Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dua Wajah Satu Bhayangkara

Personel kepolisian menempati banyak jabatan yang tidak relevan dengan masalah keamanan. Sifat kekerasan pun masih melekat.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dua Wajah Satu Bhayangkara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REFORMASI menghasilkan dua wajah kepolisian kita. Wajah pertama adalah kepolisian sebagai institusi sipil setelah lepas dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 2000. Sayangnya, wajah militeristik juga tetap melekat pada banyak anggota lembaga ini, termasuk untuk keperluan mengejar pengakuan tersangka tindak pidana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua wajah itulah yang menghiasi kiprah Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri pada usianya yang ke-74, Rabu, 1 Juli lalu. Secara resmi, setelah dipisahkan dari ABRI pada 2000, Polri merupakan institusi sipil yang bertanggung jawab menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Adapun Tentara Nasional Indonesia bertugas menjaga pertahanan negara. Dua tugas itu dulu disatukan di dalam ABRI, yang bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepolisian tentu saja bukan institusi sipil biasa. Lembaga ini memiliki seragam, menguasai senjata, dan mengoperasikan berbagai perangkat teknologi yang bisa dijalankan untuk mengawasi semua warga negara. Keistimewaan ini sekaligus memberikan pengaruh sangat besar buat anggotanya. Tak mengherankan jika kepolisian perlahan-lahan juga menjadi kekuatan politik yang berpengaruh. Apalagi setelah pemerintah Joko Widodo membuka pintu bagi personel kepolisian untuk mengisi jabatan di luar wilayah tugas keamanan negara.

Jokowi, misalnya, menempatkan seorang perwira tinggi polisi aktif sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat pada 2018. Kursi menteri, Kepala Badan Intelijen Negara, Kepala Badan Urusan Logistik, pejabat di berbagai kementerian, komisaris perusahaan negara, hingga pengurus organisasi sepak bola pun disorongkan kepada personel kepolisian. Puncaknya adalah terpilihnya Inspektur Jenderal Firli Bahuri sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, lembaga yang dibentuk pada 2002 karena kepolisian dan kejaksaan dinilai gagal menghentikan kejahatan itu. Kepolisian memanfaatkan sebesar-besarnya kesempatan yang diberikan pemerintah Jokowi.

Pada saat yang sama, wajah kekerasan belum bisa lepas dari lembaga itu. Tindakan brutal antara lain mengakibatkan tewasnya sejumlah mahasiswa yang berdemonstrasi menolak revisi Undang-Undang KPK di berbagai daerah. Pada level individual, tindakan sewenang-wenang juga acap terjadi. Misalnya kekerasan kepada pengusaha Donny Widjaja, yang dituduh menggelapkan uang proyek oleh rekan bisnisnya. Donny menyatakan telah diancam dan dianiaya rekannya dan dua polisi. Seorang di antaranya ternyata penyidik kasus yang dituduhkan kepada Donny.

Secara makro, angka kekerasan oleh polisi masih tinggi. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 48 penyiksaan oleh polisi pada Juni 2019-Mei 2020. Sebagian besar penyiksaan dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dalam interogasi. Kontras juga menyatakan personel kepolisian diduga terlibat dalam 921 kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sepanjang Juli 2019-Juni 2020, yang menyebabkan 1.627 orang terluka dan 304 tewas. Kekerasan tersebut antara lain dalam bentuk pembungkaman kebebasan sipil, pembubaran paksa dan bentrokan, penembakan gas air mata, penangkapan sewenang-wenang, serta penyiksaan melalui dunia maya.

Reformasi kepolisian sudah sepatutnya diteruskan. Polisi perlu terus meningkatkan standar profesionalitasnya. Personel yang mendapat posisi pada jabatan sipil, misalnya, perlu diharuskan mundur agar tidak ada konflik kepentingan. Kepolisian juga harus terus mengikis sifat militeristik anggotanya. Tanpa usaha itu, kepolisian akan mengulang keburukan peran ganda tentara pada masa Orde Baru. Sejarah mencatat, rezim Jokowi-lah yang membuka pintu ke sana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus