Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lebih dari Rp 6 triliun dana peremajaan sawit rakyat (PSR) lebih banyak dinikmati korporasi.
Petani kelapa sawit kecil malah terlilit utang.
UU Cipta Kerja mengampuni petani menengah yang membuka kebun di kawasan hutan.
TIAP kali Abdur Ratik diajak berbicara tentang kebun kelapa sawit, terbayang utang Rp 106 juta kepada Bank Mandiri dan program peremajaan sawit rakyat (PSR). Petani sawit 61 tahun dari Desa Bukti Harapan, Siak, Riau, ini pasrah utangnya menggunung dari hari ke hari. “Kalau dengan bunga mungkin bisa sampai Rp 300 juta,” katanya pada pertengahan Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratik harus meminjam uang dari bank dua tahun lalu karena dana subsidi PSR dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kurang. Dana tersebut diterima Koperasi Bhakti Mandiri Rp 9,6 miliar. Ada 160 pekebun di Desa Bukit Harapan yang berhak menerima dana ini. Ratik menerima Rp 50 juta untuk meremajakan kebun sawit berusia 30 tahun seluas 2 hektare. Di desanya, terdapat 385 hektare total luas kebun sawit yang harus ditanami kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumbernya utang karena menggunakan skema kerja sama. Koperasi bekerja sama dengan PT Inti Indosawit Subur, anak usaha Asian Agri Group milik konglomerat Sukanto Tanoto, yang menebang, menyediakan bibit, hingga merawat sawit sampai siap panen pada usia empat tahun. Untuk semua pekerjaan itu, perusahaan mematok upah Rp 122 juta per hektare. Karuan saja Ratik tekor.
Seharusnya kekurangannya hanya Rp 72 juta. Tapi ia harus menggadaikan sertifikat kebunnya senilai Rp 106 juta. “Katanya ada pembengkakan, mbuh di bagian mana,” ucap transmigran asal Jawa Timur ini.
Ricky Tanjung, asisten pembina plasma PT Inti Indosawit Subur, mengatakan sebetulnya yang ditanggung pekebun kurang-lebih Rp 45 juta karena perusahaan memberi diskon. Dalam kasus Ratik, Ricky menjelaskan, terjadi pembengkakan karena ada kewajiban membayar bunga bank. “Kalau punya tunai Rp 45 juta, petani tak perlu pinjam uang,” ucapnya.
Petani seperti Ratik tak hanya ada di satu desa. Di Siak, ada puluhan desa yang petaninya terjerat utang karena menerima dana PSR. Misalnya di Desa Kumain di Rokan Hulu. Saud Maruli, Sekretaris Koperasi Makarti Jaya, mengatakan dana PSR terlalu kecil. Seharusnya, kata dia, dana itu minimal Rp 100 juta per 2 hektare. “Biar kami enggak mikir utang,” ujar Saud. “Subsidi itu kan duit kami juga, duit petani.”
Kondisi kebun sawit dalam program peremajaan sawit rakyat, di Siak, Riau, 19 Maret 2022. TEMPO/Erwan Hermawan
Dana PSR berasal dari pungutan ekspor crude palm oil (CPO). Pada 2015-2021, dana pungutan ekspor CPO mencapai Rp 139,2 triliun. Dana itu dikelola oleh BPDPKS, badan layanan umum di bawah Kementerian Keuangan. Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 mengatur dana pungutan harus disalurkan untuk PSR dan subsidi biodiesel.
Masalahnya, BPDPKS mementingkan subsidi biodiesel karena itu program nasional. Penerimanya konglomerasi sawit karena hanya ada sekitar sepuluh perusahaan yang mampu memproduksi biodiesel. Subsidi petani melalui PSR hanya Rp 6,59 triliun untuk meremajakan sawit seluas 240 ribu hektare di seluruh Indonesia. Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan, dana sebesar itu pun tak terserap semuanya. Dari dana Rp 2,3 triliun pada 2019, realisasi PSR hanya 51,43 persen.
Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto, dana PSR minim karena petani tak punya wakil dalam rapat Komite Pengarah BPDPKS yang mengatur penyaluran dana pungutan ekspor sawit. “Semuanya memuluskan kepentingan perusahaan, tidak membela kepentingan pekebun,” tutur Darto, Kamis, 7 April lalu.
Darto merujuk pada peserta rapat Komite Pengarah BPDPKS yang berasal dari korporasi, yakni Franky Widjaja dari Sinar Mas Group, Pung Kian Hwa dari Surya Dumai Group, Martua Sitorus dari Wilmar Group, dan Arif Patrick Rachmat dari Triputra Group. Ketua Komite Pengarah Airlangga Hartarto mengangkat mereka sebagai narasumber utama rapat.
Sebetulnya ada perwakilan dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo). Ketua Apkasindo adalah Gulat Medali Emas Manurung. Tapi ia punya 24 hektare kebun sawit sehingga tak mewakili petani gurem seperti Abdur Ratik. Di dewan pembina, ada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia Sahat Sinaga, dan Suaidi Marasabessy.
Suaidi adalah pensiunan tentara yang menjadi direktur PT Kutai Energi, korporasi batu bara milik PT Toba Bara Sejahtra. Perusahaan ini terafiliasi dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Dengan komposisi seperti itu, Mansuetus Darto skeptis dana PSR bakal naik tahun ini. Tapi Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman berencana mengusulkan kenaikan dana PSR menjadi Rp 60 juta per hektare dengan pertimbangan kenaikan harga pupuk. “Ini baru wacana,” ujar Eddy.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Ali Jamil, mengatakan dana PSR memang akan naik, tapi hanya menjadi Rp 35 juta per hektare, bukan Rp 60 juta. Itu pun masih dikaji para ahli.
Sekretaris Jenderal Apkasindo Rino Afrino mengatakan problem utama PSR bukan soal nilainya, melainkan realisasi yang kurang. Juga banyaknya kebun kelapa sawit petani yang berada di kawasan hutan. Sawit di kawasan hutan memicu deforestasi ilegal. “Banyak petani gagal mendapatkan dana PSR karena itu, meski mereka punya sertifikat milik lahan,” katanya.
Lembaga swadaya masyarakat Greenpeace Indonesia mencatat, dari 16,4 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Indonesia, 3,12 juta hektare berada di kawasan hutan. Gulat Manurung, misalnya, punya 140 hektare sawit di dekat Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. “Yang benar 142 hektare, jangan dikurangi,” ucapnya, terkekeh.
Menurut Gulat, kebun sawit seluas itu milik 17 orang. Ia menanam sawit di kawasan hutan sejak 2007. “Sesuai dengan aturan, kami akan membayar denda,” tuturnya. Aturan yang dirujuk Gulat adalah Undang-Undang Cipta Kerja yang terbit pada 2020. Pasal 110B undang-undang itu mengatur denda administrasi bagi pekebun yang membuka kawasan hutan untuk sawit.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021, kata Gulat, status kawasan hutan lahan sawit seluas kurang dari 5 hektare akan dicabut. Dengan kebijakan ini, dia melanjutkan, pemerintah tak perlu lagi menyoal sawit di kawasan hutan untuk memberikan dana PSR kepada petani.
Rupanya, masalah dana PSR bukan hanya itu. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan ada 71 petani yang menerima dana ganda senilai Rp 1,7 miliar dan luas kebunnya lebih dari 4 hektare dalam satu keluarga. “Seharusnya tidak ada penerima ganda,” ujar Ali Jamil. “Data dikirim dari pemerintah provinsi.”
Untuk menyelesaikan persoalan dan mempercepat program PSR, Kementerian Pertanian menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2022 pada Februari lalu. Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan peraturan itu merupakan amanat rapat Komite Pengarah BPDPKS.
Dalam peraturan terbaru terdapat jalur kemitraan dengan perusahaan melalui permintaan langsung dana PSR kepada BPDPKS tanpa lewat pemerintah daerah. Penyurvei yang ditunjuk BPDPKS yang akan memverifikasi data lapangan kebun kelapa sawit petani. Cara ini, menurut Mansuetus Darto, justru akan memicu transfer ganda ke petani. Sebab, urusan dana petani di provinsi masih kacau.
Di luar ruwetnya urusan PSR, Abdur Ratik waswas akan hidupnya. Semenjak kebun sawitnya diremajakan, ia hanya mengandalkan 50 pohon sawit yang ditanam di halaman rumahnya untuk menghidupi keluarganya. Apalagi ia harus mencicil utangnya ke bank. “Beginilah nasib petani kecil,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Liputan ini terbit atas kerja sama dengan Jikalahari, Greenpeace Indonesia, Yayasan Auriga Nusantara, yang didukung Rainforest Investigations Network Pulitzer Center. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Subsidi Atas-Bawah"