Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raut Endang Suwandi, 55 tahun, seperti kemeja tak tersentuh setrika. Kusut. Pikirannya selalu resah. Dalam tidur pun, lelaki yang rambutnya sudah memutih itu kerap dihantui mimpi buruk. Semua itu bermula sejak uang pesangon miliknya sebesar Rp 56 juta lenyap tak berjejak. Padahal, Endang sekeluarga sepenuhnya menggantungkan nasibnya pada uang pesangon itu.
Bencana itu datang ketika ia disambangi seorang kerabat yang mengajak menanamkan uangnya ke perusahaan investasi bernama PT InterBanking Bisnis Terencana (Ibist). Perusahaan yang bermarkas di Bandung ini melakukan pengumpulan dana layaknya bank dengan sistem bagi hasil (juga disebut royalti) yang sangat menggiurkan: 48 persen setahun. Angka ini jauh di atas yang dapat diberikan bank atau obligasi pemerintah yang berkisar 10-12 persen.
Semula Endang meragukan janji manis itu. Namun, akhirnya ia tergiur setelah diyakinkan istri dan saudaranya. Apalagi setelah melihat sendiri sang kerabat sukses mengail untung setelah ikut Ibist. Pada April 2006, akhirnya ia mendatangi kantor Ibist di Jalan Mulyasari 1, Sukajadi, Bandung, sambil menenteng duit Rp 20 juta. ”Sebulan kemudian saya dapat royalti Rp 800 ribu,” kata ayah tiga anak ini.
Merasa aman, Endang kontan menanamkan lagi duitnya sebesar Rp 26 juta—kali ini atas nama sang istri. Bulan berikutnya, suami-istri ini mencecap royalti Rp 1,8 juta. ”Jumlah itu lebih besar dari gaji saya sewaktu kerja,” kata Endang. Eh, tanpa sepengetahuan Endang, ternyata sang istri kembali menanamkan sisa pesangonnya sebesar Rp 10 juta, hingga total investaisnya mencapai Rp 56 juta.
Lagi-lagi, tak ada yang ganjil. Bunga Rp 2,24 juta mereka terima tepat waktu. Sejak itu, Endang kian mantap menjadi nasabah Ibist. Sesekali bahkan ia ”menjual” berita gembira ini kepada kerabatnya yang lain. Namun, Oktober tahun lalu, semua cerita indah itu berantakan. Pembayaran royalti mandek. Dan, ketika hal itu ditanyakan kepada manajemen Ibist, yang ia terima hanya janji-janji belaka.
Perasaannya mulai tak enak. Lalu, kecemasan itu akhirnya menjadi kenyataan. Wandi Sofian, komisaris utama yang juga pemilik Ibist, kabur menggondol duit nasabah yang total jenderal, menurut Direktur Keuangan Ibist, Ferro Septa Yudha, mencapai Rp 224,5 miliar—versi polisi, total uang yang dikumpulkan Rp 85 miliar. Endang, juga ribuan nasabah lain, bagai terempas badai. Duit mereka raib begitu saja!
Sri Kartika, karyawati PT Pindad dan istri perwira menengah TNI-AD, juga mengalami nahas serupa. Wanita 40 tahun ini terpikat oleh pemaparan bisnis PT Ibist yang disampaikan koleganya. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menggelontorkan duit tabungannya sebesar Rp 65 juta. Belakangan, suaminya pun ikut-ikutan menanam harapan. Dana Rp 100 juta mereka relakan disimpan di PT Ibist.
Selain janji bunga yang tinggi, kemudahan administrasi juga menjadi magnet bagi calon investor. Cukup menyertakan selembar fotokopi kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, seseorang sudah bisa jadi nasabah. Sebagai bukti investasi, nasabah menerima sertifikat bertuliskan nama, jumlah investasi, dan kontrak yang dapat diperpanjang setiap tahun. Tetapi, jangankan untung, kini Kartika dan suami-nya hanya berharap uangnya segera dikembalikan. ”Minimal pokoknya saja,” kata dia pasrah.
Polisi kini telah menetapkan Wandi sebagai buron. Kepala Divisi Humas Polda Jawa Barat, Komisaris Besar Endi Budiarto, menduga Wandi Sofian yang kabarnya seorang doktor ekonomi lulusan sebuah universitas swasta di Bandung itu masih di Indonesia. Di samping itu, aparat juga telah menahan Ferro Septa Yudha, direktur keuangan, sebagai tersangka.
Keduanya akan dijerat pasal penggelapan (Pasal 372) dan penipuan (Pasal 378) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, mereka kemungkinan juga akan dijerat dengan Pasal 46 UU Perbankan tentang pelanggaran bagi siapa pun yang menghimpun dana masyarakat tanpa izin usaha dari Bank Indonesia atau melakukan praktek bank gelap.
Menilik akta perusahaan Ibist yang dibuat kantor notaris Nirmalasari, SH, Bandung, Ibist didirikan pada 30 Juli 2003 oleh tiga serangkai. Mereka adalah Wandi Sofian, 42 tahun; Agus Muhamad Ali, 43 tahun; dan Ferro Septa Yudha, 28 tahun. Jauh sebelumnya, Ibist sebenarnya sudah beroperasi dalam bentuk CV yang bergerak dalam usaha simpan pinjam. ”Langkah itu (perubahan dari CV ke PT—Red.) dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja Ibist,” kata Nirmalasari saat ditemui Tempo, pekan lalu.
Saat mendirikan Ibist, ketiganya menyetor sejumlah uang untuk dijadikan modal dasar Rp 200 juta yang terbagi atas 200 lembar saham. Satu lembar saham bernilai Rp 1 juta. Wandi memiliki 50 lembar, Agus 35, dan Ferro 15. Kepada Tempo, Ferro mengaku tak pernah menyetor uang untuk penyertaan modal. ”Nama saya dicatut,” kata Ferro saat ditemui Tempo di kantor Polwiltabes Bandung, pekan lalu.
Yang menarik, seperti tercantum dalam akta, kegiatan usaha Ibist sebenarnya sama sekali tidak menyentuh aktivitas investasi (pengumpulan) dana publik. Ibist hanya bergerak di bidang konsultasi: dari keuangan hingga sistem informasi geografis. ”Saya tak tahu kalau (akhirnya) kegiatan Ibist tak sesuai dengan anggaran dasar itu,” kata Ferro. Izinnya pun tak cukup hanya dengan izin usaha dari Departemen Perdagangan, tapi juga harus ada izin dari Bank Indonesia sebagai satu-satunya pemegang otoritas perbankan di negeri ini.
Sepanjang beroperasi selama tiga tahun (sejak 2003), Ibist akhirnya sukses menghimpun 5.042 nasabah di Bandung dan Semarang. Duit yang dapat mereka keduk mencapai Rp 224,5 miliar. Lebih dari 70 persen nasabahnya tentara dan polisi.
Wandi memang punya hubungan luas dengan petinggi TNI dan kepolisian. Itulah tampaknya yang membuat kalangan aparat keamanan tak segan menyetorkan duitnya kepada Ibist. ”Puluhan foto Pak Wandi dengan pejabat TNI dan Polri Jawa Barat sengaja dipampang di ruang kerjanya,” kata Ferro.
Menurut Ferro, Wandi punya jurus jitu untuk mendekati para petinggi jajaran keamanan itu. Salah satu caranya adalah mensponsori kegiatan mereka, dari jalan santai, peringatan hari ulang tahun, hingga turnamen olahraga yang digelar TNI dan polisi. ”Tampang Wandi kerap menghias media internal polisi dan TNI.”
Wandi juga banyak terlibat dalam kegiatan penerbitan internal polisi dan TNI. Sebut saja Warta Polisi, Warta Sesko TNI, Suara Pasundan, Koran Kodam IV/Diponegoro, dan Koran Berita Seputar Jabar.
Misalnya saja dalam majalah Ganda Wibawa Sakti (majalah polisi yang diterbitkan Humas Polda Jabar) edisi 409, bulan Oktober 2005. Di sana Ibist memasang iklan besar. Di lembar lain tampak potret Kapowiltabes Bandung—yang saat itu dijabat—Komisaris Besar Polisi Edmon Ilyas tengah memberikan penghargaan kepada Wandi atas partisipasinya dalam kegiatan ”Sepeda Santai” Powiltabes Bandung.
Selain sebagai pendonor tetap kegiatan polisi dan TNI, Wandi kerap terlibat dalam kegiatan organisasi masyarakat. Hingga kini, kata Ferro, Wandi adalah Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa Indonesia serta Dewan Penasihat Pemuda Siliwangi.
Tak mengherankan jika jalan Wandi merekrut nasabah berjalan mulus bak di jalan bebas hambatan. Hal ini diakui oleh seorang perwira berpangkat letnan dua, sebut saja Irwan, yang kerap mencari nasabah di antara kolega dan anak buahnya. Tinggal menunjukkan nama dan pangkat petinggi yang ikut, ”Mereka langsung tertarik,” katanya.
Masyarakat sipil pun ikut-ikutan gampang teryakinkan. ”Mereka tambah yakin jika melihat aparat berpangkat tinggi menyetor uang di kantor Ibist,” katanya. Sulastri, ibu rumah tangga, mengaku kepincut bisnis ini lantaran melihat banyaknya aparat keluarmasuk kantor Ibist.
”Tak mungkin mereka mau menanam uang jika bisnis ini tak aman,” kata wanita asal Cimahi ini. Maka, setelah dua kali melihat-lihat kantor Ibist, ibu dua anak ini langsung menyerahkan uang tabungannya sebesar Rp 50 juta.
Entah kenapa nasabah begitu percaya pada janji bunga 48 persen per tahun (baca: Uang Diputar, Macet Akhirnya). Sejumlah karyawan Ibist pada awalnya, menurut Ferro, sempat menanyakan ke Wandi bisnis macam apa yang hanya membagikan keuntungan tetapi tidak membagikan kerugian atau risiko. Saat itu Wandi selalu menjawab, ”Uang nasabah saya belikan saham bluechip yang sangat menguntungkan,” kata Ferro menirukan sang bos. Wandi mengaku uang itu ditanam pada saham Gudang Garam dan Indofood.
Selain ke saham, uang nasabah juga disalurkan ke sejumlah bisnis sektor riil, seperti properti, laundry, rental mobil, dan kredit. Di bidang properti, kata Ferro, Ibist terlibat dalam pembangunan kompleks perumahan Graha Lista I di Ciwaruga, Bandung, dan Graha Lista II di Garut.
Perumahan Graha Lista I terletak 15 kilometer arah utara Kota Bandung. Jalan aspal yang mulus dengan deret bangunan yang digilapkan cat cerah langsung membetot perhatian saat memasuki kompleks yang dibangun PT Graha Lista Karya Mandiri ini. Pemandangan kian terasa asri lantaran perumahan ini berlatar Bukit Cihideung yang permai dengan pagar perladangan hijau.
Ketika Tempo menyambangi lokasi, sejumlah pekerja sedang merampungkan beberapa unit rumah. ”Tinggal 10 persen,” kata Sutisna, staf developer.
Sutisna menambahkan kompleks perumahan seluas 1,2 hektare ini mulai dibangun pada awal 2004 dan terdiri atas 64 unit rumah berbagai tipe. Mulai yang paling kecil tipe standar (45/100) seharga Rp 300 juta hingga platinum (75/120) yang dibandrol Rp 600 juta. ”Hingga kini tinggal 24 unit yang belum terjual,” katanya.
Saat ditanya soal hubungan antara PT Graha Lista Karya Mandiri dan PT Ibist, Sutisna menggelengkan kepala. ”Saya tak tahu,” katanya singkat. Sutisna juga keberatan menyebut siapa pemilik PT Graha Lista Karya Mandiri. Tapi Sutisna mengaku, sebagian pemilik rumah adalah perwira TNI dan polisi.
Ferro mengatakan tidak tahu berapa nilai investasi yang dikeluarkan Wandi untuk proyek itu. ”Tapi yang jelas, dari pembelian tanah hingga bahan bangunan berasal dari kas Ibist,” kata Ferro. Secara kasar nilai investasinya dapat dihitung. Jika ditotal, harga jual 64 unit rumah dan ruko berbagai tipe itu mencapai sekitar Rp 27 miliar.
Selain properti, duit nasabah juga ditanam di laundry ”Larissa”, biro jasa pengurusan kendaraan, dan rental mobil. ”Usaha ini telah berlangsung tiga tahun,” tutur Ferro. Tempo menyambangi kantor laundry Larissa, yang terletak di jantung perumahan Angkatan Darat, Gegerkalong, dua pekan silam. Lokasi ini hanya berjarak empat kilometer dari Perumahan Graha Lista I.
Menempati bangunan kecil berlantai dua, siang itu aktivitas di kantor Larissa tampaknya tengah berada di puncak. Lima karyawan hilir-mudik menyusun pakaian-pakaian di dalam plastik. ”Pesanan hari ini membludak hingga 500 potong,” kata Ani, salah satu pegawainya. Seperti Sutisna, Ani pun tak bisa menjelaskan keterkaitan Larissa dengan Ibist.
Bisnis lainnya, biro jasa pengurusan kendaraan di Jalan Gatot Subroto dan rental mobil di kawasan Viaduct, Bandung, sudah tidak beroperasi lagi. Saat Tempo menengok, hanya tinggal ruangan kosong.
Mungkinkah semua bisnis tadi bisa memberikan return di atas 48 persen sehingga Ibist bisa membayarkan royalti nasabah plus menghidupi kantor dan karyawannya? Ferro hanya menggelengkan kepala. ”Semua jawaban hanya ada di kepala Pak Wandi,” kata dia. Alasannya, seluruh duit itu digenggam sendiri oleh Wandi. Semua transaksi penyetoran duit langsung masuk ke rekening pribadi Wandi. ”Rekening perusahaan hanyalah rekening transit,” kata Ferro. Tidak itu saja, seluruh pengeluaran untuk membayar royalti harus melewati meja Wandi. ”Tanpa tanda tangannya, duit tak akan keluar.”
Ketika Komisaris Besar Polisi Edmon Ilyas masih menjabat Kapolwiltabes Bandung, dia menegaskan polisi akan serius menangani kasus Ibist. ”Ini menjadi prioritas,” katanya. Kini Edmon sudah digantikan Komisaris Besar Bambang Suparsono.
Soal kedekatannya dengan bos Ibist, Edmon tak membantah. Tapi ia juga menegaskan lekatnya hubungan itu tak berbau konflik kepentingan. ”Hubungan itu tak lebih antara polisi dan masyarakat,” katanya berkilah. Pada Februari 2006 lalu, Wandi dengan bendera Ibist-nya menjadi sponsor tunggal acara sepeda santai yang digelar jajaran Powiltabes Bandung. Untuk yang satu ini, Edmon juga punya jawaban, ”Masa, kalau ada masyarakat yang ingin berpartisipasi ditolak?”
Betapapun, polisi kini menghadapi tantangan berat. Wandi hingga sekarang hilang bagai ditelan bumi. Menurut kuasa hukum Ferro, Tubagus Abdi, ada kesan polisi melakukan tebang pilih dalam peng-usutan kasus Ibist. Di satu sisi, polisi bergerak ekstrakilat menyelesaikan berkas Ferro dan segera melimpahkannya ke kejaksaan. Tetapi di sisi lain, pengejaran Wandi seperti tak ada kemajuan. ”Padahal kunci semua masalah ini adalah Wandi Sofian,” katanya.
Ferro merasakan hal serupa. Dia mengaku tak sepeser pun memegang duit nasabah. Kata dia, sesaat sebelum kabur, Wandi mengumpulkan seluruh karyawannya untuk membereskan transaksi yang tercecer. Seluruh dana yang ”nyangkut” di sejumlah rekening pegawai harus ditransfer ke rekening pribadinya. ”Saya ini korban, kambing hitam, atas kasus ini. Duit nasabah seperak pun tak ada pada saya,” katanya (baca: ”Saya Hanya Kambing Hitam”).
Sayangnya, Ferro baru melihat segala keanehan ini ketika sudah berada di balik jeruji besi. Andaikata sejak dulu Ferro sudah melaporkan berbagai kejanggalan ini ke polisi atau pihak berwenang seperti Bank Indonesia, boleh jadi bukan dia yang harus meringkuk di penjara, melainkan Wandi Sofian. Tinggallah Ferro yang kini harus mempertanggungjawabkan semuanya sendiri.
Para nasabah kini hanya bisa menunggu apakah duitnya masih mungkin kembali. Melihat aset yang dimilikinya, tampaknya mustahil Wandi Sofian bakal bisa mengembalikan semua duit yang dikemplangnya dari nasabah, apalagi jika ditambah dengan membayar royalti. Rumah-rumah yang ada di Graha Lista jelas sudah milik orang, yang tidak bisa ditarik kembali, kendati nilai asetnya mungkin paling besar. Mobil-mobil mewah itu, kata Ferro, juga dalam status kredit (leasing). Usaha laundry jelas tak akan menghasilkan keuntungan yang besar.
Dengan cara apa pun, nasabah pasti akan sulit mendapatkan uangnya kembali. Paling banter yang bisa diharapkan adalah melihat Wandi Sofian, sang aktor penipuan ini, masuk penjara. Tapi, jika polisi hanya menjeratnya dengan pasal penggelapan dan penipuan, hukumannya akan sangat ringan, yakni maksimal empat tahun penjara. Karena itu, polisi sebaiknya menggunakan Pasal 46 UU Perbankan, di mana terdakwa bisa dihukum maksimal 15 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo