Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Proyek Sokol di Titik Nol

Nama kerabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat dan Partai Demokrat tersangkut kasus proyek pengadaan helikopter militer. Realisasinya masih jauh di awang-awang.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR tak sedap tampaknya sedang menghampiri Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Djoko Santoso. Bermula dari Eko Judianto Darmawan, kakak ipar sang jenderal, yang terlibat proyek pengadaan satu skuadron helikopter serbu Pzl W3A Sokol dari PZL Swidnik SA, produsen peralatan militer dari Polandia.

Sejak lima tahun silam, Markas Besar TNI Angkatan Darat ingin melengkapi sistem persenjataan mereka dengan belasan heli serbu berawak 12 ini. Kisahnya berawal pada November 2005, ketika tiga sekawan pengusaha, Reddy Hartadji, Abel Cicero Arya, dan Eko Judianto, berkongsi mendirikan PT Juang Lestari.

Dalam akta pendiriannya, perusahaan dengan modal awal Rp 5 miliar itu akan bergerak di delapan ragam usaha, termasuk ”pengadaan barang-barang”. Meski tak menyebut barang apa, akta itu menyatakan Juang Lestari berencana menjadi ”distributor, supplier, maupun agen (perwakilan) dari perusahaan di dalam dan di luar negeri”.

Ketika akhir tahun lalu perusahaan itu ditunjuk menjadi agen resmi penjualan semua produk Swidnik SA di Indonesia, banyak orang terkesima. Soalnya, Juang Lestari sebelumnya tak terlalu dikenal. Tiba-tiba, dengan penunjukan itu, mereka otomatis menangani proyek pengadaan 14 unit helikopter Sokol untuk militer Indonesia—dan ini jelas bukan proyek kacang goreng.

Nilai proyek itu mencapai US$ 65 juta—nyaris Rp 600 miliar. Jika agen mendapat komisi 10 persen saja dari nilai kontrak, maka di atas kertas pundi-pundi Juang Lestari akan kemasukan sedikitnya Rp 60 miliar. Yang paling kaget tentu agen Sokol sebelumnya, PT Indonesia Persadaraya Mandiri.

Muncullah berbagai tudingan, termasuk yang menyorot keberadaan kakak ipar Jenderal Djoko sebagai pemilik Juang Lestari. Ketua Komisi Polandia di Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Nyoman Dhamantra, terang-terangan menengarai bau tak sedap dalam penunjukan Juang Lestari. ”Biasanya agen tidak diganti ketika proyek sedang berjalan,” katanya, awal pekan lalu.

Kepada Tempo yang mewawancarainya pekan lalu, Eko Judianto blak-blakan buka kartu. ”Saya memang kakak ipar Pak Djoko,” katanya. Ketika mendirikan Juang Lestari, dia mengaku tak ada rencana ikut bermain dalam proyek pengadaan alat persenjataan militer. Begitu mencium potensi konflik kepentingan, Maret 2006, Eko mengaku langsung mundur. ”Saya diperingatkan untuk mengundurkan diri,” katanya. Oleh siapa? ”Bapak Djoko Santoso.”

Direktur Utama Juang Lestari, Azhary Moedjitaba, membenarkan pernyataan Eko. Ditemui terpisah, dia menegaskan perubahan akta kepemilikan pemegang saham PT Juang Lestari, bertanggal 22 Maret 2006. Di sana disebutkan, Eko Judianto menjual seluruh saham miliknya kepada Joppy Kurniadi Negara. Yang disebut terakhir ini adalah Direktur Utama PT Dharma Polimetal, perusahaan produsen alat-alat metal yang berlokasi di Tangerang, Banten. ”Sejak itu, Pak Eko tidak ada hubungannya dengan kami,” kata Azhary.

Selesai? Tidak juga. Dalam jajaran komisaris PT Juang Lestari ternyata tercantum nama tokoh penting lain: Mayor Jenderal (Purn.) Ferial Sofyan, Ketua Partai Demokrat Jakarta. Sebelum pensiun, Ferial adalah Koordinator Staf Ahli Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Ketika melobi Swidnik SA untuk mendapatkan sertifikat keagenan, Ferial sendiri ikut terbang ke Polandia.

Ditanya soal ini, Azhary lagi-lagi tak mengelak. Ketika duduk sebagai komisaris Juang Lestari, katanya, Ferial belum terpilih menjadi Ketua Partai Demokrat Jakarta. ”Begitu terpilih, dia langsung memutuskan tidak aktif di perusahaan.” Azhary berulang kali menegaskan, penunjukan Juang Lestari sebagai perwakilan pabrik pembuat helikopter Sokol di Indonesia tidak terkait dengan ”nama-nama besar” di balik perusahaan itu. ”Kami bukan pengusaha dadakan,” katanya dengan nada tinggi.

Sejak 2004 Azhary mengaku sudah malang melintang dalam proyek pengadaan suku cadang helikopter Bell di Markas Besar TNI Angkatan Darat. Selain itu, perubahan struktur perusahaan di PZL-Swidnik SA juga punya peran sebagai pintu masuk untuk Juang Lestari. Sejak September 2006, Agencja Rozwoju Przemysly (ARP) Group, yang menaungi sejumlah perusahaan produsen alat militer di Polandia, termasuk Swidnik, memutuskan seluruh kegiatan penjualannya di luar negeri ditangani langsung oleh sebuah unit bernama FIF Cenzin Co. Ltd. Akibatnya, seluruh kontrak antara pabrik-pabrik di bawah ARP dan agen-agennya di seluruh dunia ditinjau kembali.

”Kami memang berhu-bungan langsung dengan Cenzin,” kata Azhary. Berawal dari sepucuk surat penawaran dari Juang Lestari, gayung pun bersambut. Sepanjang paruh kedua 2006, delegasi khusus dari Cenzin bolak-balik Warsawa-Jakarta, memeriksa rekam jejak dan kompetensi teknis Juang Lestari. ”Kami diperiksa luar dalam,” katanya.

Setelah semua dokumen beres, barulah pada Desember 2006 Juang resmi ditunjuk menjadi agen penjualan semua produk alat militer Polandia di Indonesia. Penunjukan itu baru akan bernilai komersial jika proyek Sokol disetujui pemerintah dan parlemen Indonesia. ”Sekarang masih nol,” kata Azhary.

Jadi-tidaknya heli Sokol mendarat di Tanah Air pun sebetulnya masih jauh di awang-awang. Meski TNI Angkatan Darat sudah mempersiapkan lapangan terbang perintis di Waytuba, Kabupaten Way Kanan, Lampung, sebagai markas skuadron helikopter ini, kata akhir pengadaan heli itu sampai kini belum diputuskan. Bahkan proyek perpanjangan landasan dan pembangunan hanggar di sana kini dihentikan untuk sementara. ”Semua off hingga ada kucuran dana,” kata Komandan Lapangan Udara Waytuba, Kolonel (Inf.) Nyoman Widastra, kepada koresponden Tempo, Nurochman.

Direktur Jenderal Sarana Pertahanan, Departemen Pertahanan, Marsekal Muda (TNI) Slamet Suprihatino, membenarkan bahwa alokasi anggaran untuk pengadaan heli yang direncanakan dibeli dengan kredit ekspor ini sudah diputuskan dua tahun lalu. Jumlahnya US$ 30 juta pada tahun anggaran 2008, dan US$ 35 juta pada tahun anggaran berikutnya.

Namun, realisasinya masih terus dikaji Departemen Pertahanan. ”Apalagi sekarang ada usulan lain,” kata Slamet. Pada awal Maret lalu, Komisi Pertahanan DPR memang sempat meminta pemerintah mempertimbangkan peluang helikopter sejenis, antara lain helikopter Bell 412-EP yang kabarnya bisa diproduksi PT Dirgantara Indonesia. Karena itulah, katanya, ”Proyeknya saja masih belum ada.”

Wahyu Dhyatmika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus