Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Agar Asap Terus Mengepul

Bos-bos kayu menikmati untung, penebang tetap miskin dan menggadaikan hidup.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pagi itu gelap masih menyelimuti Pangkalan Bun. Angin dari arah pantai menggesek daun-daun kelapa, terasa dingin di kulit. ”Angin laut sedang tidak baik,” kata Darsam sambil berjalan menuju perahu kelotok. ”Tapi kita tetap akan menyeberang. Uang untuk hidup sebulan ke depan sudah menipis.” Darsam dan empat kawannya adalah penebang liar yang biasa bermain kayu di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimatan Tengah. Di sana terhampar hutan berisi pohon-pohon kayu berkualitas tinggi dari jenis ulin, bengkirai, ramin, dan meranti. Menyiapkan perbekalan untuk tinggal di hutan sedikitnya selama sebulan, mereka tengah menuju perut Kalimantan. Bahan makanan diambil dari warung milik Usup, seorang bos lapangan. Perjalanan menuju Tanjung Puting, sejauh 33 kilometer, biasa mereka tempuh lebih dari lima jam. Untuk sampai ke lokasi penebangan, mereka harus merayap lagi selama dua jam melalui sungai yang dalam, berkelok-kelok penuh tikungan tajam, dan berisi buaya ganas. Setiba di lokasi, mereka akan bergabung dengan 10 orang penebang lain yang juga anak buah Usup. Mereka segera sibuk menebang, mengukur, dan menggergaji kayu gelondongan menjadi balok. Menurut Darsam, mereka mampu menebang 10 hingga 15 batang pohon sehari. Jika cuaca cerah, mereka malah bisa menebang sampai 20 pohon setiap harinya. ”Dengan kekuatan delapan hingga sepuluh orang, kami mampu menebang 80 hingga 100 pohon dalan sepekan,” ujarnya. Kerja keras itu mereka lakukan sejak matahari terbit hingga terbenam, bahkan kadang-kadang hingga malam hari. Bila tiba waktu istirahat, mereka tidur di gubuk yang didirikan di atas rawa. Dinding gubuk terbuat dari kulit kayu dan atapnya ditutupi terpal plastik. Gubuk itu tak memiliki pintu kecuali satu dinding terbuka di bagian belakang tempat mereka keluar-masuk. Di dalam gubuk itu juga tersimpan beberapa alat masak seperti wajan, panci, piring seng, dan gelas plastik. Sayang, untuk kerja keras di tengah rimba yang berbahaya itu para penebang umumnya hanya menangguk sedikit uang. Ibaratnya, mereka hanya memperoleh ampas dari bisnis kayu curian yang menguntungkan itu. Dari tiap meter kubik kayu yang dihasilkan, mereka hanya mendapat Rp 50 ribu-160 ribu. Mereka tak ikut menikmati bila harga kayu di pasar naik. Satu kelompok penebang terdiri atas 15 orang umumnya menerima Rp 20 juta, atau masing-masing memperoleh upah kotor Rp 1,3 juta. Namun, pendapatan bersih yang dibawa pulang biasanya cuma Rp 800 ribu, setelah dipotong utang perbekalan selama tinggal di hutan. ”Kalau kebutuhan di rumah banyak, seperti anak sakit atau biaya sekolah, kadang-kadang kami terima upah minus,” kata Rohimin, salah seorang penebang. Tak aneh bila para penebang terbelenggu lingkaran setan kemiskinan. Mereka selalu terlilit utang kepada bos, dan penghasilannya hanya cukup untuk tambal sulam kebutuhan keluarga. Rata-rata penebang hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai tingkat sekolah dasar. Selepas SD, anak laki-laki diajak menebang ke hutan, sedangkan anak perempuan membantu ibu di rumah. Nasib para penebang itu berbeda 180 derajat dengan kehidupan para bos. Seorang bos lapangan memperoleh untung besar karena bisa menjual lagi kayu dengan harga Rp 150 ribu-350 ribu per meter kubik kepada cukong. Dan cukong, yang biasanya sekaligus menjadi pemilik pabrik pengetaman, menjadi pengeruk laba paling besar. Kayu-kayu yang sudah diolah dalam bentuk papan, reng, kasau, dan flat laku dijual di dalam negeri Rp 800 ribu hingga Rp 1,5 juta per meter kubik. Hasil kayu olahan berbentuk flooring dan dowel, yang dijual ke luar negeri, bahkan berharga lebih tinggi lagi, mencapai US$ 1.000-2.000 alias sekitar Rp 9 juta-18 juta per meter kubik. Upah penebang makin tak ada artinya bila dibandingkan dengan risiko yang mereka tanggung. Saguti, misalnya, yang sudah melakoni pekerjaan sebagai buruh kayu selama setahun, menuturkan betapa ia khawatir sewaktu-waktu terkena razia operasi gabungan. Belum lagi risiko tertimpa kayu dan ancaman binatang buas seperti ular dan sengatan nyamuk malaria. Di musim angin, risiko bertambah lantaran tingginya ombak yang bisa menenggelamkan perahu kelotok mereka. Kengerian itu bukan isapan jempol. Ardan, penebang yang lain, pernah mengalami musibah yang tak akan terlupakan dalam hidupnya. Lima bulan lalu anak laki-lakinya yang berusia 22 tahun tewas tertimpa kayu. Kejadian itu sempat membuatnya berhenti menebang kayu di hutan. ”Saya kapok,” ujar pria asal Semarang, Jawa Tengah, yang menikahi wanita setempat itu. Namun, karena tak punya keahlian lain, Ardan terpaksa harus kembali masuk hutan. Apalagi istrinya selalu mendesaknya supaya bekerja kembali agar dapur mereka tetap berasap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus