Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI itu hasil tangkapan nelayan begitu menarik. Corak totol ikan pari macan dari Laut Jawa itu memantik kecurigaan Irma Shita Arlyza. Di mata peneliti genetika molekuler dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini, tak seperti tiga jenis pari macan lainnya, pola dan bentuk totol pari itu cukup nyeleneh. Keraguan Irma sempat ditepis seniornya, yang mengatakan pari hasil survei di laut utara Batang, Jawa Tengah, itu sama dengan salah satu spesies pari macan.
"Tapi saya tidak yakin," kata Irma saat ditemui di kantornya, Rabu pekan lalu. Dibalut penasaran, ia memutuskan menyimpan sekerat daging ikan pari yang diperolehnya pada 2006 itu sembari mengumpulkan spesimen pari lain.
Kecurigaan Irma terbukti enam tahun kemudian. Lewat analisis molekuler, sampel daging itu diketahui milik pari spesies baru. Begitu pula 29 sampel lain yang diperolehnya dari perairan selatan dan utara Jawa, utara Bali, serta Selat Sunda. Spesies bernama Himantura tutul atau pari tutul kecil itu memiliki corak genetik yang berbeda dengan tiga kerabatnya, Himantura uarnak, Himantura leoparda, dan Himantura undulata.
Metode yang sama pernah dipakai Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk membedakan harimau Sumatera dan India hasil sitaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Sekilas pandang, corak dan jumlah belang, ukuran tubuh, serta warna kedua subspesies harimau itu serupa. Namun perbedaan morfologi yang samar itu bisa dideteksi. "Caranya dengan analisis DNA," kata Deputi Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Herawaty Sudoyo.
Analisis DNA menjawab keterbatasan indrawi manusia dalam mengamati ciri fisik makhluk hidup. Untaian asam nukleat yang menyandi kode genetik semua makhluk hidup, termasuk manusia, ini bak label genetik. Ia memberi ciri spesifik bagi tiap spesies, subspesies, bahkan individu. Mirip barcode yang tertera pada kemasan produk. Setiap barang atau merek memiliki barcode berbeda yang menandakan identitas masing-masing.
Konsep tanda pengenal genetik ini telah diadopsi dalam sistematika-cabang ilmu biologi yang mempelajari pengelompokan dan hubungan kekerabatan organisme. Namanya DNA barcoding. Dengan metode ini, para ilmuwan kini lebih mudah menentukan perbedaan spesies. Identifikasi spesies baru juga tak lagi memakan waktu. Bahkan dugaan kawin campur atau interbreeding di antara dua atau lebih individu berbeda jenis bisa dideteksi dengan metode ini.
DNA barcoding dilakukan dengan mencocokkan urutan DNA atau gen tertentu dari sampel yang dipelajari dengan database urutan DNA di GenBank dan The Barcode of Life Data System (Bold System). GenBank dikelola oleh National Center for Biotechnology Information sejak 1982, yang menampung 162 juta urutan DNA dari lebih 300 ribu spesies berbagai taksa. Adapun Bold System, yang digagas pada 2003 oleh Dr Paul Hebert, pakar biologi dan genetika dari University of Guelph, mengoleksi sekitar 3 juta spesimen dari lebih 213 ribu spesies.
Herawaty mengatakan para ilmuwan umumnya menggunakan DNA mitokondria (mtDNA) dalam proses DNA barcoding. Mitokondria-organela penghasil energi-dijumpai pada setiap sel tubuh makhluk hidup, kecuali bakteri, dan diwariskan dari ibu. Jumlahnya bervariasi tergantung spesies, dari satu sampai ribuan. Di dalamnya terdapat DNA berbentuk lingkaran dan berpilin ganda yang mengandung 37 gen.
Dari jumlah itu, empat gen di antaranya kerap dipakai sebagai marka genetik, segmen DNA yang berfungsi sebagai penciri spesies atau individu. Mereka antara lain 12S rRNA dan 16S rRNA atau ribosom subunit kecil, cytochrome b, serta cytochrome c oxidase subunit 1 (COI). "Gen-gen itu dalam kurun evolusi tidak banyak berubah," ucap Herawaty. Setiap organisme memiliki corak nukleotida yang sama pada marka genetik dari DNA mitokondria. Itu sebabnya empat gen tersebut disepakati sebagai marka genetik dalam analisis DNA.
Selain memakai mitokondria, para ilmuwan bisa menggunakan DNA inti sel (nDNA). Irma mengatakan analisis DNA hasil percampuran materi genetik dari orang tua ini bisa menguak persentase terjadinya kawin campur dalam suatu kelompok organisme. "Kalau angkanya besar bisa dicek ke perbedaan morfologi, misalnya corak atau warna," ujarnya. Menelusuri jejak hibridisasi sangat penting jika menyangkut konservasi. "Kita ingin populasi murni, tidak tercampur dengan lainnya," Herawaty mengatakan.
Pada identifikasi pari tutul kecil, Irma menggunakan tujuh marka genetik, masing-masing lima gen dari DNA inti serta gen COI dan cytochrome b dari mitokondria. Ia membandingkan urutan DNA dari 113 sampel dengan database DNA tiga spesies pari macan di GenBank dan Bold System. Hasilnya, 29 sampel mengelompok tersendiri, tidak mirip dengan DNA pembanding. "Secara otomatis bisa disebut sebagai cluster tersendiri," ujarnya.
Analisis filogenetik dengan software statistik khusus juga menunjukkan 29 sampel itu menempati cabang pohon kekerabatan yang baru, memisah dari tiga spesies pari macan yang telah dikenal. Irma memperoleh konfirmasi bahwa sampel temuannya bisa dikategorikan sebagai spesies baru. Ia pun menyematkan nama Himantura tutul dan mempublikasikannya dalam jurnal Comptes Rendus Biologies pada Juli 2013. "Tutul dan macan itu kalau hewan darat berkerabat dekat," katanya.
Pendekatan genetika molekuler menjadi terobosan baru bagi dunia taksonomi. Dosen sistematika hewan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Donan Satria Yudha, mengatakan analisis molekuler sering digunakan untuk membantu identifikasi klasik saat terbentur kesulitan. Cara modern ini juga dipakai untuk memperkuat bukti adanya karakter diagnostik-karakter morfologi spesifik yang hanya dimiliki oleh satu kelompok taksa.
Metode identifikasi dengan taksonomi klasik, yang mengandalkan dikotomi dengan perbandingan morfologi dan numerik, memang lebih banyak bias dan rawan salah identifikasi. "Terutama karena adanya spesies kriptik dan dimorfisme seksual," tutur Donan. Spesies kriptik adalah dua individu atau lebih dari spesies berbeda tapi memiliki banyak kesamaan ciri morfologi. Para ilmuwan kesulitan mengidentifikasi dengan metode klasik karena tidak menjumpai perbedaan penting dalam ciri morfologi mereka.
Irma mengalami sendiri bagaimana sulitnya mengenali perbedaan morfologi yang samar. "Sama tapi tidak serupa, serupa tapi tidak sama," ujarnya. Jika tak menggunakan analisis DNA, ia tidak akan pernah mengetahui bahwa spesimen yang dicurigainya sejak awal benar-benar spesies pari macan yang berbeda. "Bentuk luarnya mirip, tapi secara genetik tidak sama."
Penggunaan DNA barcoding tidak membuat Irma mengabaikan metode taksonomi klasik. Ia tetap berpegang pada dasar ilmu taksonomi yang menyebutkan sekecil apa pun perbedaan genetik pasti diekspresikan menjadi ciri fisik luar. Ini dibuktikannya setelah mengamati secara teliti corak totol pari tutul kecil temuannya.
Corak totol pada kulit punggung pari tutul rupanya berbentuk segi empat berukuran kecil. Posisinya tidak beraturan. Sedangkan corak totol pada tiga spesies lain lebih mirip segi enam atau segi delapan. Posisinya lebih tertata seperti pola pada sarang lebah.
Irma meyakini pari tutul kecil adalah contoh spesies yang berkembang dari nenek moyang yang sama yang kemudian memisahkan diri sebagai spesies berbeda. Namun banyak juga kasus spesies yang sebenarnya berbeda nenek moyang tapi bentuknya sama. "Ini yang tidak dapat dikenali lewat pendekatan taksonomi klasik," katanya.
Itu sebabnya para ahli taksonomi sekarang mulai beralih ke teknologi molekuler untuk memvalidasi metode klasik mereka. Sebaliknya, para ilmuwan bidang molekuler harus kembali ke taksonomi klasik untuk melihat kasus spesies kriptik. "Keduanya saling mendukung, tidak bisa satu menggantikan yang lain," ucap Herawaty.
Donan sepakat metode klasik masih tetap diperlukan. Ia mencontohkan seorang ilmuwan harus mengetahui perbedaan warna tubuh, jumlah sisik, atau warna rambut untuk identifikasi sementara atau pengetahuan umum tentang hewan tertentu. Lagipula identifikasi fosil masih memerlukan cara konvensional. "Karena hanya karakter anatomi kerangka yang bisa dianalisis," katanya.
Bagaimanapun, analisis DNA diyakini menjadi peranti yang ampuh untuk menguak keberagaman hayati. Sebab, menurut Profesor Gilles Boeuf, pakar biologi kelautan dari University Pierre et Marrie Curie, Prancis, manusia saat ini baru mengidentifikasi sekitar 2 juta spesies. Jumlah itu hanya mencakup 15 persen dari total spesies yang menghuni bumi. "Masih banyak sekali yang belum dikenali," ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Presiden Museum Nasional Sejarah Alam Prancis ini menambahkan, dalam dua dasawarsa terakhir, para ilmuwan sukses mendeskripsikan 16-18 ribu spesies baru per tahun. Dengan laju seperti itu, pada akhir abad ini manusia mungkin sudah bisa mengenal separuh dari seluruh spesies penghuni bumi. "Sulit rasanya menjaga biodiversitas tanpa mengetahui apa saja spesies yang ada," kata Boeuf.
Mahardika Satria Hadi
Cara melakukan identifikasi molekuler dengan analisis DNA
Barcode genetik berupa deretan garis warna-warni, menggambarkan urutan basa nitrogen DNA yang terdiri atas guanin (G), adenin (A), sitosin (C), dan timin (T). Setiap spesies, subspesies, bahkan individu memiliki barcode genetik yang khas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo