Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Royal Peruri, Beban BI

Perum Peruri membeli tiga unit mesin pencetak uang kertas dari Swiss pada 2005 dan 2006. Investasi itu kini dipersoalkan. Harga mesin baru itu banderolnya dua kali lipat mesin sejenis buatan Jepang. Selisih uang yang harus dibayar mencapai Rp 187,5 miliar! Gara-gara Peruri "royal", ongkos produksi setiap lembar rupiah jadi mahal. Bank Indonesia pun meradang.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Segepok dokumen terbungkus amplop cokelat tergeletak di meja Dradjad Wibowo. Seseorang mengirimkannya ke anggota Komisi Keuangan DPR dari Fraksi Amanat Nasional itu. Saat itu, 26 Februari lalu, Dradjad sedang mengikuti rapat dengar pendapat dengan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah. Mereka membahas rencana BI memesan uang kertas melalui tender.

Begitu amplop dibuka, seratusan lembar dokumen transaksi pembelian mesin cetak uang oleh Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) 2005-2006 terhampar di tangan Dradjad. Dia tercengang. Di sana tertera, Peruri baru saja belanja empat unit mesin pencetak uang kertas yang ditawarkan dengan harga Rp 551,85 miliar. Padahal ada pabrik lain yang menawarkan harga untuk barang sejenis hanya Rp 270,75 miliar. Dradjad segera menyoal perbedaan angka yang mencolok itu. "Peruri harus diaudit," katanya.

Tempo yang mendapat dokumen serupa lalu melengkapinya melalui investigasi, menemukan pemborosan luar biasa. Dradjad memegang dokumen harga penawaran, Tempo kemudian menghitung harga setelah diskon berdasarkan kurs waktu itu. Nah, uang selisih harga mesin kedua pabrik itu plus bunga bank mencapai Rp 187,5 miliar.

Kalau saja rupiah itu dipakai untuk membantu siswa melalui program bantuan operasional sekolah, 530 ribu siswa SMP bisa bersekolah gratis selama setahun. Atau membangun hampir seribu puskesmas baru dengan peralatan lengkap. "Puskesmas sebanyak itu bisa melayani 20 juta penduduk," kata seorang pejabat eselon satu di Departemen Kesehatan.

l l l

Awal 2004, Peruri berencana menambah satu lini mesin cetak uang kertas dari tujuh lini yang sudah mereka miliki. Lini baru ini akan memompa kemampuan mereka mencetak uang menjadi 5,7 miliar bilyet dari sebelumnya 4,6 miliar.

Setiap lini mesin cetak yang mengubah kertas menjadi lembaran duit terdiri dari lima unit mesin yang terpisah. Masalahnya kantong mereka terlalu cupet untuk membeli satu lini sekaligus. Dewan direksi akhinya memutuskan tahap pertama hanya membeli mesin offset dan numbering. Sedangkan kebutuhan dua mesin intaglio (pembuat cetakan timbul pada kertas uang) dan sebuah cutpak (pemotongan dan pengemasan) akan dibeli pada tahap berikutnya.

Proposal pun dikirim ke Koenig & Bauer Aktiengesellschaft-Giori di Swiss. Perusahaan itu dipilih karena sudah jadi langganan Peruri sejak berdiri pada 1971.

Giori mengajukan penawaran, 21 Maret 2005. Mesin offset Super Simultan IV dipasang banderol 12,33 juta euro (Rp 148,78 miliar), dan mesin numbering Super Numerota III seharga 5,27 juta euro (Rp 63,59 miliar). Peruri kaget, kenaikan harganya terlalu tinggi dibanding saat terakhir kali mereka membeli jenis mesin itu pada 1996.

Direktur Logistik Peruri Marlan Arief menawarnya ketika Christopher J. Bradley, Direktur Giori, berkunjung ke Jakarta awal April 2005. Bradley menjelaskan, harga itu disesuaikan dengan pemberlakuan mata uang tunggal Eropa, euro. Depresiasi menyebabkan harga naik 25 persen. Dia meminta Marlan memahami kondisi eksternal itu. Sepekan kemudian, Giori merevisi penawaran. Harga mesin offset dipotong Rp 4,39 miliar.

Di tengah proses penawaran itu, Hitoshi Funada dan Hiroshi Abe, Manajer Umum dan Penasihat Senior dari Komori Corporation, datang ke Peruri, Juni 2005. Komori adalah perusahaan mesin pencetak uang asal Jepang yang baru masuk pasar dunia 15 tahun terakhir. Mereka ditemani Indriarto Utama, agen Komori di Indonesia. "Kami membuka kesempatan bagi pemasok lain," kata Marlan.

Funada memperkenalkan Komori sambil menawarkan mesin offset, intaglio, dan numbering. Sementara untuk mesin cutpak, mereka akan menghubungkan dengan UNO Seisakusho Co. Ltd. Kedua perusahaan itu berkolaborasi memasok satu lini lengkap mesin cetak uang. Jika Peruri membeli satu lini lengkap, Funada langsung menawarkan diskon Rp 13,5 miliar.

Saat itu Funada mendapat jawaban, Peruri belum punya rencana menambah mesin baru. Tapi Marlan memintanya mengirimkan harga tiap mesin dengan spesifikasi yang ditentukan Peruri. Sebulan kemudian daftar harga terkirim. Harga mesin offset Rp 74,02 miliar, sedangkan mesin numbering Rp 29,46 miliar.

Komori datang lagi ke Jakarta untuk menanyakan kemungkinan Peruri tertarik dengan harga yang ditawarkan, delapan bulan kemudian. Tapi Peruri sudah punya keputusan yang berbeda dengan yang disampaikannya kepada Funada pada kedatangan sebelumnya. Kata Marlan, Peruri sudah memilih mesin offset dan numbering dari Giori. Harga mesin offset Rp 144,1 miliar dan numbering Rp 63,61 miliar "Mesin Anda tidak cocok dengan mesin lama yang kami punya," kata Marlan, seperti ditirukan sumber Tempo yang ikut pertemuan itu.

Funada mengoreksi pendapat Peruri. Giesecke & Devrient, perusahaan pencetak uang asal Jerman, sudah 11 tahun mengawinkan mesin offset Komori dengan intaglio Giori. Goznak, perusahaan uang di Rusia, juga memakai dua merek ini sekaligus.

Marlan membenarkan informasi bahwa dirinya menolak tawaran Komori. Menurutnya, mesin cetak uang membutuhkan presisi. Satu milimeter saja silinder antarmesinnya berbeda, hasil cetakan bisa berantakan. Marlan juga menyampaikan ke Komori bahwa Peruri berencana membeli mesin intaglio dan cutpak dalam waktu dekat.

Anehnya, semula Peruri dan Giori membantah ada-nya transaksi mesin offset pada 2005. "Kami hanya mengajukan penawaran tahun 2004," kata Marlan. Bradley tak kalah keras menampik. "Tak ada order di tahun 2005," jawabnya kepada Tempo melalui faks.

Investigasi majalah ini mendapatkan surat Peruri kepada Giori yang berisi persetujuan pembelian, bertanggal 22 November 2005. Sepekan kemudian Direktur Utama Peruri Kusnan Martono dan Bradley meneken surat kontrak nomor SP-676/X/2005. Surat itu jelas-jelas berisi detail pembayaran, harga, dan-ini yang ajaib-mesin tiba 31 Desember 2005!

Sebuah pengiriman yang superkilat untuk sebuah mesin pencetak uang. Mesin ini bukanlah pompa air atau sepeda motor yang sudah tersedia di gudang. Tetapi setiap negara pemesan punya spesifikasi sendiri menurut keamanan yang mereka butuhkan. Sehingga sejak mesin dipesan hingga datang ke tempat tujuan sekurangnya memakan waktu satu tahun.

Saat dikonfirmasi ulang, Marlan mengubah jawabannya. Dia mengakui, memang ada penandatanganan kontrak pada 30 November itu. Alasannya, "Persetujuan Menteri Negara BUMN baru turun di awal bulan." Kenapa memilih mesin Giori? "Waktunya sudah sempit. Kalau harus survei dan mengecek dulu mesin Komori, tahun anggaran keburu habis."

l l l

Selang tiga bulan sejak kunjungan Funada, Marlan mengirim undangan agar Komori dan Giori mengajukan penawaran mesin intaglio. "Ini bukti kami menerapkan good corporate governance," kata Kusnan Martono.

Hawa persaingan mulai terasa. Sebagai pemain baru, Komori berusaha meyakinkan Peruri bahwa mesinnya telah dipakai beberapa negara. Funada mengundang para petinggi Peruri ke India dan Jepang. Pabrik uang India, Bharatiya Reserve Banknote Mudran, punya dua pabrik yang masing-masing memakai mesin Komori dan Giori sejak 1996. National Printing Bureau (NPB) di Jepang malah sudah 40 tahun memakai Komori.

Terbanglah Direktur Operasional Peruri, Abubakar Baay, bersama empat anak buahnya ke India dan Tokyo, Agustus 2006. Sementara Marlan ke Jepang mengecek mesin cutpak yang ditawarkan UNO.

Saat bertemu pengelola Bharatiya di India, Abubakar meminta waktu khusus. Wakil Komori yang mengantar kunjungan itu diminta keluar ruangan, meninggalkan petinggi Peruri dan Bharatiya. Usai rapat tertutup, Funada mengorek keterangan dari Bharatiya. Intinya Abubakar bertanya soal kinerja mesin Komori. "Kami jawab, 11 tahun tidak masalah," kata Funada mengulang keterangan Bharatiya.

Ternyata Abubakar belum sreg. "Kami sedang mencari intaglio indirect," kata Abubakar. Mesin yang diburu itu merupakan intaglio generasi terbaru. Generasi sebelumnya, intaglio direct printing, selain mutu cetakan lebih rendah, juga memboroskan tinta sekitar 20 persen. Masalahnya, Komori belum pernah menjual intaglio indirect. Sebab hak patennya dipegang Giori dan baru tumpas akhir 2003. Tetapi Komori mengaku pernah membuat prototipenya.

Mereka pun terbang ke Tokyo, Jepang. Abubakar tercengang saat menyaksikan kecanggihan pabrik dan kantor Komori yang modern dan serba mekanis. Seperti juga di India, rombongan bertanya langsung ke otoritas NPB.

Setelah sepekan kunjungan, Peruri dan Komori meneken spesifikasi suku cadang dan model mesin yang cocok untuk Peruri, waktu pengiriman, sampai estimasi awal harga setiap komponen. Sesampainya di Jakarta, Abubakar memaparkan hasil safarinya di depan dewan direksi. Mereka tertarik. Hanya, mesin intaglio indirect buatan Komori belum teruji.

Funada datang lagi ke Peruri di Karawang sebulan kemudian. Direksi Peruri meminta-kalau mereka jadi membeli mesinnya-Komori harus memberi jaminan penuh, jika hasil cetakan gagal atau tidak sesuai, uang kembali. Funada setuju. Ia bahkan menantang dengan memberi diskon lebih besar lagi, plus gratis suku cadang, dan training cuma-cuma bagi operator mesin. Funada menyanggupi mesin akan sampai di Pelabuhan Tanjung Priok, 13 bulan sejak tanggal pemesanan. Direksi Peruri segera meminta Komori mengajukan proposal harga.

Tiba-tiba, November 2006, Marlan mengirim telefaks meminta mesin sampai di Jakarta kurang dari enam bulan. Funada ternganga. "Itu terlalu mepet," katanya. Dalam standar internasional, mesin cetak uang sebesar garasi itu paling cepat bisa sampai dalam 12 bulan.

Sekali lagi, Funada dan Abe menemui Marlan. Pejabat karier di Peruri itu menjelaskan, mesin dibutuhkan segera karena Bank Indonesia memesan uang 6,6 miliar bilyet, atau 1,1 miliar di atas perkiraan semula. Mesin harus segera tersedia jika Peruri tak ingin kehilangan order gurih itu. Funada angkat tangan.

Bisa dipastikan, Peruri kembali ke Giori. Hebatnya, Giori sanggup membuat dan mengirim mesin dalam tempo enam bulan. Supaya pengiriman tepat jadwal April nanti, mesin terpaksa dikirim lewat udara ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Risikonya, ongkos kirim melonjak lebih dari Rp 11,5 miliar.

Peruri setuju membeli Super Orlof Intaglio dari Giori seharga Rp 125 miliar. Uang muka 20 persen sudah dikirim. Untuk mesin cutpak, Peruri memilih buatan UNO seharga Rp 54,52 miliar.

Total jenderal, dari dua tahap pembelian itu, Peruri menghamburkan Rp 333,89 miliar. Selisihnya dengan harga mesin Komori, yang hanya Rp 172,03 miliar, mencapai Rp 160,86 miliar. Jika ditambah bunga bank 10 persen, karena 80 persen dibayar dengan cara mengutang, duit menguap Rp 187,5 miliar!

l l l

Tentu saja Peruri menolak disebut menghamburkan uang. Kusnan dan sepasukan direksi Peruri kompak mengatakan mesin Giori lebih bagus ketimbang mesin Komori. "Giori sudah berpengalaman dan teruji 40 tahun," kata Kusnan. "Harga nomor dua, karena ini masalah security," ujar Marlan menambahkan.

Giori memang menjadi pelopor dan penguasa bisnis mesin pencetakan uang. Teknologinya pun lebih maju ketimbang Komori yang pendatang baru. "Belum lagi mesin mereka tak cocok dengan mesin lama kami yang buatan Giori," kata Marlan. Mereka ogah menjadi konsumen pertama intaglio indirect buatan Komori. "Kami tak mau coba-coba jadi kelinci percobaan," kata Abubakar. Tetapi alasan utama adalah kesanggupan Giori menyediakan mesin dalam jangka enam bulan. "Pesanan BI sudah di depan mata," katanya.

Marlan Arief mengaku, sebelum menjatuhkan pilihan ke Giori, dia sudah meminta pendapat perusahaan pencetak uang Nigeria, Rusia, dan India. Selama ini, tiga negara itu memakai mesin Komori. "Tidak satu pun yang merekomendasikan," katanya sembari menyodorkan surat penjelasan dari negara-negara itu.

Pilihan Peruri ini mendapat sokongan dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pejabat di sana pasang badan atas persetujuan pembelian itu. Sekretaris Menteri Negara BUMN Said Didu menyebut teknologi Komori dan Giori tidak sebanding. "Ibaratnya Anda akan membeli Mercedes-Benz dengan Kijang. Perbandingannya tak imbang, dong," katanya. Apalagi ini menyangkut mesin cetak uang, kata Didu, keamanan di atas segala-galanya.

Nah, Bank Indonesia sebagai konsumen mencoba mengecek alasan Peruri membeli mesin mahal itu. Beberapa pejabat bank sentral ini terbang ke pabrik Giesecke & Devrient di Jerman, Februari 2006. "Kombinasi dua merek itu tak ada masalah," kata seorang pejabat yang ikut menengok ke sana. Bank sentral berkepentingan mengetahui perbandingan harga mesin itu karena investasi mesin akan berpengaruh pada ongkos cetak uang yang bakal dibayarnya.

Tempo mencoba membandingkan tarif yang dikeluarkan Bank Negara Malaysia, yang tak punya perusahaan cetak uang sendiri. Setiap membuat uang, BNM hanya mengeluarkan ongkos Rp 224 per bilyet. Jika dibandingkan dengan ongkos cetak di Peruri, Malaysia membayar lebih murah Rp 42 per bilyet.

Kejanggalan lain, Giori menawarkan harga lebih murah untuk intaglio indirect kepada Bureau of Engraving and Printing (BEP), perusahaan percetakan uang di Amerika Serikat, ketika mereka membuka tender 2004. Giori menjual satu unit intaglio hanya Rp 80 miliar. Angka itu separuh harga yang ditawarkan kepada Peruri atau sedikit lebih tinggi dari harga mesin Komori. Saat itu BEP membeli delapan unit intaglio, empat plate manufacturing lines, dan empat roller covering machines.

Peruri memilih diam soal perbedaan harga itu. Marlan hanya mengatakan, "Harga bisa berbeda jika konfigurasinya berbeda." Sementara Giori meradang disodori perbandingan itu. "BEP membeli mesin dalam jumlah besar," kata Bradley. "Anda tak bisa membandingkan begitu saja" (lihat "Ini Mesin Cetak Uang, Bukan Koran"). Dengan alasan "rahasia", Bradley menolak menyebutkan perbedaan spesifikasi yang membuat harga jual ke BEP menjadi sangat murah.

Sikap pilih kasih Peruri membuat Presiden Komori Corporation Yoshiharu Komori jengkel. Pengusaha 66 tahun generasi kedua keluarga Komori itu melayangkan surat protes kepada Menteri Sugiharto yang ditembuskan ke Duta Besar Jepang untuk Indonesia Shin Ebihara, 15 Desember lalu. "Menurut kami, tender mesin uang itu tidak adil," katanya.

l l l

Tempo mencoba menggali latar belakang Peruri membeli mesin-mesin mahal itu. Sebanyak enam orang sumber berbeda menyebut satu nama di belakang bisnis mesin cetak uang di Peruri, yaitu Radius Christanto. Pria paruh baya itu mereka sebut sebagai pialang yang bisa mempengaruhi keputusan-keputusan direksi.

Radius, Direktur PT Aneka Star-distributor resmi De La Rue untuk mesin cetak uang, ATM, kertas berharga-dikenal lihai melayani para pejabat di Peruri maupun di bank sentral. Ia punya nama julukan Napoleon, juga Mister R. "Jika menulis surat, dia selalu pakai nama samaran Rakyat," kata seorang sumber.

Radius menjadi jembatan direksi Peruri dalam "Swiss Connection". Jaringan ini membuat para pemasok lain dalam bisnis komponen pabrik uang kesulitan menembus Peruri. Dia disebut-sebut memasok segala keperluan Peruri. "Ibaratnya, gerendel pintu saja dia calonya," jawaban senada diungkap oleh lima sumber berbeda.

Makanya, jangan heran jika Peruri selalu memilih tinta dari Sicpa Group-produsen tinta uang terbesar di dunia yang berkantor satu kota dengan Giori di Swiss, Lausanne. Padahal, Peruri punya sendiri Bagian Pembuatan Tinta (Batanta). Harga tinta Sicpa yang dikenal paling mahal di dunia itu mengisi 70 persen elemen produksi uang di Peruri. Sementara Batanta mengisi sisanya dengan tinta seharga Rp 100 ribu per kilogram, atau separuh harga Sicpa. "Mau bagaimana lagi, 100 persen pencetak uang memakai Sicpa," kilah Kusnan.

Marlan membantah kantornya dikendalikan Jaringan Swiss. "Saya sedih mendengar rumor-rumor begitu," katanya. Jika berhubungan dengan Giori, ia mengaku selalu mengontak langsung pejabatnya. "Coba periksa apakah surat kami ada tembusan ke agennya di Indonesia."

Popularitas Radius dan kedekatannya dengan direksi Peruri diakui Marlan. "Dia sering ikut main golf dengan kami," katanya. Tapi dalam soal proyek, seingatnya, Radius hanya pernah melakukan pengadaan peralatan listrik di Peruri. Itu pun menggandeng perusahaan lain. Radius tidak pernah main di kertas, tinta, apalagi mesin. Marlan justru menuding Radius punya hubungan erat dengan para pejabat di Bank Indonesia.

Cerita seputar Radius menjalar bak dongeng. Ia disebut-sebut menjadi penghubung dalam berbagai proses pengadaan barang di dua lembaga pelat merah ini.

Saat Tempo menghubunginya melalui telepon seluler, Radius yang sedang berada di Singapura mengaku kenal dengan para pejabat di Peruri. "Main golf suka, tapi sekali-sekali," katanya. Itu pun sudah berhenti sejak tujuh tahun lalu. Dia membenarkan informasi bahwa dirinya memasok kertas, komputer, jaringan listrik, sampai mesin sortir ke bank sentral tetapi tidak bermain di Peruri. "Di BI proyeknya lumayan, Peruri cuma sedikit," katanya. Saat ini, kegiatan pasok-memasok bahan baku cetak uang mulai dikurangi. Dia lebih senang mengurus usaha properti dan hotel miliknya.

Seorang pejabat bank sentral menyangkal pengakuan Radius bahwa lebih banyak proyek di lembaganya ketimbang di Peruri. "Dari jumlah mungkin, tapi nilainya pasti lebih kecil," katanya. Maksudnya, meski proyek Radius di Peruri bisa dihitung jari, komisi yang diperolehnya jumbo karena menyangkut barang-barang mahal. Dalam lima tahun terakhir ini, Radius memang terlihat mulai mundur teratur. Terutama setelah kepemimpian bank sentral berganti dan penerapan aturan main yang ketat dalam pengadaan barang.

Bisnis uang memang menggiurkan. Ceruknya yang sempit membatasi jumlah pemain. Tetapi sekali sabet, keuntungannya pun miliaran rupiah. Sumber Tempo memastikan, komisi untuk agen dalam setiap pembelian bisa mencapai lima persen. Sedaaap...!

KBA GIORIKoenig & Bauer dari Jerman bersama De La Rue Giori dari Italia sepakat membentuk perusahaan patungan Koenig & Bauer Aktiengesellschaft-Giori, pada Juni 2001. Kedua perusahaan ini sebelumnya sudah berkongsi selama 50 tahun. Koenig & Bauer AG didirikan Friedrich Koenig dan Andreas Friedrich Bauer di Wurzburg, Jerman, 190 tahun silam. Perusahaan ini menjadi pelopor pembuat mesin cetak uang. Gualtiero Giori mendirikan Giori sebagai pelopor pembuat mesin intaglio sejak 60 tahun silam. Sebelum KBA-Giori ada, De La Rue bertindak sebagai penjualnya. KBA-Giori yang berpusat di Lausanne, Swiss, menjadi simbol persekutuan kukuh dalam bisnis mesin cetak uang. Sudah 1.500 unit mesin yang dibuat dan dipasok ke 175 negara.

KOMORIPerniagaan keluarga ini bermula pada 20 Oktober 1923. Kepemimpinan Komori Corporation berpindah ke generasi kedua ketika Yoshiharu Komori maju menjadi orang nomor satu, sejak 41 tahun silam. Berpusat di Kyoto, Komori menjadi perusahaan terbesar dalam bisnis mesin percetakan di Jepang dengan omzet tahun lalu US$ 1 miliar atau sekitar Rp 9 triliun, terbesar kedua setelah Heidelberg. Pabrik dan kantor cabang Komori terdapat di 17 negara, antara lain Inggris, Belanda, Italia, Hong Kong, Taiwan, Cina, dan Australia. Tapi baru pada 1991, setelah terdaftar di Bursa Efek Tokyo, Komori menjual mesin pencetak uang ke luar Jepang. Perusahaan percetakan uang di Jerman, India, Nigeria, dan Rusia tercatat sebagai pemakai mesin buatannya.

Basa-basi untuk Komori

Kisah ini bermula dari undangan pengadaan mesin cetak dan numbering uang oleh Peruri yang hanya dilayangkan kepada KBA-Giori, Swiss. Padahal, ada nama lain yang sanggup mengadakan mesin sejenis dengan lebih murah, yakni Komori, Jepang. Kisah berkembang ketika BI memutuskan mencetak uang 6,6 miliar bilyet.

2003Pembuat mesin cetak uang Jepang, Komori, menjajaki penjualan mesin kepada Peruri melalui agennya di Indonesia, Indriarto Utama. Inilah pesaing utama KBA-Giori, Swiss, yang sudah lebih dulu dikenal Peruri.

2004Peruri mengundang pengadaan satu unit mesin cetak (offset) dan numbering kepada KBA-Giori.

2005

21 MaretKBA-Giori menawarkan unit mesin cetak Super Simultan IV dan Super Numerota III kepada Peruri.

30 MaretDalam rapat Peruri terungkap kapasitas mesin turun 2,5 persen per tahun. Perlu investasi baru karena kapasitas produksi tak dapat memenuhi pesanan.

5 AprilDirektur KBA-Giori Christopher Bradley menyurati Peruri perihal kenaikan harga mesin cetak dan numbering sebesar 25 persen dibanding harga 1996 karena penyesuaian euro.

Juni-JuliManajer Umum Komori, Hitoshi Funada, beberapa kali ke Peruri memperkenalkan mesin cetak, intaglio, dan numbering buatan Komori. Ketika itu, Peruri menyatakan belum berencana menambah mesin, tapi meminta Komori menyerahkan daftar harga, ongkos kirim, jaminan, dan tata cara pembayaran.

8 AgustusKomori memenuhi permintaan Peruri. Mesin Komori siap di Jakarta 13 bulan setelah kontrak.

30 NovemberPeruri membeli mesin cetak dan numbering ke Giori dan mengabaikan penawaran Komori yang jauh lebih murah. Mesin tiba pada 31 Desember.

2006

FebruariDirektur Logistik Peruri, Marlan Arief, memberi tahu delegasi Komori yang berkunjung ke Jakarta bahwa Peruri sudah membeli mesin cetak dan numbering Giori.

8 Mei Marlan Arief mengirim undangan pengadaan mesin intaglio dan pemotongan kepada Komori dan Giori. Hari itu juga, UNO Seisakusho Co. Ltd.-perusahaan mesin cetak komersial Jepang-atas rekomendasi Komori mengajukan penawaran mesin pemotong uang kepada Peruri.

10 Mei KBA-Giori mengirim penawaran mesin intaglio dan pemotongan kepada Peruri.

21 Juni Peruri rapat dengan Komisi Perdagangan, Perindustrian, dan BUMN (Komisi VI) DPR membahas rencana pencetakan uang tahun 2007. DPR mendukung pencetakan uang sepenuhnya dilakukan Peruri.

10 Agustus Direktur Produksi, Abubakar Baay, diundang melihat mesin Komori yang dipakai India dan Jepang. Sedangkan Marlan memimpin delegasi ke pabrik UNO.

24 Agustus Ketua DPR Agung Laksono menindaklanjuti pertemuan Komisi VI dan Peruri dengan mengirim surat kepada BI tentang dukungan pencetakan uang di Peruri.

28 Agustus BI menanyakan kepada Peruri kapasitas pencetakan uang 2007.

31 Agustus Peruri menyatakan sanggup mencetak uang kertas sebanyak 5,4 miliar bilyet kepada BI.

13 September Bank Indonesia menyatakan akan mencetak uang kertas 6,6 miliar bilyet, selain uang logam sebanyak 640 juta keping, dengan total nilai Rp 137,4 triliun.

3 Oktober Bank Indonesia menyetujui pencetakan uang kertas di Peruri sebanyak 5,4 miliar bilyet.

6 Oktober BI memutuskan mencetak kekurangan uang kertas sebanyak 1,138 miliar di perusahaan lain lewat tender.

9 Oktober Peruri merevisi kapasitas produksi uang kertas kepada BI menjadi 5,5 miliar, setelah mengetahui yang dicetak adalah pecahan kecil(Rp 20 ribu dan Rp 2.000).

16 OktoberBI tidak bersedia mengubah jatah cetak uang untuk Peruri. Pada hari yang sama, BI mengundang perusahaan pencetak uang untuk mengikuti pratender pecahanRp 2.000.

19 Oktober Direksi Peruri kembali merevisi kapasitas produksi. Dinyatakan, Peruri sanggup mencetak hingga 6,6 miliar bilyet seperti diminta BI.

8 November

  • Gubernur BI menyatakan surat kesanggupan produksi Peruri tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut.
  • Peruri mengirim surat kepada Komori dan Giori untuk merevisi perubahan jadwal pengiriman mesin Intaglio pada surat 8 Mei menjadi maksimal 6 bulan.

10 November Giori menyatakan sanggup mengirim mesin pada April, dengan catatan mesin dibawa pesawat terbang.

14 November Delegasi Komori menemui Peruri Kepada delegasi itu, Marlan dan Abubakar mengatakan jadwal dipercepat karena order cetak uang dari BI tiba-tiba naik dari 5,5 miliar bilyet menjadi 6,6 miliar bilyet.

16 November Komori mengirim surat protes atas penjelasan lisan Marlan dan Abubakar kepada Peruri.

27 November BI membuka tender internasional pencetakan uang Rp 20 ribu.

14 Desember Menteri Negara BUMN Sugiharto menyurati BI yang menyatakan Peruri memenuhi syarat untuk mencetak uang tahun 2007 sebanyak 6,6 miliar bilyet.

15 Desember Komori mengirim surat protes ke Sugiharto karena menilai waktu pengiriman 6 bulan terlalu singkat.

2007

16 JanuariBI menunda proses pengadaan pecahan Rp 20 ribu di luar Peruri.

7 FebruariSugiharto kembali berkirim surat kepada Gubernur BI tentang permintaan pencetakan uangdi Peruri.

26 FebruariDalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan, Gubernur BI bertahan dengan rencananya.

Biasa Beli Mahal

Negara berpotensi dirugikan sekitar Rp 187,5 miliar dalam pembelian mesin cetak uang buatan Giori oleh Peruri pada 2005 dan 2006. Angka ini dihitung dari selisih harga mesin buatan Swiss itu dengan harga mesin sejenis buatan Komori, Jepang. Potensi kerugian negara bertambah besar karena biaya pengadaan mesin yang mahal itu membuat ongkos produksi uang yang harus dibayar Bank Indonesia juga meningkat. Jika yang terakhir ini dimasukkan, dengan mengacu pada harga uang di Malaysia dan pengadaan uang pada 2007 sebanyak 6,6 miliar bilyet, ada tambahan pemborosan Rp 277,2 miliar. Dengan catatan, semua uang pada 2007 ini dicetak Peruri. Kalau yang 1,1 miliar ditenderkan, potensi pemborosan itu bisa berkurang paling tidak Rp 46,2 miliar. Berikut ini hasil perhitungan Tempo:

  1. DesainTim desain Peruri merancang uang berdasarkan spesifikasi dari Bank Indonesia. Mulai ukuran uang hingga tema dan warna yang diinginkan. Desain itu harus disetujui Dewan Gubernur BI sebelum dicetak.
  2. Film
  3. Mesin Cetak OffsetBerfungsi mencetak gambar dasar di kedua permukaan uang dengan presisi tinggi. Mesin ini menghasilkan gambar pengaman recto-verso atau see through register, yakni gambar di kedua sisi uang menjadi utuh jika diterawang.Pembelian: November 2005Potensi kerugian akibat selisih harga: Rp 70,1 miliar
  4. Mesin Cetak IntaglioMesin untuk menghasilkan gambar timbul, sehingga uang terasa kasar dan warna muncul dengan kuat. Mesin ini hanya boleh dijual kepada percetakan uang resmi berdasarkan rekomendasi Interpol.Pembelian: November 2006Potensi kerugian: Rp 56,62 miliar
  5. Mesin NumberingMesin ini memberikan nomor pada setiap uang dengan tinta khusus yang tidak dijual bebas.Pembelian: November 2005Potensi kerugian akibat selisih harga: Rp 34,15 miliar
  6. Mesin CutpakBerfungsi memotong lembaran menjadi satuan, sekaligus mengemasnya hingga siap dikirim kepada BI. Peruri memilih mesin buatan UNO seharga Rp 54,52 miliar.

Keterangan:

Euro dikonversi dengan patokan kurs tengah Bank Indonesia pada 2005 dan 2006, masing-masing 1 euro = Rp 12.069,7 dan Rp 11.514,87. Sedangkan kurs yen pada 2005 dan 2006, masing-masing 100 yen = Rp 8.822,26 dan Rp 7.889,19.

Harga Giori belum termasuk ongkos suku cadang wajib, pemasangan, dan pelatihan teknisi sekitar Rp 40 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus