BUKAN sekadar hubungan kekerabatan yang merapatkan Abdul Rasyid dan Sugianto. Pertalian paman dan keponakan ini juga dekat oleh urusan dagang. Adalah Abdul Rasyid, 44 tahun, yang mengawali seluruh jaringan bisnis Tanjung Lingga Group pada 1982. Dan sukses. Kini Sugianto, 28 tahun, yang meneruskan jaringan usahanya. Tanjung Lingga, yang kini memiliki enam anak perusahaan, dibangun Rasyid dari bawah. Dan Rasyid memang tak pernah menutup-nutupi masa silamnya yang susah: bekerja pada usia remaja sebagai pengupas kulit kayu, penarik kayu, dan operator mesin penggergajian.
Pria kelahiran Pangkalan Bun itu rupanya punya tangan dingin dalam berniaga. Dari usaha mengelola hasil hutan, Tanjung Lingga merambah bisnis pelayaran, konstruksi, dan perbankan. Kini tercatat sebagai anggota MPR dari Fraksi Utusan Daerah mewakili Kalimantan Tengah, Rasyid dituding oleh banyak kalangan sebagai dalang utama penjarahan kayu dari Taman Nasional Tanjung Puting sejak bertahun-tahun lalu. Dia menolak memberikan wawancara langsung kepada TEMPO. Rasyid hanya menulis jawaban pendek kepada TEMPO: ”Sejak dipercaya menjadi anggota MPR utusan daerah Kalimantan Tengah, saya secara resmi telah keluar dari PT Tanjung Lingga per 22 Februari 2000.”
Kepada Sugianto, Rasyid menyerahkan kunci-kunci perusahaannya. Tanpa perlu ijazah tinggi—pendidikan terakhirnya adalah sekolah menengah ekonomi atas—anak muda ini mengendalikan Tanjung Lingga. ”Saya menggantikan Pak Rasyid sejak beliau terpilih menjadi anggota MPR,” ujarnya kepada TEMPO. Kini Sugianto membawahkan 3.000 lebih karyawan. Dia juga mengurus usaha hak pengusahaan hutan seluas 40 ribu hektare lebih di Kalimantan Tengah yang dimiliki Tanjung Lingga sejak dua tahun lalu.
Nama Sugianto sempat populer saat terjadi kasus penyiksaan investigator lingkungan hidup Faith Doherty dari Environmental Investigation Agency, London, dan Ruwidrijanto, anggota lembaga swadaya masyarakat Telapak Indonesia. Sugianto juga dituding menyiksa Abi Kusno Nachran, wartawan tabloid Lintas Khatulistiwa—Abi masih terhitung kakek Sugianto.
Peristiwa di atas membuat dia harus mendekam dalam tahanan. ”Saya dihukum percobaan satu setengah bulan karena kasus itu. Padahal mereka yang masuk ke perusahaan kami dengan melanggar hak asasi manusia,” katanya. Sugianto mengakui, sejak pamannya menjadi politisi Senayan, perusahaannya selalu ”diserang” berbagai pihak. ”Kami dituduh menebang kayu secara ilegal dan merusak Tanjung Puting. Padahal masuk ke sana saja saya belum pernah. Saya yakin ada motif politis di balik itu,” ujarnya melalui telepon.
Setelah membatalkan pertemuannya dengan tim investigasi ini, Sugianto memberikan wawancara per telepon dalam dua kesempatan berbeda kepada wartawan TEMPO Adi Prasetya dan Endah W.S. Adapun Rasyid memilih merespons permintaan wawancara TEMPO dengan mengirimkan empat poin jawaban pendek terhadap empat halaman daftar pertanyaan. Jawaban Rasyid diselipkan di antara jawaban-jawaban Sugianto.
Berikut ini petikannya.
--------------------------------------------------------------------------------
Perusahaan Anda dituduh menjarah kayu dari Taman Nasional Tanjung Puting selama bertahun-tahun. Investigasi wartawan kami mendapatkan sejumlah data dan indikasi ke arah yang sama. Bagaimana penjelasan Anda?
Kalau ngomong penebangan liar, orang pedalaman seperti kami yang dituduh, tanpa pernah tahu fakta di lapangan. Ini tuduhan yang tidak fair. Yang namanya masuk ke Tanjung Puting saja saya belum pernah.
Belum pernah? Hampir semua penebang liar yang kami temui di sana, termasuk orang-orang di Pangkalan Bun, bahkan Palangkaraya, melukiskan secara detail bagaimana pencurian kayu dilakukan oleh Tanjung Lingga.
Siapa pun penebang liar di sana akan menyebut kami. Padahal penebang di sana kebanyakan justru dari Jawa yang selalu mengaku bekerja untuk Tanjung Lingga. Begini saja, sekarang TEMPO saya undang kemari. Semua kami bayar dan saya jamin keamanannya, lalu kita sama-sama ke Tanjung Puting. Akan saya tunjukkan perusahaan mana yang sebenarnya melakukan penebangan liar selama ini. Saya tahu bagaimana cara mereka melegalkan kayu curian. Tapi saya baru mau berbicara dengan bukti.
Jadi, semua tuduhan terhadap perusahaan Anda tidak benar? Bagaimana dengan penyiksaan Faith Doherty dan Ruwidrijanto?
Orang-orang LSM macam si Ruwi pernah ketemu saya. Dia mengambil gambar (dengan video—Red.) kayu-kayu orang lain di pinggir sungai dan terakhir kali mensyut log bag saya. Coba kalau Anda yang diperlakukan seperti itu.
Marah, enggak? Mestinya orang itu yang ditangkap karena mengobrak-abrik negara dengan biaya luar negeri.
Abdul Rasyid:
Saya tidak mengetahui sama sekali kejadian tersebut. Waktu itu saya berada di luar negeri dan saya dengar dugaan penganiayaan oleh karyawan Tanjung Lingga terhadap dua aktivis LSM itu sudah diproses secara hukum, bahkan telah divonis oleh Pengadilan Negeri Pangkalan Bun.
Oke. Tapi betulkan Anda menyiksa mereka secara fisik? Kami mendapatkan pengakuan dari Ruwi dan Faith Doherty tentang hal ini.
Mereka masuk ke perusahaan kami dengan cara menyamar sebagai pengusaha. Saya kan merasa dibohongi. Sudah mending mereka tidak dibunuh. (Faith Doherty membenarkan ancaman pembunuhan tersebut)
Bagaimana dengan penyiksaan Abi Kusno? Betulkah Anda juga yang bertanggung jawab?
Begini, ya. Kami ini kan bekerja mencari uang. Pusing kalau mengurus Abi Kusno terus. Pak Abi itu memang musuh bagi orang Kumai. Kalau Anda tanya semua orang dan pejabat di sana, pasti tahu karena mereka kerap diperas. Jangankan pengusaha, bupati saja dia peras. Tapi dia itu kan pintar mendekati media-media besar. (Dalam keterangannya kepada TEMPO, Abi menyebutkan dia disiksa karena melaporkan pencurian kayu oleh Tanjung Lingga kepada pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan.)
Abdul Rasyid:
Khusus untuk Abi Kusno, saya tidak berkomentar. TEMPO silakan menginvestigasi sendiri di Pangkalan Bun, siapa Abi Kusno, apa saja kegiatannya, dan apa saja yang dia lakukan di tanah kelahirannya.
Apakah Abi Kusno disiksa karena menjelek-jelekkan dan merugikan perusahaan Anda?
Siapa sih yang mau cari musuh? Tapi kalau orang lain yang memusuhi kita duluan, ya lain lagi ceritanya. Abi Kusno itu mengganggu usaha kami. Dia tidak sesuci yang digambarkan media massa. Sudah untung dia tidak kami bunuh. Sama orang lain, dia pasti sudah mati. Tapi secara pribadi saya sudah minta maaf kepada dia.
Kepada Anda dan Abdul Rasyid tidak pernah membuat klarifikasi tentang tindakan-tindakan Abi Kusno yang merugikan Anda dan Tanjung Lingga?
Kita sedang bekerja, bukan mencari popularitas.
Mengapa Anda dan paman Anda tidak pernah diproses secara hukum dalam kasus ini?
Siapa bilang? Saya pernah dihukum percobaan satu setengah bulan karena dituduh menyiksa mereka. Itu tidak adil. Mereka masuk ke perusahaan saya dengan melanggar hak asasi manusia. Satpam saya yang melakukan itu, tapi kan harus bertanggung jawab. Kalau saya mau, saya cor saja mereka lalu buang ke laut. Siapa yang bisa mencari? Tapi kami masih punya niat baik untuk menyelesaikan masalah itu. Mereka kami tangkap dan kami serahkan ke polisi. Eh, malah kami yang diproses. Ini karena tekanan luar negeri.
Apa saja bisnis perusahaan Anda saat ini?
Bisnis inti kami bergerak di kontraktor dan perkayuan saja, terutama kayu bengkirai. Selain itu, ada juga perusahaan pelayaran.
Jadi, perusahaan Anda sama sekali tidak memperdagangkan kayu ramin yang diambil dari Tanjung Puting?
Tidak ada. Kalau dulu memang iya. Waktu itu kami bekerja sama dengan PT Inhutani III sebelum turun peraturan menteri yang melarang perdagangan ramin keluar. (Data Faith Doherty dan Environmental Investigation Agency menunjukkan Tanjung Lingga memiliki pabrik-pabrik ramin. Dan investigasi TEMPO menemukan para penebang masih menebang ramin untuk Tanjung Lingga di area Tanjung Puting.)
Kembali ke soal pencurian kayu. Menurut Anda, mengapa Tanjung Lingga yang selalu kebagian dituding, padahal Anda bilang orang lain juga melakukannya?
Begini. Di Tanjung Lingga dulu ada Pak Abdul Rasyid, paman saya. Beliau kan anggota MPR, jadi tidak mungkin beliau mau merusak aset daerahnya sendiri, apalagi hutan Kalimantan, yang juga menjadi aset dunia internasional. Padahal, begitu diangkat menjadi anggota MPR, beliau langsung mundur dari perusahaan. Saya justru menantang, kalau memang ada yang melakukan pencurian dan perusakan seperti itu, mari kita tangkap saja bersama-sama. Untuk urusan bisnis memang selalu saja ada orang iri dan dengki. Apalagi Pak Rasyid kan sekarang menjadi tokoh politik.
Abdul Rasyid:
Sejak dipercaya duduk sebagai anggota MPR utusan daerah Kalimantan Tengah, saya secara resmi telah keluar dari PT Tanjung Lingga sebagaimana akta notaris Eko Soemarno nomor 48 tanggal 22 Februari 2000.
Kami dengar Abdul Rasyid menjadi penyumbang terbesar kedua ke Partai Golkar dan dekat dengan para pejabat di Palangkaraya?
Omong besar kalau ada yang menyebut Pak Rasyid penyumbang terbesar ke Partai Golkar. Bapak itu memang orang Golkar. Beliau tidak hanya dekat dengan Golkar. Semua partai yang ada di Kal-Teng juga beliau sumbang. Saya tahu karena menyumbangnya lewat saya. Di masa Orde Baru dulu saja beliau banyak menyumbang Golkar. Sebetulnya beliau itu tidak mau ikut-ikutan politik, tapi masyarakat Kal-Teng mendesaknya.
Kenapa?
Saya sendiri yang pertama kali melarang Pak Rasyid masuk politik. Saya bilang, ”Kalau Bapak masuk ke politik, nanti usaha kita dimusuhi orang.” Nyatanya, dalam tiga-empat tahun ini kita diterpa terus.
Abdul Rasyid:
Sebagai anggota MPR, tentu saya harus menjalin hubungan baik dengan aparat pemerintah, agar mendapat informasi dan aspirasi yang berkembang di masyarakat untuk dibawa ke rapat Majelis, terutama menyangkut keterbelakangan sumber daya manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini