Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Tender Penyulut Perang

Bank Indonesia berencana mencetak uang pecahan Rp 2.000 dan Rp 20.000 di luar negeri. Bisa menghemat Rp 46,2 miliar.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jarang-jarang Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) mengundang wartawan ke pabriknya di Karawang, Jawa Barat. Rabu dua pekan lalu, produsen uang milik negara itu tiba-tiba membawa sejumlah wartawan dari 13 media cetak dan televisi tur ke pabriknya. Padahal, biasanya area yang berisi deretan mesin uang segede garasi mobil itu tertutup bagi orang luar. Acara itu lalu diakhiri dengan sesi tanya-jawab, sepuasnya!

Ah..., tentu mereka sedang ada maunya. Beberapa kali pemandu yang mengantar wartawan membuka pertanyaan, ”Coba, Anda kira sanggup nggak Peruri mencetak 6,6 miliar bilyet (lembar)?” Pada sesi tanya- jawab, Direktur Operasional Peruri Abubakar Baay menegaskan, ”Kami memiliki tujuh lini mesin yang bisa mencetak uang kertas hingga tujuh miliar bilyet per tahun.”

Abubakar bukan sekadar pamer. Jika merunut enam bulan terakhir, memang ada ketegangan antara Peruri dan Bank Indonesia dalam soal pesanan mencetak uang.

Mulanya sebuah surat diterima Abubakar dari Deputi Direktur Pengedaran Uang Bank Indonesia, Nina K. Aziz, pada Agustus tahun lalu. Isinya, bank sentral menanyakan kemampuan Peruri mencetak uang kertas. Abubakar menyangka itu prosedur rutin karena Bank Indonesia harus menetapkan Rencana Distribusi Uang pada 2007.

Abubakar membalas surat berkategori rahasia itu tiga hari kemudian. Dengan memperhitungkan waktu untuk servis besar serta pemeliharaan mesin-mesin, Peruri menyatakan sanggup mencetak 5,5 miliar bilyet. Jawaban itu mengacu kepada tren pesanan bank sentral dalam tiga tahun terakhir.

Ternyata, bank sentral punya rencana lain. Mereka akan mengeluarkan uang dalam jumlah lebih banyak karena sebagian besar uang akan dicetak dalam pecahan kecil. Salah satu alasannya adalah untuk berjaga-jaga seandainya ada peningkatan kebutuhan karena bencana alam. Sehingga bank sentral akan mengedarkan Rp 137,4 triliun, di antaranya uang kertas 6,6 miliar bilyet.

”Karena kapasitas cetak Peruri hanya 5,5 miliar bilyet, kekurangannya kami tenderkan ke negara lain,” kata Budi Mulya, Direktur Perencanaan Strategis, sekaligus juru bicara bank sentral. Keputusan tender merupakan amanat Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Oktober 2006. Uang yang ditenderkan pecahan Rp 2.000 dan Rp 20.000. Jumlahnya 1,1 miliar bilyet.

Undangan pralelang pun ditebar ke produsen uang asing 3 November 2006. Tahap awal, bank sentral ingin melakukan tender uang kertas pecahan Rp 2.000 sebanyak 365 juta bilyet. Mengingat Peruri memegang hak cetak mata uang nasional, bank sentral menyampaikan rencana tender kepada Kusnan Martono, Direktur Utama Peruri. Mereka berharap Kusnan memahami rencana tersebut.

Ternyata tidak. Peruri terkaget-kaget. Manajemen perusahaan itu menyetorkan angka 5,5 miliar bilyet karena menyangka BI akan memesan uang dalam pecahan besar. Menurut Peruri, mencetak pecahan besar sangat berbeda dengan membuat pecahan kecil. Pada pecahan besar, ukurannya biasanya di atas Rp 10.000, harus diberikan pengamanan ekstra.

Dalam proses cetak pecahan kecil di bawah Rp 10.000, penebalan hanya pada satu sisi. Artinya, lembar-lembar uang itu hanya sekali melewati mesin intaglio (membuat cetakan timbul pada kertas uang). Sedangkan untuk pecahan di atasnya harus dua kali cetak intaglio agar timbulnya bolak-balik. ”Kalau tahu pesanan BI lebih banyak pecahan kecil, jumlah kapasitas kami lebih besar,” kata Abubakar.

Buru-buru Peruri menyampaikan surat ralat. Mereka menyatakan mampu mencetak seluruh kebutuhan bank sentral yang 6,6 miliar bilyet. Mereka sampai dua kali menyampaikan surat serupa. Agar lebih meyakinkan, Peruri mempercepat pembelian mesin baru, satu unit intaglio dan cutpak (pemotongan dan pengemasan). Paling lambat dua bulan nanti kedua mesin itu sudah terpasang di Karawang.

Tetapi penjelasan itu tidak mengubah pendirian bank sentral. ”Proses tender yang sudah berjalan tetap dilanjutkan,” begitu inti balasan surat Deputi Gubernur Bank Indonesia R. Maulana Ibrahim ke Peruri, Desember lalu. Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan pada 26 Februari lalu ngotot tetap akan menenderkan pencetakan sebagian uang kertas pecahan Rp 2.000 dan Rp 20.000 paling lambat April.

Di depan DPR, Burhanuddin membalas serangan Peruri dengan mempersoalkan transaksi pembelian mesin cetak uang ke Giori, Swiss. Pembelian mesin itu terlalu mahal, padahal mesin serupa bisa dibeli dari perusahaan lain (Komori) dengan harga separuhnya. Menurut penilaian BI, karena membeli mesin dengan harga yang terlalu tinggi itu, harga jual Peruri jadi lebih mahal dibanding perusahaan lain.

Peruri tidak bisa menerima alasan itu. Mereka mengadukan persoalan tender ke Komisi Perindustrian DPR RI dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto. Menteri Sugiharto kemudian menegur bank sentral. Dia merujuk amanat Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2006 tentang Perum Peruri, yang menetapkan perusahaan itu sebagai pencetak tunggal rupiah, kecuali untuk alasan-alasan khusus.

Sumber Tempo menceritakan, Gubernur Bank Indonesia kemudian mencari-cari waktu untuk bisa bicara berdua dengan Direktur Utama Peruri. Mereka bertemu di sebuah lapangan golf Sentul, Jawa Barat, bulan lalu. ”Burhanuddin sampai harus absen dari undangan pesta pernikahan anak Djoko Sutrisno, Direktur Peredaran Uang BI,” kata sumber itu menggambarkan pentingnya lobi tersebut.

Di sana, kata sumber itu, Kusnan menyerah. Peruri hanya akan mencetak 5,5 miliar bilyet. Sisanya tetap ditenderkan. Tetapi kepada Tempo, Kusnan mengaku justru Burhanuddin yang berjanji akan memberikan semua order kepada Peruri. Entah, siapa yang benar.

Namun Tempo mendapat bisikan bahwa BI mendepak Peruri bukan semata karena terbatasnya kapasitas mesin. Mereka jengkel lantaran Peruri bisa seenaknya menetapkan ongkos cetak. Bandingkan saja, bank sentral Malaysia, Bank Negara Malaysia, cuma membayar Rp 224 untuk setiap bilyet. Padahal negeri jiran itu belum memiliki pabrik uang sendiri. Sementara Peruri mematok harga ke Bank Indonesia lebih mahal 42 perak.

Artinya, dengan menenderkan yang 1,1 miliar bilyet ke perusahaan pencetakan uang asing, Bank Indonesia paling tidak bisa menghemat Rp 46,2 miliar! Itu pun Bank Indonesia masih harus membayar lebih mahal Rp 231 miliar untuk mencetak yang 5,5 miliar bilyet di Peruri.

Masih ada lagi pengalaman buruk berkaitan dengan order cetakan. Misalnya, dua tahun lalu, bank sentral membeli kertas uang dari Arjo Wiggins, produsen kertas uang dari Prancis untuk mencetak pecahan Rp 20 ribu dan Rp 50 ribu. Peruri mengatakan hasil tes cetak di atas kertas itu gagal. Bank sentral terpaksa membeli kertas baru dari pemasok lain dengan harga yang lebih mahal. Eh..., akhir tahun lalu Peruri ternyata dapat mencetak dengan lancar kertas produksi Arjo Wiggins itu.

Apa kata Peruri? ”Harga cetak itu tergantung spesifikasinya. Tak bisa dibandingkan begitu saja,” kata Kusnan. Dia malah mengklaim ongkos cetak Peruri jauh lebih rendah dibanding yang lain. Buktinya, Peruri memenangi tender cetak mata uang di Nepal. Soal kualitas kertas uang, Direktur Logistik Peruri Marlan Arief mengaku mereka tidak mau main-main karena mutu kertas menentukan kualitas uang. ”Masak karena itu kami disalahkan,” katanya.

Perang dua lembaga pelat merah ini masih terus berlangsung. Bank Indonesia berharap Komisi Perindustrian DPR membela mereka supaya tender yang telanjur mereka atur bisa jalan terus. Sebaliknya, Peruri menyerahkan persoalan ini kepada Menteri Sugiharto.

Di tengah pertempuran, Peruri mengakhiri kunjungan para wartawan dengan jamuan makanan khas Sunda penuh lalapan hijau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus