Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Melacak Jejak Pesta 164 Triliun

Penanganan skandal BLBI belum juga menampakkan titik terang, sementara jejak-jejak penyelewengan para bankir sudah kian terhapus.

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASIL penyelidikan yang ditunggu-tunggu itu ternyata tidak istimewa. Panitia Kerja (Panja) DPR, yang bekerja selama tiga minggu untuk menguak misteri mengucurnya Rp 144,5 triliun kasbon Bank Indonesia, tak mencuatkan hal baru bagi masyarakat. Setidaknya itulah yang tersirat ketika laporan setebal 74 halaman dengan lampiran 80 halaman itu diserahkan kepada pimpinan DPR, Senin pekan lalu.

Kendati demikian, itu bukan berarti peristiwa ini tak penting. Penyebutan 56 nama sebagai pihak yang diduga terlibat penyalahgunaan kasbon Bank Indonesia, karena itu dianggap perlu diselidiki lebih lanjut oleh pihak berwenang, segera saja membuahkan langkah konkret.

Markas Besar Kepolisian RI, misalnya, segera menangkap Kaharudin Ongko, wakil komisaris utama sekaligus pemilik Bank Umum Nasional (BUN). Menurut Brigjen Polisi Made Mangku Pastika, Direktur Reserse Tindak Pidana Tertentu, Ongko ditangkap karena bandel dan melanggar tenggat penyelesaian utang BUN yang Rp 12,06 triliun. Selain itu, Mabes Polri melanjutkan proses hukum empat bank penerima kasbon—BDNI, BUN, Danamon, dan Modern—yang terhenti sejak lebih dari setahun lalu.

Harus diakui, langkah kepolisian ini sebetulnya sangat terlambat. Karena itu, terlalu berlebihan bila menilai langkah ini sebagai sinyal kembalinya duit bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI)—fasilitas yang ditujukan untuk menolong bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Ibarat melacak pelaku pesta-pora, polisi datang saat semua tamu undangan sudah lama pulang atau malah pindah rumah. Liem Sioe Liong, pemilik BCA yang punya utang Rp 48 triliun, misalnya, hengkang dari Jakarta dan bermukim di Singapura. Belum lagi bekas presiden Soeharto, yang dinilai Panja sebagai arsitek yang memungkinkan jebolnya BI, kini sakit dan tak bisa dimintai keterangan apa pun.

Kalaupun jejak piring kotor yang hendak diendus, baunya sudah tinggal lamat-lamat. Maklum, Bank Indonesia sendiri ternyata turut serta dalam urusan cuci piring. Menurut auditor independen Klynvield Peak Marwick Goerdeler (KPMG), sungguh ganjil bahwa BI sengaja menghapus data pemeriksaan kliring semua bank setiap dua minggu sekali. Padahal, kelengkapan data inilah senjata ampuh untuk membuktikan kesahihan nilai rush—termasuk untuk membuktikan bahwa kegiatan penarikan dana ramai-ramai ini memang dilakukan nasabah dan bukan karena dipindahkan ke pundi-pundi pemilik bank atau pihak terkait.

Kucuran dana BLBI memang kebanyakan dilakukan saat situasi krisis moneter sedang berlangsung, ketika kepercayaan nasabah kepada bank sedang melorot tajam. Pada 25 Mei 1998, misalnya, BI mengucurkan kasbon Rp 7,55 triliun untuk menutup rush nasabah BCA. Sialnya, pejabat BI tidak memeriksa dulu validitas permintaan bank milik Grup Salim ini. "Jangan-jangan nilai rush dilambungkan dulu," kata Soedarjono, bekas Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Menurut pengalaman BPKP, yang menerjunkan 300 akuntan untuk audit BLBI, Maret 1999, akses data-data penting BI begitu sulit didapat. Akibatnya, lembaga audit Departemen Keuangan ini tak memberi opini pada hasil akhir audit BI. BPK juga memberi status disclaimer alias tidak ada opini dalam laporan audit yang dilakukan belakangan, yang menyebut nilai BLBI itu mencapai Rp 164 triliun.

Tentu saja para pejabat BI keberatan dengan hasil audit BPKP dan BPK yang menyiratkan adanya sejumlah penyimpangan ini. Alasannya, situasi saat itu memang luar biasa. "Tidak mungkin BI bergerak leluasa," kata Achjar Iljas, Deputi Gubernur BI. Selain krisis yang menghebat dan hancurnya kredibilitas perbankan, terdapat faktor intervensi penguasa yang tak menginginkan timbulnya kepanikan massa. Akibatnya, begitu bank teriak "SOS", berapa pun dana yang diminta dipenuhi BI sonder pemeriksaan yang ketat. Maka, tak mengherankan, separuh dari total kasbon dinyatakan "tidak dapat dipertanggungjawabkan" oleh BPK.

Namun, pembelaan BI ini ditolak oleh Fuad Bawazier. Menurut bekas Menteri Keuangan ini, para pejabat BI memang tidak menunjukkan keseriusan menegakkan aturan. Jauh sebelum krisis bermula, sistem pengawasan bank tidak berjalan. Tidak ada sanksi stop kliring bila sebuah bank memiliki saldo negatif. Kondisi modal dibiarkan compang-camping, sementara ekspansi kredit justru membengkak tanpa peduli standar kelayakan. Kalaupun ada bank yang tak sehat, bukannya ditutup melainkan dijadikan ladang mencari untung oleh bank lain yang diminta BI untuk menyehatkan dengan imbalan mendapatkan pinjaman dana murah. Akibatnya, seluruh bangunan perbankan pun menjadi rapuh. Begitu krisis menghajar, lembaga keuangan ini rontok habis. "Itu sebabnya pemulihan sistem perbankan kita jauh lebih lama dari negara lain," katanya.

Fuad bercerita, kebiasaan tidak serius dalam menegakkan aturan terus berlanjut di masa krisis. Departemen Keuangan tidak pernah dimintai izin—atau setidaknya dilapori—kucuran kasbon yang begitu dahsyat kepada bank yang sekarat. Baru setelah Fuad meminta laporan, BI menyediakan data lengkap. Waktu itu, Fuad keberatan bila pemerintah harus menanggung beban kasbon yang telanjur keluar tanpa persetujuan Departemen Keuangan. "Enak saja," kata Fuad, yang hanya dua bulan menjadi Menteri Keuangan.

Kisah serupa muncul dari bekas sumber-sumber TEMPO di jajaran elite Departemen Keuangan. Bank Indonesia, menurut para petinggi ini, tak ubahnya seperti kerajaan yang tidak tersentuh. Intervensi kroni Soeharto sebenarnya hanya sedikit memengaruhi BI. Sebagian terbesar adalah mutlak kekuasaan BI. Alhasil, terbuka peluang saling memanfaatkan antara pejabat BI dan bankir. Maklumlah, "Setiap pengucuran kasbon, si pejabat BI pasti mendapat tip," kata sumber tadi. Kalau nilai kasbon triliunan, tentu tidak sedikit jumlah tip yang mengalir.

Di sisi lain, pemerintah juga tak punya keinginan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kalangan DPR, karena begitu ruwetnya istilah teknis perbankan, tidak begitu tertarik memantau pergerakan BLBI. Media massa juga lebih suka menggeber rentetan kerusuhan dan hiruk-pikuk krisis politik. Nyaris tak ada yang sadar bahwa ada "bom waktu" yang mengancam di balik pengucuran kasbon. Rakyat biasa apalagi. Hampir semua berpikiran positif, yakin bahwa utang Sjamsul Nursalim, Bob Hasan, atau Om Liem tak bakal merusak kehidupan mereka.

Namun, keadaan kemudian berbalik. Bom meledak dahsyat ketika BPK melansir hasil audit. Intinya, ada Rp 80,2 triliun—sekitar 34 persen dari RAPBN 2000—kasbon yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sementara itu, penjualan aset jaminan kasbon—diyakini banyak analis hanya bernilai sepertiga—selalu dirusuhi beragam kepentingan. Pengembalian kasbon pun semakin berbelit. Celakanya, model penanganan para pengutang juga maju-mundur tak tentu arah. Tenggat waktu pembayaran 27 persen utang pada tahun pertama, misalnya, berlalu tanpa ada tindakan atau sanksi apa pun.

Menurut pakar hukum perbankan Pradjoto, meskipun telat, pemerintah harus segera mengambil langkah terpadu. Sekarang ini, setiap lembaga—BPK, BPKP, DPR, Kejaksaan Agung, dan kepolisian—bertindak sendiri-sendiri. Hasilnya, "Penyelesaian jadi bertele-tele," kata Pradjoto. Padahal, yang dihadapi adalah persoalan teknis ruwet yang nilainya berlomba dengan waktu. Semakin molor, semakin mahal harga yang harus ditanggung rakyat. Maka, usul Pradjoto, segera dibentuk tim jaksa ad hoc yang beranggotakan auditor BPK, BPKP, kejaksaan, manajer treasury bank, dan ahli perbankan. Selain sanggup mengumpulkan sudut pandang yang komplet, tim ini punya kekuatan memproses secara hukum.

Bila ingin lebih tegas, beberapa pihak mengusulkan dihidupkannya kembali lembaga sandera (gijzeling). Menurut Pranowo, Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung, lembaga warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini bisa mengakomodasi kepentingan pengembalian BLBI. Sementara disandera, para bankir—mau tak mau—harus membantu proses pembayaran kasbon bila ingin menghirup udara bebas kembali.

Meskipun cara ini berpotensi terganjal isu hak asasi manusia, Pranowo yakin tak ada salahnya mempertimbangkan gijzeling yang sudah dipingsankan MA sejak 1964 itu. Ketimbang membebani rakyat, "Lebih baik menyandera bankir bandel," katanya. Todung Mulya Lubis, pakar hukum dan aktivis hak asasi manusia yang biasanya berseberangan pendapat dengan Pranowo, ternyata sependapat. Jadi, apa lagi yang ditunggu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus