Salah satu direktur BI, Budiono, juga dicopot.
Pemerintah mengumumkan akan mencetak Rp 80 triliun uang baru sebagai pengganti dana BI yang dikucurkan ke bank-bank yang dialihkan ke BPPN.
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
Pemerintah memasukkan pembayaran bunga BLBI sebesar Rp 15 triliun ke dalam APBN 1998/1999.
Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank.
Gejolak Rupiah di Masa Krisis 1998 - 1999
Dua pekan sebelumnya, Bank Sentral Thailand mendevaluasi baht dan Bank Sentral Filipina mendevaluasi peso.
Rp 2.505
Pemerintah melikuidasi 16 bank.
Rp 3.425
Presiden Soeharto sakit dan perlu beristirahat 10 hari, sehingga tak bisa menghadiri KTT OKI di Teheran, Iran.
Rp 4.000
Soeharto diisukan wafat.
Rp 4.550
Presiden Soeharto membatalkan kepergiannya ke KTT Informal ASEAN di Kuala Lumpur karena kondisi kesehatannya belum pulih.
Rp 5.115
Presiden Soeharto kembali diisukan wafat, dan masa jatuh tempo pembayaran utang banyak perusahaan.
Rp 5.700
Tiga hari sebelumnya, Soeharto berpidato di depan DPR mengantarkan nota keuangan dan RAPBN 1998/1999.
Rp 9.700
Pemerintah Indonesia bersedia bekerja sama kembali dengan IMF.
Rp 7.500
Habibie diisukan menjadi wakil presiden.
Rp 13.100
Beredarnya kabar pemerintah akan menerapkan currency board system (CBS).
Rp 7.200
Sepuluh hari sebelumnya, Soeharto memberikan pidato pertanggungjawaban di depan Sidang Umum MPR.
Rp 10.100
Terjadi kerusuhan di Medan akibat naiknya harga BBM, tarif listrik dan angkutan.
Rp 9.300
Kematian lima mahasiswa Universitas Trisakti dan kerusuhan massal mengoyak Jakarta.
Rp 10.500
Soeharto lengser.
Rp 11.000
Yen Jepang melemah dan beredar isu BI akan melakukan sanering.
Rp 13.000
Ribuan mahasiswa datang ke Gedung MPR-DPR menuntut Habibie turun.
Rp 12.300
Kepala Perwakilan IMF Asia Pasifik, Hubert Neiss, berkata akan menerapkan kontrol devisa di Indonesia.
Rp 10.750
IMF mengucur-kan dana talangan dan yen melemah.
Rp 6.800
Suhu politik memanas menjelang Sidang Istimewa MPR, 10-13 November 1998.
Rp 8.800
Tragedi Semanggi.
Rp 7.900
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo