Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPAKAH Ratu Adil? Adakah gerangan dia? Masihkah dia diingat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal 2024 ini, menuju pemilihan umum yang penuh kecurangan, dua Ratu Adil muncul. Februari: serial Vidio delapan episode Ratu Adil, dengan bintang Dian Sastrowardoyo. Sebuah film bergenre laga dan mafia. Bulan sebelumnya, Januari: buku setebal 650 halaman, Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik. Ini adalah disertasi Sindhunata, SJ, yang aslinya ditulis dalam bahasa Jerman 40 tahun lalu. Tak ada hubungan di antara keduanya. Hanya situasi yang membuat kita boleh bertanya-tanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratu Adil Dian Sastro menggambarkan yang kekinian sekaligus permukaan. Permukaannya ada pada kisah mafia, kekinian yang berharga ada pada perlawanan gender. Ratu di sini—sebagaimana dimaknai di masa modern—adalah perempuan. Tapi ia sama sekali tidak bertaut dengan konsep Ratu Adil yang mengakar dalam sejarah Jawa. Tapi haruskah kembali ke Jawa?
Dari bahasa Jawa-lah istilah itu berasal. “Ratu” dalam bahasa Jawa adalah kata tanpa gender. Ia bisa mengacu pada wanita ataupun pria. (Bahkan sering kali ia mengacu pada wujud konkret tokoh lelaki.) Ia adalah suatu “konsep” tentang pemimpin yang membawa keadilan. Ah, bukan suatu konsep ilmiah tentu, melainkan konsep yang juga mengandung harapan. Para sejarawan telah mencatat, harapan akan Ratu Adil terbukti memungkinkan para petani—sering juga disebut “wong cilik”—melakukan perlawanan dan pemberontakan. Bahkan perlawanan yang paling terkenal, Perang Diponegoro, mengandung elemen motif penantian akan Ratu Adil, seperti tampak dalam karya-karya Peter Carey.
Karya Sindhunata, rohaniwan dan sastrawan, juga istimewa. Ia menawarkan kekayaan dan kedalaman refleksi filosofis, tapi juga mengherankan dalam konteks. Disertasi ini ditulis tahun 1980-an. Ketika itu kejayaan rezim Soeharto memuncak. Pertumbuhan ekonomi stabil di atas 6 persen. Tapi kekecewaan merambat, diam-diam (sebagian karena dibungkam). Pembangunan yang sentralistis dan eksklusif menyisakan kemiskinan di perdesaan dan di luar Jawa. Di antara tiga partai politik yang ada saat itu—Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia—si bantenglah yang memakai istilah “wong cilik” yang ia wakili. Istilah ini tentu saja sudah hidup jauh lebih lama dalam masyarakat.
Soeharto memakai simbol-simbol dan petatah-petitih Jawa untuk melegitimasi citranya. Di sini, gambaran tentang budaya Jawa yang mengutamakan harmoni menguntungkan dia. Etika Jawa sebagaimana digambarkan Franz Magnis-Suseno, SJ, dalam Etika Jawa (buku babon yang sangat bernilai) jadi cocok dengan kepentingan itu. Ini tentu meresahkan bagi orang-orang yang menginginkan perbaikan keadaan.
Disertasi Sindhunata, saya kira, dibayang-bayangi keinginan membantah Etika Jawa. (Jika betul, ini suatu dialektika yang sangat berharga di antara dua yesuit, tua dan muda, Jerman dan Jawa—keduanya adalah warga negara Indonesia.) Dan memang, di bagian belakang, halaman 557, ada sub-bab “Kritik terhadap Etika Harmoni Jawa”. Wong cilik dan wong tani bukanlah hanya nrima, pasrah dan sabar. “Penulisan sejarah wong cilik dalam perspektif penantian akan Ratu Adil” memungkinkan kita melihat bahwa mereka ternyata juga pejuang, petarung, berani berkonflik, dan mampu melakukan perubahan. “Lebih dari itu, penantian akan Ratu Adil mengangkat tuntutan etis akan keadilan dan kedamaian bagi wong cilik, hal yang sebelumnya tidak menjadi tema dalam sejarah Jawa.”
Tapi itu 40 tahun lalu. Bagaimana dengan sekarang? Demonstrasi-demonstrasi belakangan ini menyuarakan yang terpendam. Dia yang dulu merepresentasikan wong cilik telah menjelma menjadi Amangkurat, penguasa dari Kartasura yang haus kuasa. Jokowi sudah disebut oleh menterinya sendiri sebagai “Raja Jawa”. Jangan main-main dengannya. Mahasiswa mulai menuntut adili Jokowi.
Buku ini terbit dalam bahasa Indonesia persis di tengah situasi ini. Sebuah ironi. Tapi bukan suatu yang tidak relevan. Ia telah menjadi bagian dari usaha menggeser penulisan sejarah dari yang berfokus pada penguasa, orang-orang besar, para pemenang, ke fokus pada orang-orang kecil yang namanya kerap terlupakan. Ini bukan buku sejarah per se. Sebagai disertasi studi filsafat, ia menawarkan refleksi filosofis. Sebagai refleksi filosofis, ia istimewa karena tidak bersandar pada teks-teks baku atau klasik—yang memang tak tersedia jika kita mau bicara tentang orang kecil. Ia menawarkan kepada kita untuk melihat, dari pengalaman kita sendiri, suatu resiliensi, ketahanan, kemampuan melawan dan bertahan orang-orang kecil yang tertindas. Sejenis “teologi pembebasan” yang digali dari tanah kita sendiri. Ini sangat berharga.
Ironinya adalah pada politik riil hari ini. Pertanyaannya mungkin bukan apakah Ratu Adil itu ada atau tidak? Ratu Adil sejak dulu ada dalam harapan. Harapan inilah yang bisa menggerakkan wong cilik dalam perlawanan. Pertanyaannya lebih tepat: apa itu “wong cilik”—lokasi di mana Ratu Adil ada? Apakah ini suatu kategori atas obyek yang konkret? Tampaknya tidak, tapi 40 tahun yang lalu buku ini tidak sedang ingin menjawab pertanyaan itu.
“Wong cilik” dan “Ratu Adil” adalah kata-kata yang hidup dari suatu alam pikir tertentu. Pertanyaannya: apakah alam pikir itu sedang berubah atau tetap? Sebuah buku, terbit dua tahun lalu, 2022, menarik untuk merenungkan pertanyaan ini. Judulnya Tak Perlu Ratu Adil, kumpulan esai Edbert Gani Suryahudaya tentang politik, demokrasi, dan anak muda. Barangkali Edbert—sebagaimana para pembuat film Ratu Adil dengan bintang Dian Sastro—tidak memahami kedalaman makna Ratu Adil, sebagaimana dihayati dan direfleksikan Sindhunata. Tapi pengertian mereka tentang Ratu Adil, betapapun dangkal, mungkin menggambarkan suatu alam pikir yang berubah. Politik kita ke depan, barangkali, harus menemukan idiom-idiom baru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo