Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Suatu Malam di Kampung Pemburu Buaya

Orang Zanegi menyesal telah membuka pintu untuk perusahaan yang menebang hutan mereka. Pola hidup pun berubah.

2 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM itu bulan tak tampak. Angin berdesir dingin. Ini pekan terakhir Februari, dan hujan bisa datang setiap saat. Selepas senja, Bonafacius Gebze menyalakan sebuah pelita dan menggantungnya di dekat pintu rumah. Bekas Kepala Kampung Zanegi di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, ini mulai mengunyah pinang dan bercerita.

"Bulan mati seperti ini bagus untuk berburu rusa dan burung," katanya. Bahunya yang semula merunduk layu mendadak tegak. Perawakan Pak Bon—demikian Bonafacius biasa disapa di kampungnya—tinggi besar seperti kebanyakan orang Marind. Kulitnya legam. Bibir dan gusinya merah karena pinang. Umurnya sudah kepala lima.

Dia berdiri, lalu mengambil sebilah bambu kukuh di pojok ruangan. Panjangnya hampir setinggi lelaki dewasa. Satu lututnya kemudian bertumpu pada bilah itu, membengkokkannya, lalu dengan cepat satu tangannya memasang tali serat bambu tebal di kedua ujungnya. "Ini busur saya," kata Bonafacius bangga.

Dia lalu menunjukkan beberapa anak panah yang biasa dipakainya berburu. Panjangnya sekitar 50 sentimeter, terbuat dari kayu yang diraut. Di ujungnya ada mata panah tajam dari besi pipih. Bonafacius lalu memperagakan aksinya memanah rusa. Mengendap, mengintip, lalu menarik busur. Wuss..., anak panah melesat menuju sasaran.

Berburu merupakan kegiatan utama laki-laki di Kampung Zanegi. Mereka biasanya pergi berburu berkelompok. Satu kelompok terdiri atas 2-3 pria dewasa. Selain membawa busur, mereka membawa lembing bertali dan senter. Untuk mengendus jejak buruan, kadang anjing peliharaan juga diajak.

Total ada 110 keluarga di kampung itu. Jalan kampung tak beraspal, becek, dan licin kalau hujan. Rumah mereka semipermanen, dari kayu yang dicat hijau seragam. "Ada program pengecatan dari distrik," kata satu warga. Dari pagi sampai sore hanya ada perempuan, anak-anak, dan orang tua di kampung. Laki-laki dewasa pergi berburu atau bekerja mengupas kayu di Medco.

Sekali pergi berburu, mereka bisa berhari-hari tinggal di hutan. Sambil mengintai rusa yang lengah, para pemburu ini biasanya mengambil sagu untuk dibawa pulang. Tiap marga di Zanegi punya tempat pengambilan sagu sendiri, yang menjadi lokasi keramat mereka masing-masing. Pohon sagu itu tumbuh sendiri di alam, tak ada yang ditanam.

"Sekali berburu, kami bisa bawa pulang 5-10 ekor rusa," kata Bonafacius. Sebagian untuk dimakan sendiri, sisanya dijual. Harganya bisa Rp 10 ribu per kilogram. Selain rusa, kalau beruntung mereka bisa membawa pulang saham alias kanguru. "Dulu kami berburu dekat-dekat saja," kata Bonafacius, menghela napas. Rusa dan kanguru bahkan sering melintas di tengah kampung. "Sekarang makin jauh."

Hutan perburuan mereka kini memang terbatas. Untuk ke sungai saja mereka harus melewati area hutan tanaman industri yang sedang dikerjakan PT Selaras Inti Semesta. Meski kini dipersoalkan, anak perusahaan Medco Group itu telah mengantongi izin tertulis warga untuk menebang hutan di sana. Berjalan tak sampai satu kilometer ke luar kampung, hamparan tanah gundul yang baru ditumbuhi bibit akasia dan eukaliptus langsung menyergap di depan mata.

Selain berburu rusa, orang Zanegi berburu buaya. Mereka dikenal cekatan untuk urusan ini. "Kulitnya kami jual ke Merauke. Dulu harganya bisa Rp 25 ribu per inci," kata Bonafacius. Hutan di sekitar kampung mereka memang bercampur rawa dan genangan air, habitat ideal buaya. Letak Kampung Zanegi hanya 2-3 kilometer dari Kali Bian, salah satu sungai terbesar di Merauke.

Lelaki tua itu lalu memperagakan caranya menaklukkan buaya. "Lembing harus pas menembus bagian tengkuk buaya," katanya. Begitu lembing menancap, para pemburu kudu bergegas meringkus binatang buas itu. "Jangan main pisau, nanti kulitnya rusak," kata Bonafacius cepat-cepat.

Di rumahnya yang berdinding papan kayu, Bonafacius hidup dengan istri, empat anak perempuan, dan dua cucu laki-lakinya yang masih balita. Semuanya tidur berkumpul di ruang dalam, beralaskan lantai kayu tanpa dipan. Padahal luas rumah kecil itu tak lebih dari 36 meter persegi.

Tak ada kamar mandi atau WC di rumah itu. Untuk buang air, Bonafacius pergi ke seberang jalan di depan rumahnya. Di sana dia membuat bilik kecil dari spanduk bekas dan daun sagu, sekadar menghalangi pandangan orang. Di sebelahnya ada kubangan air untuk mencuci diri setelah hajat terbuang.

Istri Bonafacius malu-malu ketika diminta menunjukkan dapurnya. Di sana hanya ada sebuah tungku kayu bakar yang berdebu. Tak ada bahan makanan. "Beras sedang kurang," katanya. Sepanjang hari dia mengunyah pinang saja.

Di sebelah rumah Bona, ada gudang kecil berisi kabel listrik yang sambung-menyambung dengan rumah warga kampung lain. Seharusnya di sana ada genset, mesin pembangkit listrik kecil yang diberikan Medco untuk warga. Tapi malam itu Kampung Zanegi gelap-gulita.

"Dua minggu lalu genset itu rusak," kata Bona pelan. Warga kampung sudah meminta staf corporate social responsibility (CSR) Medco untuk memperbaiki mesin itu. Tapi reparasi tampaknya berlangsung lebih lama dari perkiraan. Staf CSR Medco sering datang ke kampung mereka, sekadar menyapa dan bercakap-cakap dengan warga. "Tapi, kalau ditanya tentang macam-macam, mereka biasanya hanya berjanji untuk menyampaikan ke atasan."

Linus Gebze, pemimpin adat Kampung Zanegi, adalah kakak Bonafacius. Rumahnya tak sampai 200 meter dari rumah adiknya. Menurut dia, Medco sudah mengingkari janji kepada warga. "Mereka hanya kasih dua hal saja," kata Linus, yang mengaku berumur 60 tahun. Selain menyediakan listrik, Medco membantu pembangunan gereja baru. Gereja itu berdiri megah di belakang gedung gereja lama di ujung kampung.

Dengan suara bergetar, Linus lalu membeberkan janji-janji Medco yang lain, yang sampai sekarang belum terpenuhi. Misalnya janji untuk memperbaiki semua rumah warga, membangun gedung sekolah dan pusat kesehatan masyarakat, menyekolahkan anak-anak Zanegi sampai perguruan tinggi, dan membangun penyulingan minyak kayu putih sebagai alternatif pemasukan untuk warga. "Sampai sekarang, baru listrik dan gereja," kata Linus berulang-ulang. Padahal pembukaan hutan sudah berjalan dua tahun, sejak Februari 2010.

l l l

Ketika hutan Zanegi mulai dibuka, uang kompensasi untuk warga pun mulai dibagikan. Untuk pertama kali, marga Gebze—salah satu marga terbesar di Kampung Zanegi—mendapat Rp 12 juta. Sepanjang 2010, tercatat ada empat kali pembayaran kompensasi untuk warga kampung. Total marga Gebze mendapat sedikitnya Rp 80,8 juta untuk tahun itu. Kalau 1 hektare lahan menghasilkan 80 meter kubik kayu, uang sebesar itu merupakan kompensasi penebangan pohon dari area hutan adat seluas 505 hektare.

Masalahnya, satu marga Gebze terdiri atas 15 keluarga. Artinya, jika dibagi rata, satu keluarga hanya mendapat Rp 450 ribu per bulan. Padahal keluarga Vitalis Gebze, misalnya, punya dua anak kecil. Belum lagi keluarga yang lain. Jadilah, seperti kata Linus, uang itu habis "untuk makan dan minum saja".

Tak mengherankan jika kehidupan mereka tak banyak berubah setelah kedatangan Medco. Menurut Hendrika Lawalata, bidan di puskesmas pembantu setempat, belasan anak balita di sana sekarang malah terdeteksi menderita gizi buruk. Perut anak-anak itu buncit tak wajar. "Padahal dulu anak-anak di sini sehat-sehat," katanya. Hendrika sudah bertugas di Zanegi lebih dari sepuluh tahun.

Menurut dia, sejak Medco datang, pola hidup warga kampung berubah. Dulu mereka tinggal mengambil apa saja yang mereka mau makan dari hutan di sekeliling kampung. Sekarang mereka menunggu saja dana kompensasi dari perusahaan, untuk dibelikan beras dan mi instan di warung. "Dulu orang sini makan tiga kali sehari. Sekarang kebanyakan hanya dua kali," kata Hendrika.

Kondisi warga Kampung Zanegi belakangan ini kian buruk karena dana kompensasi macet sejak akhir 2011. "Rencana kerja tahunan kami belum disetujui Bupati Merauke," kata Direktur Medco Cellulose,­ Aradea Arifin, ketika ditemui pekan lalu di Jakarta. Karena itu, penebangan pun terhenti. Tanpa penebangan, tak ada ganti rugi untuk warga.

Malam itu Bonafacius terus bercerita tentang pengalamannya berburu di hutan-hutan Merauke. Bercerita tentang burung kasuari yang cerdik menghindari jebakan, buaya besar yang melawan ketika ditawan, bercerita tentang sejarah kampung kecil itu. Setiap selesai berburu, Bona dan laki-laki kampung lain biasanya bersenandung dan bernyanyi sepanjang perjalanan pulang, mensyukuri daging rusa dan sagu yang telah mereka dapat. Dengan mata menerawang, dia mulai bernyanyi:

"Wegia Wegia Aloi Ma...
Wegia Wegia Loloimae… Oo Saloi Mea
Wegi Ae Wegia Laloi Ma.…"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus