Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGAN Mohammad Saifuddin bergetar. Matanya nanar menatap layar telepon seluler dalam genggamannya. Guru honorer di Kudus, Jawa Tengah, itu merasa seolah-olah jantungnya berhenti berdetak ketika membaca selarik pesan pendek yang baru saja dia diterima. Isinya mengancam: "Pilih berhenti mengusut K2 atau nyawa!"
Pesan itu datang pada awal April lalu. Dalam enam bulan terakhir, guru muda berusia 35 tahun ini memang aktif membongkar skandal suap pada penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dari tenaga honorer daerah kategori 2 (K2) di daerahnya.
Setumpuk dokumen dan kesaksian demi kesaksian menuntunnya pada sebuah kesimpulan yang tak disangka-sangka: banyak orang kuat di daerahnya terlibat. Ketika dia semakin dekat pada pembuktian, pesan pendek itu datang. Saifuddin terperanjat.
PROGRAM pengangkatan pegawai honorer menjadi PNS adalah janji politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sembilan tahun lalu. Untuk memenuhi janji itu dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Seturut dengan peraturan itu, tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah akan diangkat secara bertahap. Mula-mula mereka yang digaji menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah-selanjutnya disebut honorer kategori 1 (K1). Setelah itu, bakal diangkat honorer yang tidak dibayar menggunakan dana APBN/APBD atau disebut honorer K2.
Pada 2009, program pengangkatan tenaga honorer K1 dinyatakan rampung. Ketika itu, 886 ribu pegawai negeri baru diangkat dan mendapat nomor induk pegawai dari Badan Kepegawaian Negara.
Program ini tersendat ketika masuk ke pengangkatan pegawai K2. Sejak awal pemerintah pusat menegaskan bahwa tenaga honorer yang berhak diangkat adalah mereka yang sudah setahun bekerja di instansinya ketika PP Nomor 48 Tahun 2005 diterbitkan. Artinya, hanya mereka yang diangkat sebelum 1 Januari 2005 yang berpeluang jadi pegawai negeri.
Masalahnya, pada awal 2010, pemerintah pusat tak punya data berapa jumlah tenaga honorer K2 di seluruh Indonesia. Maklum, pengangkatan mereka terserak di kabupaten, kota, dan provinsi. "Semula kami memprediksi jumlah mereka hanya 200-300 ribu," kata Kepala Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Tumpak Hutabarat, dua pekan lalu.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara lalu meminta semua pejabat pembina kepegawaian, baik di pusat maupun daerah, melakukan pendataan ulang.
Di sinilah tipu muslihat massal para calon abdi negara bermula.
Menangkap ada kesempatan, banyak tenaga honorer yang diangkat setelah Januari 2005 kasak-kusuk mencari cara memundurkan tanggal pengangkatannya agar berpeluang ikut tes CPNS. Para calo pun beraksi. Mereka menghubungkan para tenaga honorer dengan para pejabat terkait.
Gayung bersambut. Banyak pejabat daerah tergoda disogok puluhan sampai ratusan juta rupiah untuk menerbitkan surat keputusan pengangkatan bodong. Ada juga yang cawe-cawe demi dukungan politik dalam pemilihan kepala daerah.
Ketika hasil pendataan ulang dikumpulkan pemerintah pusat menjelang tes CPNS pada akhir tahun lalu, jumlah tenaga honorer K2 yang harus diangkat sudah menggelembung jadi 649 ribu orang.
Pemerintah pusat mencium bau amis dalam data yang baru itu. Pasalnya, banyak dokumen pengangkatan yang mencurigakan. Misalnya, ada ribuan tenaga honorer yang diangkat bersamaan pada 1 Januari 2005, persis pada hari terakhir yang dipersyaratkan peraturan. Padahal tanggal itu adalah hari libur nasional.
"Saya perkirakan ada 20 persen tenaga honorer yang memanipulasi datanya," kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Azwar Abubakar saat ditemui di ruang kerjanya di Jakarta, pertengahan April lalu. Artinya, dengan perkiraan paling konservatif itu saja, ada sekitar 130 ribu pegawai honorer dengan data palsu.
SAIFUDDIN tergolong sebagai tenaga honorer K2. Dia menjadi guru teknologi informasi dan komunikasi di SMP 1 Mejobo, Kudus, Jawa Tengah, pada pertengahan 2004. Kepada Tempo, dia mengaku amat berharap bisa jadi pegawai negeri sipil. Pendapatannya akan lebih baik dan hari tuanya terjamin dengan pensiun dari negara.
Semua seharusnya berjalan mulus buat Saifuddin. Namanya sudah masuk database CPNS K2 di Badan Kepegawaian Daerah dan dia tinggal menunggu jadwal tes yang akan berlangsung pada November 2013.
Tapi sebuah insiden mengubah semuanya. Beberapa hari menjelang tes CPNS, Habib Ali Subkhi mengajaknya bertemu. Habib adalah guru honorer di SD 1 Karangrowo, Kudus. Tapi dia lebih dikenal sebagai politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di kabupaten itu. Habib dekat dengan Bupati Kudus Musthofa.
Melalui telepon, Habib meminta Saifuddin datang ke kantor DPC PDIP Kudus saat itu juga. Di sana dia menawarkan "jasa" meluluskan Saifuddin dalam seleksi PNS. Untuk itu, dia minta imbalan Rp 100 juta.
Saifuddin kaget, tapi diam saja. Habib lalu sesumbar bahwa dia bisa menentukan nasib calon pegawai di Kudus dengan mudah. Kedekatan dengan Bupati Musthofa, kata dia, adalah kunci suksesnya.
Saifuddin bukan satu-satunya orang yang didekati Habib. Rekannya sesama tenaga honorer, Marwoto-bukan nama sebenarnya-punya cerita yang sama. Kepada dia, Habib mengaku mendapat tugas mengumpulkan setoran para CPNS ini untuk pundi-pundi partai.
Tempo, yang datang ke Kudus pada awal April lalu, memverifikasi kisah Saifuddin dan Marwoto dengan menemui sejumlah tenaga honorer di sana. Mereka bercerita blakblakan bahwa keberhasilan mereka lolos jadi pegawai negeri memang tak lepas dari sokongan Bupati Musthofa.
Choirul Hadi, guru honorer di SD 3 Prambatan Lor, misalnya. Pria 33 tahun ini mengakui sebenarnya tak berhak ikut seleksi CPNS K2 karena baru menjadi tenaga honorer pada Juli 2006. Tapi dia diam-diam memalsukan surat pengangkatannya menjadi Juli 2004. "Saya ikut-ikut saja," kata Choirul ketika ditanya siapa yang membantunya.
Choirul adalah satu dari 504 orang tenaga honorer K2 dari Kudus yang didaftarkan Bupati Musthofa ke BKN untuk ikut seleksi pada November tahun lalu. Jumlah ini menggelembung dari data jumlah tenaga honorer sebelumnya yang hanya 256 orang. "Saya mau mundur saja dari PNS," kata Choirul ketika ditanya apa rencananya setelah mengaku memalsukan SK pengangkatan.
Selain Choirul, para guru honorer yang masuk daftar K2 pada injury time ternyata merupakan anggota Forum Komunikasi Wiyata Bakti (FKWB). Bukan kebetulan kalau forum ini adalah perkumpulan guru honorer di Kudus yang mendukung pencalonan kembali Musthofa sebagai bupati pada pemilihan kepala daerah, Mei tahun lalu.
Sejumlah sumber Tempo di Kudus bercerita tentang pertemuan ratusan guru anggota forum itu dengan Bupati Musthofa pada Februari 2013, tiga bulan sebelum hari pencoblosan. "Waktu itu Bupati berjanji mengangkat semua tenaga honorer jadi pegawai negeri tetap," ucap salah satu guru yang hadir. Wartoyo, Kepala SD 3 Wergu Wetan, Kudus, membenarkan ihwal pertemuan itu. "Dari sekolah saya ada dua guru honorer yang datang," katanya.
Pertemuan seperti itu tak hanya sekali diadakan. Di Kecamatan Undaan, para guru honorer bahkan diminta terjun langsung menjadi tim sukses Musthofa. "Kami diminta membuat daftar 50 orang yang siap mendukung Musthofa, lengkap dengan alamat dan nomor kontaknya," ujar Sapari, 44 tahun. Tak punya pilihan, para guru itu menurut saja. Mereka amat berharap bisa jadi pegawai negeri.
KONGKALIKONG seperti yang terjadi di Kudus itu ditemukan pula di banyak daerah lain. Modusnya serupa: memalsukan data honorer K2. Patgulipat ini melibatkan pejabat dari instansi tempat tenaga honorer bekerja hingga petugas di kecamatan, dinas, dan Badan Kepegawaian Daerah. Tak jarang kepala daerah ikut campur.
Di Kabupaten Tangerang, Banten, misalnya. Dari 1.068 tenaga honorer yang lolos tes CPNS, diduga sekitar 800 orang memalsukan datanya.
Di Blitar, Jawa Timur, tenaga honorer yang tak memenuhi syarat tapi ingin ikut tes CPNS harus membayar Rp 85-150 juta kepada Suwaji, anggota staf tata usaha di SMPN 2 Kademangan, Blitar.
Kepada korbannya, Suwaji yang mengaku menjabat Kordinator Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia Wilayah Kabupaten Blitar ini menjamin kelulusan mereka jadi pegawai negeri. Caranya? "Dia dekat dengan orang Dinas Pendidikan," kata Sri Haryati, salah satu tenaga honorer K2 Blitar. Kala dimintai konfirmasi, Suwaji membantah semua tuduhan. "Saya difitnah," ujarnya.
Laporan serupa muncul dari Kabupaten Maros dan Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sejumlah tenaga honorer yang dinyatakan lulus jadi pegawai negeri ternyata baru bekerja dua-tiga tahun terakhir. "Ada dua orang yang mengaku bekerja di tempat saya sejak 2005, tapi wajahnya tak pernah saya kenal," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah di sana, Thamrin Gassing, pertengahan Maret lalu. "Saya akan minta mereka sumpah pocong."
Di Pekanbaru, setidaknya ada empat tenaga honorer yang sudah diangkat jadi pegawai negeri yang diduga memalsukan dokumen pengangkatan mereka. "Saya tahu persis mereka baru bekerja setelah Januari 2005," kata Suganda Wijaya, tenaga honorer di Komisi Pemilihan Umum setempat.
Dia menuding keempatnya bisa lolos berkat hubungan keluarga dengan pimpinan di instansinya. "Ada yang anak pejabat, ada yang keponakan pejabat," katanya pelan. Suganda sendiri, meski sudah bekerja sejak Desember 2004, malah tak kunjung diangkat sampai sekarang.
KETIKA hasil tes seleksi CPNS nasional diumumkan pada Februari lalu, dunia Saifuddin seperti runtuh. Namanya tak tercantum dalam daftar mereka yang lulus. Dia gagal. Tapi yang membuatnya sakit hati bukan itu. Sebagian besar dari mereka yang lulus adalah tenaga honorer yang memalsukan dokumen pengangkatannya.
"Ini ada kesalahan," katanya yakin. Saifuddin dan rekan-rekannya yang tersisih dari tes CPNS lantas memprotes melalui forum bernama Geptir, singkatan dari Guru Tak Tetap/Pegawai Tak Tetap Teranulir. Bisa jadi nama itu dipilih karena mewakili hati mereka yang getir.
Mereka kemudian bergabung dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat dalam Konsorsium Masyarakat untuk Kudus Bersih (KMKB). "Kami menuntut seleksi CPNS diulang," kata Ketua KMKB Sururi Mujib.
Di sela-sela kegiatannya mengajar, Saifuddin mengorganisasi unjuk rasa. Mereka juga blusukan mencari bukti pemalsuan dokumen pengangkatan tenaga honorer di Kudus. Hasilnya tak sia-sia. Mereka memperoleh dokumen pengangkatan tenaga honorer tahun 2010 yang menunjukkan bahwa sebagian besar pegawai K2 yang lulus tes CPNS sebenarnya baru bekerja pada 2006-2008.
Berbekal bukti itu, pada awal April lalu KMKB melaporkan dugaan pemalsuan data para abdi negara tersebut ke Markas Besar Kepolisian RI. Tak sampai sepekan kemudian, pesan pendek yang berisi ancaman pembunuhan itu masuk ke telepon seluler Saifuddin.
Tempo menelusuri data dugaan pelanggaran dan menemui sendiri para tenaga honorer yang diduga memanipulasi surat pengangkatan mereka. Salah satunya Ulil Absor, 32 tahun, guru honorer di SD 1 Larikrejo. Dia dan 150 tenaga honorer lain di Kudus ditetapkan sebagai tenaga honorer pada 1 Januari 2005, tepat pada hari libur nasional. "Surat pengangkatan saya asli," kata Ulil dengan nada tinggi.
Hendi Hidayat, 31 tahun, guru honorer di SD 3 Cranggang, juga baru diangkat pada 1 Januari 2005. Yang lebih janggal, ijazah kelulusannya dari perguruan tinggi setempat baru diterbitkan enam bulan setelah dia jadi tenaga honorer. Sururi yakin pemalsuan data itu hanya bisa dilakukan dengan bantuan para pejabat terkait. "Ini sistematis dan masif," katanya.
Jadi siapa yang bertanggung jawab? Ketika ditemui, Ketua Forum Komunikasi Wiyata Bakti (FKWB) Kudus, Mardi Susanto, mendesak Tempo minta izin kepada Bupati Musthofa sebelum mewawancarai dirinya. "Bupati minta saya tidak bicara kepada wartawan," katanya dua pekan lalu.
Belakangan, setelah Musthofa mempersilakannya bicara, Mardi malah gelagapan sendiri. Dia membantah pernah mengerahkan ratusan guru anggota forumnya untuk mendukung pencalonan Musthofa dalam pemilihan kepala daerah. "Saya tidak dekat dengan Bupati," katanya.
Habib Ali Subkhi malah sama sekali tidak mau menemui Tempo. Meski sudah didatangi ke rumahnya yang luas dan megah di Desa Karangrowo, Kudus, dia tak mau keluar. Dihubungi lewat telepon, Habib bungkam.
Bupati Musthofa juga cuci tangan. Dia mengaku tak berurusan dengan pengangkatan tenaga honorer K2. "Saya tidak tahu kalau data honorer K2 itu ternyata fiktif," katanya ringan. Soal Habib, Musthofa punya jawaban. "Dia main sendiri."
Pada Februari lalu, ketika Badan Kepegawaian Negara meminta para kepala daerah menerbitkan surat jaminan untuk memastikan kesahihan data pegawai honorer dari wilayahnya, Musthofa termasuk yang pertama menolak.
Hingga akhir April lalu, tidak ada satu pun bupati ataupun gubernur yang berani menjamin kebenaran data tenaga honorer mereka ke BKN. "Kami sudah menunggu sejak Maret, molor sampai April, dan kini kami undur lagi sampai akhir Mei," kata Eko Sutrisno, Kepala BKN. Kondisi ini membuat kecurigaan mengenai keterlibatan para kepala daerah dalam tipu-tipu data tenaga honorer semakin kuat.
Di Kudus, Saifuddin hanya bisa menunggu dalam gundah. Di satu sudut rumahnya yang belum dicat, ia duduk lesu beralas tikar. "Sekarang semua orang saling menyalahkan," katanya. Dia mengaku masih berharap bisa jadi pegawai negeri. Tapi dia tak tahu harus menanti sampai kapan.
Tim Investigasi CPNS Penanggungjawab: Wahyu Dhyatmika Pemimpin Proyek: Agung Sedayu Penyunting: Philipus Parera Wahyu Dhyatmika Penulis: Agung Sedayu Budi Riza Mustafa Silalahi Penyumbang Bahan: Agung Sedayu, Budi Riza (Jakarta), Mustafa Silalahi (Toba Samosir), Anwar Marjan (Bone), Didit Haryadi dan Iin Nurfahraeni Dewi Putri (Makassar), Hari Tri Wasono (Blitar), Joniansyah (Tangerang), Jumadi (Maros), Riyan Nofitra (Riau), Rofiuddin (Kudus), Sujatmiko (Tuban) Bahasa: Sapto Nugroho, Uu Suhardi, Iyan Bastian Riset Foto: Nita Dian Desain: Djunaedi, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo