Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Demi Sawit yang Mulia

BPDPKS dibentuk untuk menyerap kelebihan CPO. Memanjakan industri sawit.

9 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • BPDPKS dibentuk untuk menstabilkan harga minyak sawit mentah yang anjlok pada 2015.

  • Sebagai produsen terbesar sawit, Indonesia negara pertama yang menerapkan biodiesel B30 .

  • Selain mensubsidi biodiesel, BPDPKS kini juga menyalurkan subsidi minyak goreng agar tak langka.

BADAN Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terbentuk karena keinginan pemerintah mengendalikan harga sawit yang jatuh akibat kelebihan pasokan. Waktu itu, pada 2015, Indonesia menghasilkan 32 juta ton minyak sawit mentah atau crude plam oil (CPO). Dengan pasokan sebanyak itu, Indonesia menjadi juara penghasil minyak sawit dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu saja pasar global tak sanggup menyerap semua minyak sawit itu. Akibatnya, harga turun. Industri sawit terancam rugi besar. Pemerintah pun putar otak. Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil lalu mengawinkan kelebihan pasokan itu dengan mitigasi iklim melalui produksi biodiesel—mencampur solar dan minyak sawit untuk mengurangi emisinya. “Waktu itu kita sudah punya biodiesel 5 persen atau B5,” kata Sofyan, kini Menteri Agraria dan Tata Ruang, Rabu, 6 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sofyan mengajak Lin Che Wei—analis pasar modal dan pendiri Independent Research & Advisory Indonesia—yang saat itu anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Perekonomian, untuk mengkaji konsepnya. Setelah 16 kali rapat dengan pemain sawit, mereka sepakat membentuk BPDPKS pada 15 Juni 2015.

Menurut Sofyan, dasar BPDPKS adalah Undang-Undang Perkebunan yang mengamanatkan pemerintah menstabilkan harga sawit. Caranya, menaikkan konsumsi biodiesel dari B5 menjadi B15, B20, hingga kini B30. Sofyan berhitung biodiesel bisa membakar 10 juta ton minyak sawit.

Lin Che Wei tak menampik keterlibatannya dalam pendirian BPDPKS. Menurut dia, selain Sofyan, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Perekonomian Musdhalifah Machmud serta Kementerian Keuangan punya andil besar melahirkan BPDPKS. “Bagian saya cuma hitung-hitungan,” tuturnya. “Saya hitung selisih POGO (palm oil gas oil), market vegetable oils forecast, dan lain-lain. Urusan kebijakan ada di menteri,” ucap Che Wei.

Dari mana sumber dana BPDPKS? Pungutan setiap ton minyak sawit yang diekspor. Dana yang disetor perusahaan-perusahaan sawit itu yang digunakan untuk mensubsidi selisih harga antara solar dan biodiesel. Jadi duit itu diambil dari perusahaan sawit kembali kepada perusahaan sawit. Hingga 2021, BPDPKS telah mengumpulkan pungutan ekspor Rp 139,17 triliun. Tahun ini pungutan ekspor diperkirakan mencapai Rp 57 triliun.

Penentuan alokasi dana BPDPKS mengikuti keputusan Komite Pengarah yang sekarang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan beranggotakan tujuh menteri. Dengan format badan layanan umum, BPDPKS leluasa menyalurkan dana pungutan ekspor itu. Bahkan leluasa tidak memungutnya.

Pada 2019, misalnya, Komite Pengarah menyetop tarikan pungutan ekspor CPO karena harganya merosot. Masalahnya, subsidi biodiesel kepada korporasi jalan terus. Akibatnya, BPDPKS tekor dan pemerintah harus menalanginya dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Kami sudah kembalikan lagi uangnya tahun lalu sebesar Rp 2,78 triliun,” tutur Eddy Abdurrachman, mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, yang didapuk menjadi Direktur Utama BPDPKS, Selasa, 5 April lalu.

Karena dananya tak masuk kas negara, BPDPKS juga leluasa menyalurkan duit jumbo itu untuk apa saja. Meski seharusnya dana digunakan untuk menyubsidi petani sawit dan riset, ketika kini terjadi kelangkaan minyak goreng akibat industri lebih senang mengekspornya karena harga internasional melonjak di atas US$ 1.000 per ton, BPDPKS pula yang turun tangan.

Komite Pengarah, kata Eddy, menugasi BPDPKS menyubsidi minyak goreng curah sebanyak 1,2 juta kiloliter. Dana yang disiapkan senilai Rp 8 triliun. Meski baru kali ini BPDPKS menyuntikkan uang untuk minyak goreng, menurut Eddy, hal itu masih dalam lingkup tugasnya. Ia mengutip Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 yang menjadi dasar pembentukan BPDPKS. “Ada tugas memenuhi kebutuhan pangan,” ujarnya. “Salah satunya minyak goreng.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Liputan ini terbit atas kerja sama dengan Jikalahari, Greenpeace Indonesia, Yayasan Auriga Nusantara, yang didukung Rainforest Investigations Network Pulitzer Center. 

Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus