Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria setengah baya yang nangkring dalam kafe di sebuah pencakar langit di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, itu penampilannya jauh dari kesan bangkrut. Di depannya tersaji hidangan kafe kelas atas: capuccino yang mengepul-ngepul dalam cangkir keramik serta beberapa penganan Eropa menebarkan sedapnya aroma kemakmuran.
Untuk biaya makan bersama kawan-kawannya, lelaki bertampang bonafide itu cukup menggesek Gold Visa BII. Hanya ratusan ribu rupiah. Jumlah ini ibarat ”ongkos parkir” dibandingkan dengan jumlah uang yang masuk ke brankas bank milik pria itu, Maret dua tahun silam: hampir Rp 400 miliar.
Alhasil, kendati mengaku bangkrut sejak kantornya digembok pemerintah pada 1998 lalu, mantan pemilik bank ini masih adem-ayem. Ia punya rumah gedung di perumahan elite Permata Hijau, Jakarta Selatan, mobil sedan mulus, dan hotel yang tak putus mengalirkan duit. Dan ia bukan satu-satunya yang ”bernasib baik” dalam urusan BLBI: punya bank bobrok, dipinjami kasbon gede-gedean, dan setelah ”tutup warung”, eh, pemerintah pula yang menanggung utang-utangnya.
Begitu gampangkah uang didapat di negeri ini? Tidak juga. Perlu kelihaian dan koneksi yang solid, tentu saja. Ambil contoh apa yang terjadi pada Bank Utama (BU). Dalam jajaran bank-bank penerima BLBI, bank yang antara lain dimiliki tiga anak Soeharto—Tommy, Sigit, dan Mamiek Soeharto—ini tergolong ”istimewa”. Presiden Soeharto sendiri turun tangan. Menurut Panja BLBI, pada 27 Desember 1997 Soeharto meminta Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk membantu bank yang belakangan berubah nama menjadi Bank Pesona Kridayana (PKD) itu. Dan kredit yang dikucurkan BI memang memesona: Rp 2,3 triliun. Padahal, jaminan yang diberikan BU hanya Rp 651 miliar—menurut aturan, besar jaminan harus 115 persen dari pinjaman.
Sebelum itu, BU mendapat tekanan dari para deposannya—yang sebagian besar keluarga dan pemilik BU sendiri. Ketika rush perbankan memanas, keluarga pemilik bank dengan tenang ikut-ikutan menarik dananya. Menurut sumber TEMPO, mereka berhasil menarik Rp 17,5 miliar dan Rp 85 miliar. Karena saldonya minus, BI memberikan dana talangan Rp 501 miliar—yang kemudian dikonversi-kan sebagai surat berharga pasar uang khusus (SBPUK).
Akhirnya, BI menggerojok Rp 2,3 triliun. Waktu itu, sebetulnya bank sudah berganti pemilik setelah dijual ke Bank Risjad Salim Internasional dengan harga hanya Rp 1 juta. Pergantian ini membuat pemilik lama makin leluasa menikmati kasbon triliunan rupiah. Mereka tak terlarang lagi untuk menarik uangnya. (Sejak pemerintah menjamin uang deposan, mulai 26 Januari 1998, ada larangan bagi keluarga atau perusahaan terkait untuk menarik dananya.)
Menurut seorang petinggi Bank Aspac, banker rush ala Bank Utama ini rupanya bukan hal yang janggal di mata para praktisi perbankan. Dan gaduhnya suasana keambrukan ekonomi Indonesia makin membuka banyak celah untuk dimainkan. Instrumen peminjaman uang antarbank (interbank call money), misalnya, tiba-tiba bisa menjadi ”celah yang membunuh”. Bank-bank dengan tanpa pikir panjang bisa bebas saling meminjam karena merasa aman dengan adanya jaminan pemerintah.
Merasa terlindungi jaminan pemerintah, sebuah bank papan atas pun berani meminjamkan Rp 3,2 triliun, di antaranya untuk BDNI (Rp 110 miliar), BCA (Rp 500 miliar), PSP (Rp 600 miliar), dan BUN (Rp 900 miliar). Ketika bank-bank itu masuk dalam daftar bank beku operasi, lagi-lagi pemerintah yang tampil sebagai hero pemikul utang.
Apakah itu berarti tuan-tuan bankir saja yang salah? Sulit menjawab pertanyaan ini. Februari 1999, salah satu pemilik 38 bank yang diwafatkan BI mengobrak-abrik ruang kerja seorang direktur BI. Si bankir marah besar. Sebab, atas petunjuk Pak Direktur, ia telah menyetor Rp 100 miliar agar lolos dari daftar 38 bank. Singkatnya: para bankir ha-nya bisa bermain mata bila ada lampu hijau dari lembaga-lembaga yang berkuasa menentukan hidup-mati mereka.
Menurut mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, beberapa bank ternyata telah mengalami kesulitan likuiditas sebelum krisis terjadi, tetapi selalu mendapat dana bantuan dari BI. Dari tim auditor internasional yang dibentuknya, Fuad berhasil menemukan beberapa pelanggaran yang terjadi dalam penyaluran BLBI, misalnya rekayasa dalam pemberian kredit, kasus dana bank yang telah digunakan untuk kepentingan pemegang saham pendiri dan manajemennya, atau bank yang tetap menyalurkan kredit kepada grupnya sendiri meski likuiditasnya tergantung pada BI (misalnya BDNI, yang menyalurkan kredit US$ 600 juta ke grupnya sendiri). Malangnya, nilai aset BBO rata-rata hanya 20 persen dari kewajibannya. Jadi, pemerintah—dan itu berarti rakyat—harus menanggung sisanya. Uang sudah raib dan wallahualam kembalinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo