Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pokoknya, pegang gue erat-erat, ya. Supaya enggak kelempar," kata Aero Sutan Aswar kepada saya sebelum ia membetot gas jet skinya di perairan Ancol, Jakarta Utara, awal April lalu.
Dalam hitungan detik, jet air berbobot 360 kilogram itu pun melejit kencang. Jarum speedometer menyentuh angka 68 mil per jam. Di darat, ini setara dengan kendaraan yang melaju dengan kecepatan 110 kilometer per jam.
Di sirkuit balap, kecepatan ini mungkin tak seberapa-bandingkan dengan kecepatan MotoGP yang bisa mencapai 300 kilometer per jam. Tapi di laut lain ceritanya.
Ombak yang bergulung-gulung menghantam kendaraan peluncur ini membuat jet ski terlonjak-lonjak. Bahkan sesekali melayang sebelum kembali memecah gelombang.
Selain mendapat hantaman ombak, kami harus menghadapi terjangan angin. Itu membikin saya hanya mampu menarik napas satu-satu. Mengikuti sarannya, saya memegang erat pelampung yang dikenakan pemuda 19 tahun itu. Saya, tentu saja, tak ingin terlempar ke perairan.
Saya merasa otot dari leher hingga kaki menegang kaku. Ketika Aero mendadak membelokkan jet ski tanpa menurunkan kecepatan, tubuh terasa seperti diayun ke samping. "Ikuti gerakan badan gue," ujar Aero di sela cipratan air. Saya tak menunggu ia memintanya dua kali. Sesaat, saya merasakan sensasi seperti saat menaiki roller coaster. Terayun ke sana, terombang-ambing ke sini, dengan kecepatan bagai kilat!
Saya pasrah. Saya serahkan keselamatan saya kepada atlet jet ski yang menempati podium ketiga dalam kejuaraan jet ski dunia Mark Hahn 300 Mile Endurance di Lake Havasu City, Arizona, Amerika Serikat, Februari lalu, itu.
Kontes kecepatan di Negeri Abang Sam tersebut bukanlah lomba ecek-ecek. Itu adalah kejuaraan berlevel internasional yang diselenggarakan Asosiasi Jet Ski Internasional (IJBSA). Pesertanya para atlet jet ski kelas dunia.
Di ajang bergengsi itulah dua putra Indonesia unjuk gigi. Selain Aero, atlet satunya adalah adiknya sendiri, Aqsa Sutan Aswar. Keduanya putra Saiful Ikhsan Sutan Aswar, yang sekaligus menjadi manajer mereka.
Aqsa bahkan jauh lebih yahud, karena sukses menjadi juara kedua dan mendapat gelar iron man. Inilah gelar yang hanya disematkan kepada atlet paling tangguh. Pada 2011, gelar tersebut milik Aero, yang saat itu sekaligus berhasil menjuarai lomba. Keren, bukan?
Tentu saja pencapaian dua bersaudara ini tidak jatuh dari langit. Mereka bekerja keras, jauh melampaui yang mungkin dilakukan anak-anak sebayanya. "Kami menghabiskan banyak waktu untuk berlatih," kata Aero. "Juga dana."
Aero mengisahkan, dia berlatih tiga jam sehari di pusat kebugaran untuk memperkuat otot-otot lengan. Maklum, untuk mengendalikan jet ski, memang dibutuhkan kekuatan tangan.
Bayangkan saja, untuk balapan endurance, setiap atlet harus melahap lintasan berbentuk segi empat sepanjang 10 mil dalam 30 putaran. Butuh kekuatan fisik, terutama ketahanan tangan, agar jet ski tak lepas kendali.
Tanpa tangan yang kokoh, tak hanya jet ski jadi hilang kontrol, tubuh pun mungkin terlempar ke laut. Dan ingat, dengan beban seberat itulah kendaraan mesti dipacu secepat mungkin. "Dalam lomba, saya mampu menggeber hingga 120 kilometer per jam," ujar Aero. Tak mengherankan jika atlet tertangguh kemudian digelari iron man.
Di luar arena, perjuangan untuk menjadi yang terbaik bahkan sudah dirintis 20 tahun silam. Adalah Saiful yang dua dekade lalu mulai membangun relasi dengan penggemar-penggemar jet ski di Amerika Serikat. Dia harus melakukan itu karena membutuhkan bantuan warga setempat jika anaknya mesti berlomba di sana. Dan itu bukan pekerjaan enteng. Sebab, ketika Aero mulai turun ke arena pertama kali di Amerika, "Ya, kami sendiri. Apa-apa (melakukan) sendiri," tuturnya.
Saiful tak patah semangat. Dia tahu persis, sebagai penggila olahraga jet ski, orang-orang lokal hanya mau membantu atlet serius dan punya prestasi. "Itu tentang respek," kata Saiful. Jadi bukan hanya soal duit.
Aero mulai dihargai ketika dia merengkuh prestasi dunia. Salah satunya menjadi yang terbaik dalam kejuaraan endurance pada 2011. Dia kian mengukuhkan diri saat menempati peringkat ketiga nomor Grand Prix Runabout (jenis jet ski duduk) dalam World Finals-kejuaraan dunia paling tinggi yang diselenggarakan IJBSA di Lake Havasu, Oktober tahun lalu. Kejuaraan ini diikuti 700 pengendara dari 48 negara.
Sponsor pun berdatangan, baik dari Amerika maupun Indonesia. Kini Saiful bisa mempekerjakan 18 orang Amerika untuk membantu Aero mempersiapkan diri. "Mereka dibayar dengan upah yang wajar," ujar Saiful tanpa mau menyebutkan angka.
Sponsor datang. Toh, Saiful tetap harus merogoh kocek dalam-dalam, terutama untuk membeli jet ski yang tak murah itu. "Harganya setara dengan harga satu mobil Range Rover," katanya. Di pasaran, harga Range Rover keluaran 2014 berkisar Rp 600-700 juta. "Saya mencicilnya."
Itu belum cukup. Sebab, Saiful masih harus menyewa rumah di Amerika guna menyimpan jet skinya. Tentu saja plus membayar orang untuk merawatnya. Jet ski itu ia simpan di sana karena "jatuhnya" lebih murah dibanding biaya pengiriman dan pemulangan antara Indonesia dan Amerika setiap kali mereka bertanding. "Biaya pengirimannya setara dengan harga satu jet ski."
Toh, semua pengorbanan Saiful tak sia-sia. Aero dan Aqsa kini tercatat sebagai segelintir orang Indonesia yang menorehkan prestasi di arena olahraga dunia. "Sebenarnya, sebelum Aero dan Aqsa, sudah banyak orang Indonesia yang menjadi atlet jet ski," ujar Saiful. "Tapi tekad dan totalitas mereka kurang kuat."
Tekad dan totalitas, apakah kian langka di negeri ini?
Setelah 20 menit meliuk-liukkan jet skinya di perairan lepas, Aero kembali menuju pantai. Saya sedikit demi sedikit melepas ketegangan. Duduk di belakang juara tiga dunia, mengikuti setiap manuvernya, menembus gelombang, akan menjadi pengalaman tak terlupakan.
"Besok, bangun dari tidur, badan Anda dijamin akan terasa pegal-pegal," Aero mengingatkan setelah kami mendarat lagi. Dia benar, esoknya sekujur tubuh terasa kaku-kaku. Dan saya tak akan melupakan itu!
Gadi Makitan
Jejak Prestasi Aero
2005
2008
2009
2010
2010
2011
2013
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo