Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGAKU bernama Paul Randall, seorang turis asal Amerika Serikat datang ke Lombok untuk membeli tanah. "Saya melihat iklan di Internet dan tertarik. Tempat ini akan segera sepopuler Bali, beruntung kalau bisa punya properti di sini," katanya.
Pria tinggi-kurus 20-an tahun ini bertemu Tempo di lobi Hotel Airlangga, Mataram, awal Oktober lalu. Di Mataram, Paul mengatakan dia berhubungan dengan sebuah perusahaan lokal PT IRA Property Lombok. Mereka menawarkan sepetak tanah di dekat Pantai Pink. Harganya Rp 500 juta per hektare.
Pantai di desa kecil Sekaroh, Jerowaru, Lombok Timur, itu memang telah dikenal luas. Nama sebenarnya Pantai Tangsi, tapi disebut juga Pantai Pink karena pada sore hari pasirnya terlihat berwarna merah jambu.
Tiba di Mataram sehari sebelumnya, dia langsung menuju kantor IRA Property yang terletak di deretan rumah toko di Jalan Bung Karno, seberang Lombok Garden Hotel. Meski hanya berupa sebuah ruang kecil, menurut dia, interior kantor IRA tergolong mewah. Menghadap pintu masuk, ada sebuah meja kerja cokelat muda. Di salah satu temboknya tergantung televisi layar datar berukuran besar.
Paul bercerita, pemilik IRA Property, Ismail Salim, menunjukkan kepadanya peta lokasi tanah yang hendak dijual di televisi besar tadi. Tampaknya televisi itu dihubungkan dengan salah satu komputer yang memiliki akses ke Google Earth. "Ismail mengatakan dia juga memiliki dua lahan persis di Pantai Pink. Harganya Rp 30 juta per are—atau Rp 3 miliar per hektare," katanya.
Karena orang asing tak diizinkan memiliki tanah, Fikri Said, notaris yang bekerja sama dengan IRA Property, menawari Paul agar membuat perusahaan penanaman modal asing (PMA) bodong atau memanfaatkan nomine. Biasanya nomine orang asli Lombok. Nama mereka digunakan dalam akta kepemilikan tanah.
Di belakang itu, sang nomine diikat perjanjian bahwa uang yang digunakan untuk membeli tanah milik pembeli sebenarnya. Perusahaan asing lebih mudah karena boleh membeli tanah untuk usaha. Hanya, cara ini membutuhkan modal lebih besar. "Saya belum melihat tanahnya," kata Paul.
Paul bukan satu-satunya orang asing yang tertarik membeli tanah dekat pantai tersebut. Dua kali datang ke Lombok, Tempo menemukan banyak warga Australia, Amerika Serikat, Jepang, dan Cina tertarik membeli tanah di sana. Cerita mereka macam-macam.
Tidak semuanya berhubungan dengan IRA Property. Broker sekaligus nomine dengan mudah bisa ditemukan di hampir setiap pelosok Lombok. Beberapa sudah menjadi orang kaya di daerahnya. Lalu Jelamin, misalnya, warga Desa Prabu, Lombok Tengah. Anak nelayan ini mulai menjadi nomine pada usia 20 tahun. Kini, 17 tahun kemudian, dia telah menjadi pengusaha sukses. Meski memiliki sebuah hotel bintang 4 di Pantai Kuta, Lombok, dia tetap menjadi biong tanah. "Job lebih banyak datang dari mulut ke mulut," ujarnya.
Untuk mengecek cerita Paul, Tempo datang ke kantor IRA Property. Ismail menolak diwawancarai. Sedangkan Fikri Said, yang dihubungi secara terpisah, membenarkan bahwa kantor notariatnya memiliki kerja sama dengan IRA. Tapi dia membantah jika disebut pernah bertemu dengan Paul. "Saya tak berani macam-macam memberikan pendapat hukum kepada orang asing ihwal pembelian lahan di Lombok," katanya. "Paling aman, orang asing mendirikan perusahaan penanaman modal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo