Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangunan di kawasan Viaduct, Jalan Gatot Subroto, Bandung, itu tampak lengang. Saat disambangi Tempo, dua pekan silam, tak satu pun orang terlihat. Padahal beberapa waktu sebelumnya tempat ini ramai dengan kegiatan penyewaan mobil mewah. Kini, hanya ruang-ruang kosong membeku yang tersisa. Polisi telah menyita semua mobil di sana begitu kegiatan Ibist dinyatakan sebagai kriminal.
Rental mobil itu adalah salah satu ”mesin” bisnis Ibist. Tak hanya rental kendaraan, menurut Ferro Septa Yudha, bekas Direktur Keuangan Ibist, masih ada lini bisnis lain untuk memutar uang dari nasabah. Sayap bisnis itu ialah di bidang properti (Bandung dan Garut), laundry, dan biro jasa pengurusan surat kendaraan. ”Dana itu juga digunakan untuk membeli saham Gudang Garam, Indofood, dan Permata Bank,” kata dia.
Apakah pendapatan dari usaha itu semua dapat menutup pembayaran bunga nasabah sebesar 48 persen setahun plus menutup overhead (biaya) perusahaan? Ferro ternyata tak memiliki kalkulasi bisnis Ibist. ”Soal hitung-hitungan seperti itu hanya Pak Wandi yang tahu.”
Pak Wandi yang ia sebut adalah Wandi Sofian, Komisaris Utama Ibist, yang kini buron. Karena itu, marilah coba kita hitung sendiri kelayakan bisnis Ibist. Tawaran bunga 48 persen setahun jelas amat tinggi jika dibanding bunga bank yang hanya berkisar 10-12 persen. Artinya, Ibist mesti memiliki mesin bisnis yang mampu berputar sangat kencang untuk menghasilkan return di atas 48 persen—guna membayar bunga nasabah dan menutup biaya kantor, termasuk menggaji karyawannya.
Katakanlah bisnis tempat Ibist terlibat semua berjalan lancar dan mampu memasok keuntungan, agaknya tetap sulit mencari bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan sebesar itu. Menurut Adler Manurung, pengamat pasar modal dan investasi, hampir tak ada kegiatan bisnis yang bisa memberikan margin keuntungan sampai 50 persen. ”Hanya industri makanan yang bisa meraup margin 40-50 persen setahun,” katanya kepada Tempo.
Bagaimana dengan gain atau dividen atas saham Ibist di Indofood dan Gudang Garam? Alfiansyah, pengamat pasar modal, mencatat tren saham Indofood lima tahun terakhir memang terus naik—meski sempat mengalami penurunan empat persen pada 2002. Namun, saham perusahaan makanan ini selama lima tahun terakhir (2002-2006) hanya memberikan gain sekitar 125 persen. Maka, jika 125 persen dibagi 60 bulan (lima tahun), gain yang bisa diberikan hanya 2,08 persen.
”Maka, jika pengelola Ibist menyatakan sanggup memberikan keuntungan empat persen per bulan, berarti dia harus menombok,” ujar Alfiansyah. Soal dividen pun setali tiga uang. Dalam lima tahun terakhir, dividen Indofood hanya 11 persen. Jika dibagi 60 bulan, persentase dividen setiap bulan hanya 0,19 persen.
Hal yang sama terjadi pada saham Gudang Garam. Dalam lima tahun terakhir, saham rokok ini juga terus naik. Bedanya, ketika pasar sedang mengalami tren bullish (bergairah) sepanjang 2004-2006, saham Gudang Garam justru kian melemah (bearish). Ini terjadi karena kebijakan pemerintah yang menaikkan harga cukai dan internal perusahaan. Perusahaan rokok itu selama lima tahun terakhir hanya memberikan gain sekitar 22,89 persen. Jika dibagi 60 bulan, gain yang diberikan kepada investor hanya 0,3 persen per bulan. ”Lagi-lagi Ibist harus nombok besar.” Sementara dividen Gudang Garam dalam lima tahun terakhir sebesar 25 persen. Jika dibagi 60 bulan, persentase dividen setiap bulannya hanya 0,8 persen.
Dengan melihat perhitungan saham Indofood dan Gudang Garam, jelaslah mustahil Ibist mampu membayar nasabahnya dengan royalti sampai 48 persen per tahun. Usaha yang lain, properti misalnya, sama saja. Hampir mustahil pengembang bisa mendapat keuntungan sampai di atas 48 persen. Paling banter, laba yang bisa diraih para pengembang ini berkisar belasan persen. Itu pun masih harus dilihat apakah tanahnya dimilikinya sendiri atau dibeli dengan utang bank.
Sayangnya, tetek-bengek angka-angka itu tak digubris mereka yang kebelet mendapat durian runtuh. Tampaknya, janji royalti 48 persen cukup mampu membikin silau para pemilik dana. Mereka pun tak segan menguras tabungan untuk dipasrahkan pada Ibist. Asal tahu, Ibist akhirnya mampu menghimpun 5.000-an nasabah dengan total investasi Rp 224,5 miliar.
Lihatlah Pram, sebut saja begitu, seorang wiraswastawan yang mestinya akrab dengan seluk-beluk kalkulasi bisnis. Toh, pria 26 tahun ini enteng saja mengucurkan dana Rp 96 juta dengan harapan memetik keuntungan di atas bunga bank.
Tak hanya Pram, kerabatnya pun ternyata banyak yang ikut tergiur. ”Kalau ditambah dengan uang papa, mbah, dan tante, total ada Rp 1,75 miliar yang kami investasikan,” ujarnya kepada Tempo.
Menurut ahli perencana keuangan Safir Senduk, naluri ingin meraup keuntungan instan memang sudah menjadi karakter warga negara miskin atau berkembang, seperti Indonesia. Menurut dia, sistem usaha Ibist sejatinya tidak berbeda banyak dengan mekanisme arisan. Pada tahap awal, perusahaan semacam ini masih sanggup memberikan keuntungan kepada nasabah. Tapi saat anggotanya membengkak, perusahaan pasti kedodoran.
Dia menengarai ada dua cara yang dipakai perusahaan untuk menyediakan dana pembayaran royalti. Pertama, mereka akan menggelembungkan (mark-up) dana investasi yang dibutuhkan. ”Selisihnya yang dipakai buat bayar keuntungan,” katanya.
Kedua, dana pembayaran itu berasal dari investor baru yang dijadikan modal untuk membayar royalti investor lama. Itu sebabnya, pembayaran bunga atau royalti pada tahap awal memang lancar. Tapi, begitu jumlah nasabahnya membengkak, perusahaan pe-nyelenggaranya mulai kedodoran. Apalagi jika bisnis riilnya memang tidak ada. ”Dengan cara ini, sebenarnya investasi tak berkembang, dan pada akhirnya akan macet,” katanya.
Ibist akhirnya memang macet di tengah jalan. Ribuan investor, termasuk Pram, harus gigit jari. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo