Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Bom Waktu di Hamparan Tanah Merauke

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proyek-proyek perkebunan dan hutan produksi yang sedang menggelinding di Kabupaten Merauke, ujung selatan Papua, terancam kisruh. Tahun lalu, pabrik pengolahan kayu PT Medco Papua Industri Lestari sempat berhenti beroperasi dua bulan akibat protes warga yang memanas. Pembukaan lahan tebu PT Cendrawasih Jaya Mandiri—anak perusahaan Rajawali Group—juga terbelit masalah. Dua suku adat berseteru soal batas lahan yang akan dipakai perusahaan itu. Konflik serupa terjadi di banyak wilayah lain di Merauke dan menimpa belasan perusahaan di sana.

Apa yang terjadi? Mengapa Merauke, yang selama ini dikenal sebagai wilayah yang relatif tenang di Papua, mendadak dirundung persoalan? Derasnya protes suku-suku asli di Merauke yang ramai-ramai menuding perusahaan tidak menghormati hak adat mereka bahkan membuat proyek ambisius Kementerian Pertanian—Merauke Integrated Food and Energy Estate—terancam gagal.

Tempo melaporkan langsung dari Kampung Zanegi di Distrik Animha dan mengungkap akar konflik adat dalam pembukaan ratusan ribu hektare hutan Merauke.


Belasan tonggak kayu bercat putih tertancap di area seluas lima meter persegi itu. Di samping setiap tonggak, ada pohon akasia muda yang tingginya baru semeter. Nama-nama petinggi PT Medco Papua Industri Lestari dan LG—perusahaan energi asal Korea Selatan yang bekerja sama dengan Medco mengelola proyek hutan ini—tercantum di setiap tonggak dengan cat hitam. Ada nama Hilmi Panigoro, Aradea, juga nama Korea seperti Kim Dong-soo, Ha Young-bong, Kim ­Young-jin, dan Song Chi-ho.

Tak jauh dari hamparan tonggak-tonggak putih itu, tegak sebuah menara kayu setinggi sekitar 10 meter. Dari sana, hamparan hutan tanaman industri Medco bisa dilihat dari segala sudut. Ribuan hektare hutan lebat sudah berubah menjadi petak-petak dengan bibit-bibit akasia mungil ditanam berjajar rapi.

Tepat di tengah menara terdapat papan panjang dengan tulisan besar-besar: "Preparation for the Future". Ya, inilah proyek masa depan Medco di Kabupaten Merauke, Papua. Dibuka pada awal 2010, lahan seluas 169.400 hektare di sekitar Kampung Zanegi, Distrik Animha—lima jam perjalanan ke utara kota Merauke—itu akan diubah menjadi hutan tanaman industri berskala raksasa.

Sekitar dua kilometer dari menara itu, tepat di pinggir Kali Bian, salah satu sungai terbesar di wilayah selatan Papua, Medco membangun pabrik modern pengolahan kayu. Ribuan kubik kayu setiap hari dicincang di sana untuk menjadi kayu serpih (wood chips), yang kemudian diangkut dengan tongkang-tongkang besar menuju pelabuhan. Dari sana, kayu Merauke diekspor ke Jepang dan Korea Selatan.

Di dua negara Asia Timur itu, kayu yang diekspor Medco dipakai menjadi bahan bakar pelengkap di pembangkit-pembangkit listrik. Sedikit demi sedikit, kayu serpih yang sudah diolah menjadi semacam briket (wood pellets) ini akan menggantikan fungsi batu bara sebagai bahan bakar pembangkit energi. Di masa depan, hutan Zanegi akan menjadi sumber energi terbarukan buat negara-negara maju itu.

Ketika tonggak-tonggak kayu putih itu ditancapkan pada Oktober 2011 dan para petinggi Medco sibuk menanam pohon akasia bersama tamu-tamunya dari Korea, tak sampai satu kilometer dari sana sebuah keributan kecil terjadi. Puluhan warga dari Kampung Zanegi merangsek mendekati lokasi acara. "Waktu itu, kami hanya ingin bertemu dengan Pak Arifin Panigoro," kata Vitalis Gebze, ketua marga Gebze di kampung itu, ketika ditemui tiga pekan lalu.

Sejak Agustus 2009, Arifin memang sudah resmi jadi anak adat di Merauke dengan nama Warku Gebze.

Tapi polisi dan petugas keamanan PT Selaras Inti Semesta—anak perusahaan Medco yang mengelola proyek hutan itu—menghalangi warga. Mereka tak bisa melewati pos keamanan perusahaan di Km 19, dekat mes karyawan PT Selaras. Bentrokan nyaris terjadi. "Pemuda-pemuda sudah marah," kata bekas Kepala Kampung Zanegi, Bonafacius Gebze.

Sebagai tokoh yang dituakan, Bonafacius cepat mengendalikan situasi. Dia meminta staf PT Selaras segera menyediakan kopi untuk warganya. Ketegangan mereda dan, sampai acara petinggi Medco dan LG bubar, tak ada insiden kekerasan apa-apa.

Warga Zanegi gagal menemui petinggi Medco hari itu. Padahal mereka hendak sekadar menyampaikan keresahan dan bertanya. Mereka ingin tahu status tanah adat mereka yang dipakai Medco sejak dua tahun lalu. "Apalagi ada banyak janji perusahaan itu yang sampai sekarang belum terwujud," kata Linus Gebze, Ketua Adat Kampung Zanegi.

Sejak insiden itu, warga Kampung Zanegi meminta PT Selaras tak lagi menebang pohon di wilayah adat mereka. Mengikuti tuntutan warga, Bupati Merauke Romanus Mbaraka pun menahan rencana kerja tahunan PT Selaras untuk 2012. Sampai akhir Maret lalu, kegiatan penebangan perusahaan itu otomatis terhenti.

"Daripada muncul konflik, investasi skala besar akan kami perlambat," kata Romanus, awal Maret Lalu.

l l l

SEMUA berawal pada 2003. Hamparan tanah alluvial Merauke yang gembur dan cocok ditanami berbagai komoditas pangan mulai menarik perhatian investor. Dataran yang rata tanpa perbukitan dan pegunungan merupakan model lanskap yang pas untuk mekanisasi pertanian skala besar.

Johannes Gluba Gebze, Bupati Merauke kala itu, langsung menangkap peluang emas ini. Bekerja sama dengan satu perguruan tinggi, dia melakukan studi kesesuaian tanah. Berdasarkan studi itu, pemerintah menetapkan sistem zonasi penanaman komoditas pangan. "Target akhirnya tentu agar kita bisa menjadi lumbung pangan, tak lagi harus mengimpor beras, ubi, dan bahan pangan lain," kata Johannes ketika ditemui di Merauke pada akhir Februari lalu.

Pemerintah pusat pun memberi lampu hijau. "Kita perlu percepatan pengembangan lumbung-lumbung pangan baru seperti ini, untuk memperkuat ketahanan pangan kita," kata Jusuf, anggota staf khusus presiden yang membidangi urusan pangan. "Ini hajat besar nasional," ujarnya.

Menteri Pertanian waktu itu, Anton Apriyantono, tak kalah bersemangat. "Salah satu cara meningkatkan produksi pangan adalah ekstensifikasi atau perluasan area," katanya. Merauke berpotensi, kata Anton, karena punya tak kurang dari 2 juta hek­tare lahan yang bisa dimanfaatkan. "Cocok untuk tebu, jagung, dan padi," ujarnya.

Mendapat sokongan penuh semacam itu, Johannes bergerak cepat. Keran perizinan di daerah pun dibuka lebar-lebar. Sampai akhir masa kepemimpinannya pada 2010, sudah 46 perusahaan swasta dalam dan luar negeri mengantongi izin lokasi. Sebagian sudah mulai bekerja membuka ribuan hektare hutan. Perusahaan yang sudah beroperasi adalah PT Medco Papua Industri Lestari, PT Cenderawasih Jaya Mandiri (Grup Rajawali), PT Donghin Prabawa, dan PT Hardaya Sugar Papua.

Ketika lahan mulai dibuka, semua merasa proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate akan segera bergulir kencang. "Kalau padi, tiga bulan saja sudah bisa panen beras. Kalau gula, enam bulan sudah bisa panen tebu," kata Johannes Gebze bersemangat.

Pembukaan hutan besar-besaran itulah yang kemudian memicu masalah.

Setahun setelah proyek Merauke Inte­grated Food and Energy Estate resmi diluncurkan Menteri Pertanian Suswono, Februari 2010, konflik pertama meletus di Merauke. Pada awal 2011, warga Kampung Sanggase di Distrik Kaptel, sekitar enam jam perjalanan ke utara dari Kota Merauke, berunjuk rasa di lokasi pabrik kayu PT Medco Papua Industri Lestari.

Mereka menuntut pembayaran ganti rugi Rp 65 miliar atas lahan 2.800 hektare yang digunakan Medco. Padahal tanah itu sudah dibayar lunas tiga tahun sebelumnya. Pada 2008, Medco mengucurkan duit Rp 300 juta untuk warga Kampung Buepe. Bagian terbesar dana itu, Rp 59 juta, dikantongi Kepala Kampung Buepe, Jhonny Balagaize.

"Medco salah bayar. Seharusnya yang dibayar orang Sanggase," kata Gerardus Kaize, Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat di Distrik Okaba. Konflik sempat berlarut-larut sampai Bupati Romanus turun tangan. Akhir tahun lalu, Medco akhirnya setuju membayar lagi kompensasi untuk warga Sanggase sebesar Rp 3 miliar.

Sejak itu, konflik terus muncul, susul-menyusul. Di Distrik Malind, orang Domande bertengkar dengan orang Onggari. Di Distrik Ulilin, orang Kindiki berebut tanah dengan orang Selil. Hampir semua proyek perkebunan, hutan produksi, dan pertanian skala besar yang dirintis di Merauke melahirkan konflik.

Bentuk persoalannya nyaris serupa: dua marga berebut kepemilikan tanah akibat batas kepemilikan lahan yang tak jelas, sampai pemberian ganti rugi yang dinilai tak memadai. Gelombang besar masuknya investor yang ingin memanfaatkan kesuburan tanah Merauke pada awal 2010 mulai berbuntut masalah.

l l l

KISRUH di Zanegi tak berbeda jauh. Warga di sana merasa tak pernah melepaskan lahannya ke PT Selaras Inti Semesta. Ketika ditemui Tempo, Ketua Kampung Zanegi, Ernest Kaize, menunjukkan segepok dokumen yang menjadi dasar masuknya perusahaan itu ke hutan mereka.

Dokumen berjudul "Perjanjian Pengelolaan Lahan antara Marga Pemegang Hak Ulayat dengan PT Selaras Inti Semesta" itu ditandatangani pada 12 Desember 2009. Ada enam pihak yang meneken dokumen itu: ketua marga pemilik tanah, Kepala Kampung Zanegi Bonafacius Gebze, Ketua Adat Kampung Zanegi Linus Gebze, General Manager PT Selaras Agus Natasaputra, Bupati Merauke Johannes Gluba Gebze, dan Pastor Ignatius Sarkol dari Gereja Katolik Paroki Kumbe.

"Tapi kami tak sempat membaca isinya apa," kata Linus Gebze. Ketua marga lain, seperti Pangky Ndiken dan Vitalis Gebze, membenarkan. "Waktu itu orang Medco bilang mereka harus cepat-cepat kembali ke kota karena mau hujan," kata Vitalis. Percaya saja kepada perusahaan, para tetua adat ini pun membubuhkan tanda tangan.

Setelah itu, wakil PT Selaras menyerahkan satu kardus uang untuk dibagikan. Jumlahnya Rp 300 juta dalam pecahan Rp 20 ribuan. "Satu keluarga mendapat Rp 2,5 juta," ujar Linus. Pria muda yang sudah dewasa tapi belum menikah mendapat jatah Rp 1 juta. Urusan apa isi dokumen perjanjian pun dengan cepat dilupakan, digantikan kesibukan membagi-bagi uang. "Seharian kami menghitung dan membagi-bagi uang itu," kata Ernest Kaize.

Yang menarik, perjanjian itu sama sekali tidak menyebutkan luas dan batas wilayah adat yang menjadi obyek kerja sama. Walhasil, PT Selaras bisa menetapkan secara sepihak hutan bagian mana yang akan ditebang dan dikonversi menjadi hutan tanaman industri. "Saya tidak tahu, tidak mengerti," kata Bonafacius pelan ketika ditanyai soal ini.

PT Selaras Inti Semesta sudah masuk ke Zanegi setahun sebelumnya. Pada 24 April 2008, staf Medco ditemani Kepala Kampung Kaliki, Agustinus Balagaize, mengadakan sosialisasi soal rencana pembukaan hutan di Kampung Zanegi. Kehadiran Agustinus menjadi vital karena dia dikenal baik oleh warga Zanegi.

Dalam dokumen notulensi pertemuan hari itu yang diperoleh Tempo, dijelaskan bahwa Medco akan membangun berbagai fasilitas umum dan sosial, seperti sekolah, puskesmas, dan gereja, di Zanegi. Selain itu, untuk menunjang perekonomian warga, Medco akan memberikan alat penyulingan minyak kayu putih, menyediakan tenaga pengajar teknis, dan memfasilitasi pemasarannya. Hutan adat tempat warga berburu pun dipastikan akan dilindungi. "Masalah lingkungan akan ditangani langsung oleh Conservation International dari Australia," demikian tertera pada dokumen. Hampir semua janji itu belum dilaksanakan.

Sumber Tempo di PT Selaras yang mengikuti perundingan dengan masyarakat Zanegi kala itu mengakui bahwa perikatan kontrak dengan warga tidak dilampiri peta wilayah. "Tapi kami membuat peta partisipatif bersama warga, untuk menentukan bagian mana dari area konsesi yang merupakan daerah sakral yang tak bisa disentuh," katanya. Berdasarkan peta itu, dari 169.400 hektare lahan Selaras, hanya sekitar 90 ribu hektare yang bisa dipakai. "Sisanya menjadi enclave yang tidak kami sentuh," katanya lagi.

Mengapa peta tidak dilampirkan? "Untuk apa? Jangankan peta yang terbuat dari kertas, pakaian mereka di badan saja tak diurus," ujar sumber Tempo itu. Dari pernyataan ini, secara tersirat tampak kesan bahwa posisi warga dan perusahaan dalam perjanjian itu sebenarnya tidak setara.

Agustinus Balagaize, yang ditemui Tempo awal Maret lalu, juga mengakui Medco tidak melampirkan peta wilayah adat dalam perjanjian dengan warga. "Saya sendiri kaget ketika pergi ke sana lagi belum lama ini. Kok, semua sudah ditebang?" katanya.

Agustinus, yang ikut dalam pertemuan sosialisasi perdana Medco di Zanegi, mengakui perannya sebagai pembuka jalan bagi PT Selaras untuk masuk ke Kampung Zanegi. Tapi, yang tidak diketahui orang Zanegi, Agustinus ketika itu bekerja sebagai anggota staf corporate social responsibility (CSR) Medco.

Kini nasi sudah jadi bubur. Dalam persepsi orang Zanegi, dokumen yang mereka tanda tangani dan uang Rp 300 juta yang diberikan Medco hanyalah sekadar "uang ketuk pintu". "Kami tidak tahu kalau tanda tangan itu artinya lain," kata Bonafacius.

l l l

KEBERADAAN sebuah peta wilayah bersifat mutlak dalam perjanjian kerja sama hak adat. "Itu bagian dari elemen free and prior informed consent yang melekat pada setiap pelepasan hak adat," kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. "Tanpa itu, kita layak curiga ada manipulasi."

Karena itulah, pada September 2011, Aliansi bersama 12 lembaga swadaya masyarakat lain bersama-sama melaporkan dugaan manipulasi hak adat di Merauke ini ke Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial. "Kami minta proyek di Merauke dihentikan dulu, untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul," ujar Abednego Tarigan, Direktur Sawit Watch, yang juga ikut mengajukan nota protes tersebut.

Uskup Agung Merauke Nicolaus Adi Seputra mendukung upaya meninjau kembali semua perjanjian antara perusahaan dan warga. "Dari awal ada indikasi investor kurang jujur," katanya.

Noer Fauzi Rachman dari Sajogyo Institute menilai maraknya konflik hak adat di Merauke menunjukkan ada masalah yang lebih mendasar. "Ini fenomena landgrabbing, perampasan tanah dalam skala besar yang dilegalkan," katanya. Proses ini menjadi mungkin, menurut dia, karena hak adat memang tidak punya basis legal dalam sistem hukum Indonesia. "Seharusnya pemerintah menyelesaikan soal pengakuan hak adat ini lebih dulu," ujarnya. Jika tidak, konflik perusahaan versus masyarakat adat ini tak akan pernah selesai.

Direktur Medco Cellulose, Aradea Arifin, mengaku tidak tahu pentingnya peta wilayah dalam perjanjian pengelolaan hak adat. "Kami asumsikan warga tahu batas tanahnya, karena dana kompensasi tebangan kayu dibayarkan sesuai dengan batas hutan milik setiap marga," ujarnya. Dia memastikan Medco akan memenuhi semua janjinya di Kampung Zanegi. "Kami tidak keberatan mengeluarkan dana CSR untuk membantu warga di sana," katanya.


Investigasi Merauke
Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi Kepala Proyek: Wahyu Dhyatmika Penulis: Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Yuliawati, Muchamad Nafi, Agung Sedayu. Penyumbang Bahan: Febriana Firdaus, Parliza Hendrawan (Lampung), Jerry Omona (Merauke). Penyunting: Purwanto Setiadi, Arif Zulkifli, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian. Foto: Ijar Karim, Jati Mahatmaji Bahasa: Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Uu Suhardi Desain: Eko Punto Pambudi, Aji Yuliarto Tata Letak: Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Widodo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum