SUDAH delapan hari kapal besar berbendera Cina itu, MV Mandarin Sea, melego jangkar di perairan dekat Kalimantan Tengah—sekitar 15 mil dari Pelabuhan Kumai, Pangkalan Bun. Hal itu membuat Yang Lan Shun, nahkoda kapal tersebut, kesal dan mengomel panjang-pendek. Ada apa? Selama delapan hari itu dia menanti dengan sia-sia dokumen-dokumen resmi agar bisa membongkar sauh dan segera berlayar. Tapi surat-surat itu tak kunjung diantarkan kepadanya.
Padahal sekitar 10 ribu meter kubik kayu meranti gelondongan sudah dimuat ke kapal. Dua kapal lain yang berlabuh tak jauh dari Mandarin Sea, MV Rong Cheng, dan Fonwa Star, bernasib sama. Penyewa kapal-kapal tersebut adalah PT Barim Bahari Sentosa dan Tri Sukses Wanatama. Sedangkan yang mengageni mereka di Indonesia adalah PT Lingga Marintama, salah satu anak perusahaan Tanjung Lingga Group, milik Abdul Rasyid. Hari demi hari lewat, surat-surat pendukung muatan tak kunjung tiba. Akhirnya, Lan Shun memilih mogok berlayar karena takut tertangkap. Firasat kapten kapal asal Cina itu tidak meleset.
Sekitar pukul dua pagi, 9 November 2001, Lan Shun dibangunkan dari tidurnya dengan paksa di kabinnya. Di hadapannya berdiri beberapa tentara angkatan laut lengkap dengan senjata. Para prajurit itu berasal dari kapal perang KRI Pandrong dari kesatuan Armada Timur yang berpangkalan di Surabaya. Mereka menyergap ketika kapal Cina tersebut dengan alasan mengangkut dan menguasai kayu tanpa dokumen yang sah.
Tanpa melawan, ketiga kapten kapal itu masuk ke dalam giringan KRI Pandrong menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tentara angkatan laut itu menahan barang bukti berupa kayu meranti 25 ribu meter kubik. Juru taksir yang diminta menilai isi kapal-kapal itu menyebut angka Rp 50 miliar.
Dari dokumen fixture note--perjanjian carter-mencarter kapal—yang diperoleh tim investigasi TEMPO, tercantumlah data-data berikut. Ketiga kapal itu dicarter dengan harga US$ 4.000 (setara dengan Rp 36 juta) per kapal per hari. Order itu datang dari Bintang Perkasa Utama untuk mengangkut kayu. Dokumen itu juga menyebutkan pelabuhan tujuan dari ketiga kapal itu adalah Palembang dan Pontianak. Tapi ketiganya diperkirakan menuju Cina. Buktinya, salah satu kapal yang berhasil lolos, MV Sea Utility, kabur ke Cina.
Dalam pengusutan kasus ini, polisi menetapkan Rahmat Nasution sebagai tersangka utama. Siapakah Rahmat? Jabatan resminya adalah Direktur PT Bintang Perkasa. Sumber TEMPO mengatakan, dia sengaja pasang badan untuk menyelamatkan keluarga besar Abdul Rasyid. Lo, hubungannya apa? Dalam dokumen pemeriksaan polisi yang sampai ke tangan TEMPO, tercatat nama Agustiar, keponakan Abdul Rasyid—tepatnya kakak kandung Sugianto—adalah komisaris Bintang Perkasa Utama. Sehari-hari Agustiar juga aktif di bidang politik sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDIP Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Sugianto sendiri tidak membantah bahwa perusahaan kayu tersebut milik kakaknya.
Selain Rahmat, muncul nama tersangka Suhai, Murni Arsyad, dan Mario Ronald Dalughu. Ketiga orang ini adalah pengemudi tugboat yang memuat kayu gelondongan itu dari pelabuhan ke kapal. Mereka ditangkap karena tak bisa menunjukkan dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Nama lain yang dijadikan tersangka adalah Negum Eldin, Kepala Cabang Marintama di Pangkalan Bun. Bagaimana dengan Agustiar? Polisi tak menyentuhnya sama sekali. Apalagi Abdul Rasyid sebagai salah satu pemilik Marintama.
Akan halnya Rahmat, kendati dia berkali-kali menegaskan di depan pemeriksa bahwa kayu itu miliknya, polisi memilih menelusuri lebih jauh pengakuannya. Soalnya, beberapa saksi berkeras menyebut kayu itu milik Agustiar. Kasus ini kemudian diambil alih Departemen Kehutanan dan Perkebunan, lalu dilimpahkan ke Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta. Rupanya, jerih payah prajurit di KRI Pandrong sia-sia saja: polisi justru mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Kepala Subdirektorat Lingkungan Hidup Korps Reserse Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Kamaluddin Lubis, yang menandatangani SP3 kasus ini, menolak menjawab. Dia mengoper TEMPO kepada Kepala Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Saleh Saaf. ”Alasan-alasan teknis yudiris menyebutkan kapal-kapal itu belum bergerak. Dan kapal tersebut kan tidak tahu bahwa muatannya ilegal atau tidak,” Saleh menjelaskan.
Bagaimana dengan para penyewa dan agennya? Choirul Imam, mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, menjelaskan bahwa dalam hal ini yang harus dikenai hukuman adalah penyewanya. Sebab, kapal-kapal itu sifatnya hanya sebagai alat angkut. Artinya? Ya, nasib kayu-kayu haram itu menjadi urusan Rahmat Nasution. Sumber TEMPO dalam Kerukunan Masyarakat Kalimantan Tengah mengatakan Abdul Rasyid marah besar gara-gara peristiwa ini.
Rupanya, Tanjung Lingga Group bukan hanya ketar-ketir oleh problem hukumnya, tapi juga oleh soal kerugian. Semua kerugian karena urusan administrasi di Indonesia ditanggung oleh perusahaan carter. Hitung saja. Jika tiap kapal dibayar US$ 4.000 per hari atau sekitar Rp 36 juta, berapa yang harus dibayar jika ongkos itu harus dikalikan 7 bulan masa penahanan kapal?
Tidak aneh jika beberapa hari kemudian Kota Pangkalan Bun dipenuhi oleh demonstrasi dari sekitar 6.000 orang yang menuntut ketiga kapal itu dikembalikan ke Kalimantan Tengah dan diadili di pengadilan lokal. Unjuk rasa itu dipelopori oleh para pengusaha yang tergabung dalam Masyarakat Perkayuan Daerah Kalimantan Tengah—Rasyid menjadi salah satu pendirinya.
Mereka menduduki kantor DPRD Kotawaringin Barat di Pangkalan Bun dan mendesak agar Kepala Kepolisian RI mengembalikan kapal itu ke tempat kejadian perkara: Pangkalan Bun. Bupati Kotawaringin Barat Abdul Razak bahkan sudah menyatakan lewat surat bahwa pengadilan kasus itu mesti digelar di Kotawaringin Barat. Kelompok pengusaha tersebut juga datang ke Jakarta menemui Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, dan Kepala Polri Da’i Bachtiar.
Baru pada bulan Februari, ketika sembilan anggota DPRD Kotawaringin Barat dan Masyarakat Perkayuan Daerah Kal-Teng ke Jakarta, Kapolri Da'i Bachtiar berjanji menyerahkan kasus ini ke daerah. Meskipun ada surat keberatan dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Kalimantan Selatan dan sejumlah LSM—pasalnya, mereka menengarai Rasyid telah ”membeli” pengadilan di Pangkalan Bun dan seluruh Kal-Teng—tuntutan Masyarakat Perkayuan Daerah akhirnya dikabulkan.
Sebelum itu, terjadi penyerangan terhadap Abi Kusno Nachran dan Mustika Alam, masing-masing wartawan dan pemimpin redaksi tabloid Lintas Khatulistiwa. Menurut Abi Kusno, dia ingat bahwa salah seorang dari lima penyerang tersebut bernama Arifin. Abi menyebutnya ajudan Rasyid. Apakah si bos ikut terlibat? ”Paling tidak ia mengetahui rencana itu,” katanya kepada TEMPO. Sugianto ganti menuding Abi sebagai pemeras yang berlindung di balik media. Sedangkan Rasyid menolak berkomentar. ”Soal Abi, silakan Anda melakukan investigasi sendiri,” tulis Rasyid kepada TEMPO.
Menurut Abi, serangan brutal itu terjadi karena dia dianggap melaporkan muatan kayu ketiga kapal itu ke Departemen Kehutanan. Direktur Utama Tanjung Lingga Group, Sugianto, mengakui bahwa anak buahnyalah yang melakukan pencegatan terhadap Abi karena Abi kerap memeras perusahaannya.
Mei 2002, genap tujuh bulan kapal itu ditahan di Tanjung Priok dengan kawalan prajurit marinir. Bintang Perkasa Utama yang mestinya mengeluarkan ongkos hingga enam ratus miliar rupiah lebih menolak membayar dendanya. Urusan itu jadi perkara antara pencarter dan pemilik kapal. Sedangkan Departemen Kehutanan justru mendapat sial: harus menanggung ongkos makan-minum semua awak kapal dan uang keamanan sebesar Rp 840 juta karena seluruh barang bukti menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan.
Pada 27 Mei 2002, Da'i menulis surat kepada Presiden Megawati (TEMPO menyimpan kopi surat tersebut) menyatakan bahwa ketiga kapal asing berikut nakhodanya tidak bertanggung jawab terhadap muatan kayu curian itu. Beberapa hari kemudian, semua awak berikut kapalnya dibebaskan. Apa yang terjadi dengan 25 ribu meter kubik kayu meranti tersebut? Kayu-kayu itu dilelang. Seorang pengusaha asal Medan memenangi lelang tersebut, cukup dengan merogoh Rp 1,5 miliar--dua setengah persen dari nilai taksiran nilai kayu tersebut di pasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini