Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Nama-Nama Timbul Tenggelam

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nirwan Darmawan Bakrie tampak begitu lega. "Lihat, nih," katanya, "nama saya tak masuk daftar." Dengan wajah cerah, ia menyodorkan koran yang memuat hasil penelusuran DPR atas skandal kasbon Bank Indonesia. Di sana, ada 56 nama yang diduga terlibat, dan Nirwan, pemilik Bank Nusa Nasional (BNN), salah satu bank penerima kasbon yang terbesar, lolos. "Kami memang nggak salah," katanya riang. Awalnya Nirwan sempat ketar-ketir. Maklumlah, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebut serangkaian "dosa" BNN. Yang terberat, bank ini diyakini telah merekayasa laporan keuangan, memakai uang bank untuk menggemukkan usaha sendiri, dan menambah modal dengan duit utangan. Dengan sederet dosa ini pun, BI tetap mengucurkan bantuan Rp 1,3 triliun. Dan, menurut audit BPK, hampir setengah triliun rupiah di antaranya tak bisa dipertanggungjawabkan. Nirwan memang punya pembelaan. Soal rekayasa laporan keuangan itu, katanya, cuma kesalahan teknis—yang kemudian diralat. Nirwan juga membantah setoran modal ke BNN berasal dari dana pinjaman dari bank lain. Guna menyelamatkan bank papan tengah itu, katanya, "Keluarga Bakrie telah habis-habisan menjual aset keluarga." Mana yang benar, wallahualam. Tampaknya, dibutuhkan investigasi untuk membuktikan kesahihan audit BPK maupun kilah Nirwan. Namun, tiadanya "trah" Bakrie dalam daftar penyeleweng menjadikan hasil kerja DPR ini patut dipertanyakan. Sebagai perbandingan, sementara audit BPK mampu merinci sejumlah modus bank-bank dalam membobol pagar BI, hasil kerja DPR ternyata cuma menunjuk beberapa nama "kawan" Soeharto, bekas Menteri Keuangan, dan para petinggi di Bank Indonesia. DPR bukan cuma meloloskan trah Bakrie, tapi juga, misalnya, Hashim Djojohadikusumo (pemilik Bank Pelita dan Istismarat), Samadikun Hartono (pemilik Bank Modern), dan Hendrawan (pemilik Bank Asia Pacific). Padahal, menurut audit BPK, nama-nama itu juga punya cerita pelanggaran tak kalah serius. Benarkah ada kongkalikong di balik kerja tim kasbon BI di DPR? Sejumlah sumber TEMPO yang mengetahui proses kerja tim kasbon BI di DPR mengakui adanya tarik-menarik pelbagai kepentingan politik di dalam tim. "Ada nama-nama yang dilarang masuk daftar, tapi ada sejumlah nama lain yang malah harus dimasukkan," katanya. Tarik ulur ini begitu kuatnya sehingga sejumlah nama seperti timbul tenggelam: hari ini masuk, besok keluar, dan sebaliknya. Fuad Bawazier, bekas Menteri Keuangan yang namanya ikut masuk daftar mereka yang diduga terlibat skandal kasbon BI, memaklumi bahwa DPR punya pelbagai hambatan untuk menyusun daftar yang komplet. Hanya dalam waktu tiga minggu, tim ini harus mengurai seluk-beluk dana talangan yang ruwet: jumlahnya, model pengucuran, mulur-mungkretnya peraturan. Pendek kata, skandal kasbon raksasa ini tak gampang dipotret jernih. Celakanya, tim kerja DPR tak dilengkapi tenaga perbankan yang cukup. Akibatnya, tim ini tak sanggup mengejar narasumber dengan pertanyaan jitu. Hasilnya, "Banyak yang salah bidik," kata Fuad sambil mencontohkan dirinya. Saat Fuad menjabat menteri, Maret 1998, program penjaminan kewajiban bank (yang menjadi sumber kebijakan BLBI) sudah berjalan dua bulan. "Jadi, saya tak bisa disalahkan," katanya. Sukowaluyo tentu saja membantah tuduhan bahwa tim kerja DPR pilih kasih. Penyusunan daftar nama sepenuhnya berdasar penelusuran yang merdeka, tanpa tekanan siapa pun. Menurut Suko, keterlibatan Soeharto dan para Menteri Keuangan tampak nyata. Merekalah yang mestinya mengawasi penyaluran kasbon ini dan tidak bisa semata-mata lempar tanggung jawab pada pejabat BI. Namun, Suko juga tak bermaksud memvonis ke-56 nama dalam daftar hitam itu. "Kejaksaan Agung yang bertugas membuktikan," katanya. Soal lolosnya sejumlah nama dari daftar itu, Suko punya alasan. "Itu semata-mata karena waktunya mepet." Nama-nama yang lolos itu, katanya, bukan berarti bebas dari jaring penyelidikan. Tim investigatif BPK akan mengupas lebih jauh dosa para bankir dan pejabat terkait. Jadi, Pak Nirwan, belum saatnya tertawa riang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus