Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA hanya ingin mengganti menterinya, Presiden Joko Widodo sebetulnya tak perlu marah dan mengancam. Menteri yang tak becus bekerja, terutama dalam menangani pandemi corona, sudah selayaknya dicopot. Apalagi mengocok ulang kabinet merupakan hak prerogatif presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemarahan Jokowi justru menunjukkan ketidakmampuan dia mengendalikan organisasi. Kemungkinan lain: ia sedang melakukan playing victim—mencari simpati publik dengan memotretkan diri sebagai pemimpin yang tak didukung pembantu yang mumpuni. Tapi publik tak lupa: para pembantu itu dipilih Jokowi sendiri. Dengan demikian, Presiden sesungguhnya tengah menepuk air di dulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan kata lain, omelan Presiden dalam sidang kabinet 18 Juni 2020 yang videonya dirilis sepuluh hari kemudian itu sia-sia belaka: tak berdampak dalam mempercepat penanganan pandemi. Kemarahan Presiden justru meneguhkan kritik publik pada proses penetapan anggota kabinet akhir tahun lalu yang dituding sarat kepentingan politik.
Ketika itu, Jokowi memilih figur-figur yang tak punya pengalaman dan ilmu yang mumpuni. Para menteri ekonomi, misalnya, lebih banyak datang dari kalangan partai politik. Jadi wajar kalau kinerja kementerian menjadi ala kadarnya. Kemarahan itu seyogianya ditelan sendiri oleh Jokowi sebagai konsekuensi kesalahannya memilih orang.
Salah satu kementerian yang disebut Presiden dalam “rapat tegangan tinggi” itu adalah Kementerian Kesehatan. Menjadi ujung tombak menangani Covid-19, kementerian yang dipimpin Terawan Agus Putranto ini baru membelanjakan 1,53 persen dari Rp 75 triliun dana yang dianggarkan. Kita tahu, di awal Covid-19 melanda, Terawan adalah salah satu menteri yang memberikan pernyataan ngawur dan tak berbasis sains tentang pandemi.
Kemarahan Jokowi itu sebetulnya datang terlambat. Rakyat sudah sejak Maret lalu murka karena pemerintah lamban bertindak. Pernyataan pejabat yang meremehkan virus dan rencana membuka tempat wisata di tengah wabah adalah sederet kebijakan pemerintah yang tak mempedulikan kesehatan dan nyawa masyarakat.
Penanganan pandemi membutuhkan manajemen dan koordinasi yang bagus. Juga konsep yang solid dan sikap tegas dalam menjalankan konsep itu. Banyak negara yang sukses menekan penyebaran virus kini bersiap melonggarkan pengetatan untuk menghidupkan kembali ekonomi yang mandek. Cina sebagai negara yang diterpa pandemi pertama kali sudah menggeliat. Produksi emisi dari pabrik-pabrik di Cina pada bulan lalu sudah dua kali lipat dibanding empat bulan pada masa karantina.
Indonesia masih jauh panggang dari api dan kini harus bersiap menghadapi reaksi negatif dunia. Indonesia, misalnya, tidak termasuk 17 negara yang penduduknya dibukakan pintu untuk masuk Uni Eropa. Dengan kata lain, Indonesia tidak termasuk negara yang pemerintahnya dianggap becus menangani wabah.
Jadi, jika ingin memperbaiki keadaan, segeralah ganti menteri yang tak genah bekerja. Tak perlu tersandera partai politik: beranikanlah diri untuk mengambil pembantu dari luar partai. Jangan terlalu sibuk mencari keseimbangan—merangkul politikus kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah—agar tercipta harmoni untuk mencapai stabilitas politik Presiden. Di masa yang sulit ini, pilih orang yang trengginas, mau bekerja keras, dan berani mengambil keputusan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo