Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KATA catut tidaklah asing di telinga penutur bahasa Indonesia. Tidak banyak yang menyadari bahwa catut sebenarnya bermakna alat penjepit atau alat untuk mencabut paku dan sebagainya. Paling tidak itulah dua makna yang disajikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata catut mencuat lagi belakangan ini saat ramai pemberitaan mengenai dugaan pencatutan kartu tanda penduduk (KTP) warga Jakarta sebagai syarat dukungan kepada Dharma Pongrekun dan Kun Wardana sebagai calon gubernur dan wakil gubernur independen dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta. Setelah melakukan penelitian, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jakarta menyatakan kedua calon itu tidak terbukti melakukan pelanggaran aturan pilkada. Kata catut dalam peristiwa ini sudah mengalami perluasan makna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata catut sudah lama digunakan. Saya teringat lirik lagu “Nonton Bioskop” yang dilantunkan Benyamin S.: “Beli karcis, tau-tau keabisan.... Jaga gengsi, terpakse beli catutan...”. Pada masa itu frasa tukang catut sering muncul sebagai jenis pekerjaan yang identik dengan calo.
Makna ini sudah digunakan pada masa penjajahan Jepang, misalnya di surat kabar Mimbar Merdeka edisi 2 September 1946. Pada halaman pertamanya disebutkan, “Tjoba kita lihat pemegangan ataoe penangkapan-penangkapan toekang tjatoet:... Roepa-roepanja penjakit tjatoet ini soeatoe penjakit menoelar jang amat hebat di seloeroeh doenia.”
Contoh lain juga muncul di majalah Djawa Baroe edisi 1 Juni 1945. Pada bagian “Leloetjon” di majalah tersebut ada lakon satu babak berjudul “Kumityoo Istimewa” yang ditulis oleh Ananta Gaharasjah. Dalam lakon tersebut tertulis, “Saja bilang itoe naik 24 ratoes persen alias tjatoet jang tidak berkemanoesiaan....” Seorang tokoh lain menanggapinya dengan, “Kita haroes memakloemkan perang terhadap toekang tjatoet.”
Contoh penggunaan kata catut di masa Jepang tersebut masih sesuai dengan masa kini. Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa penggunaan kata catut telah berkembang sebagai makna yang negatif karena dalam unsur semantisnya terdapat makna merugikan orang lain atau mengambil suatu keuntungan dari orang lain secara licik.
Dalam hal dugaan pencatutan kartu tanda penduduk untuk pilkada Jakarta, makna konotatif kata itu jauh lebih tinggi. Kata catut dalam pemaknaan sekarang dapat dikatakan memiliki fitur makna yang lebih berwarna karena kata-kata yang berdampingan atau berkolokasi dengan kata catut lebih beragam. Hal ini terlihat dari data pada korpus bahasa Indonesia yang disusun oleh Universität Leipzig, Jerman. Dalam data tersebut terlihat bahwa kata nama sering muncul berdampingan dengan kata catut. Jadi frasa mencatut nama mulai sering digunakan, tentunya dengan fitur makna konotatif yang sifatnya negatif.
Setelah munculnya kasus catut KTP itu, KTP menjadi banyak dikolokasikan dengan kata catut. Yang menarik adalah adanya sedikit perbedaan makna kata catut yang digunakan pada catut KTP dan catut nama dengan catut karcis dan catut umur yang memang sudah lama digunakan. Pada dua frasa yang pertama, makna catut adalah “mengambil atau menggunakan sesuatu tanpa izin”. Pada dua frasa kedua, seperti dalam data korpus bahasa Indonesia, kata catut memiliki makna yang lebih spesifik yang berkolokasi dengan kata penipu, oknum, dan palsu. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia daring disebutkan bahwa mencatut bersinonim dengan mencuri.
Perkembangan penggunaan kata catut memperlihatkan dinamika masyarakat dalam memandang suatu masalah dan menemukan ekspresinya pada kata tersebut. Namun rasanya kita tetap perlu memaklumkan perang melawan tukang catut, seperti seruan tokoh lakon dalam majalah Djawa Baroe.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo