Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Raja Jawa di Era Media Sosial

Presiden yang meniru kepemimpinan raja Jawa akan tetap populer meski berperilaku diktator.

1 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG sering terabaikan dalam daya hidup berbangsa adalah panduan keutamaan lewat keteladanan, laku, dan proses politik para elite di ruang publik. Ruang publik adalah tempat pendidikan warga negara yang terbesar. Hari-hari ini bangsa Indonesia sedang mengalami tragedi terbesar, yakni runtuhnya panduan nilai-nilai keutamaan di ruang publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada lima tanda keruntuhan itu yang membuat kita akan menjadi bangsa yang kehilangan jati diri:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama, hilangnya ruang publik sebagai panduan kualitas individu pemimpin atau institusi untuk menumbuhkan masyarakat sipil yang terbuka, sehat, produktif, serta kritis. Di negara demokratis yang beradab, meski perilaku kotor selalu terjadi, ruang publik dijaga dari laku tanpa etika elite politik. Di negara-negara tersebut, para politikus kotor harus genuine untuk berbuat kotor dan brutal. Di sana politik kotor tidak tampil di ruang dan komunikasi publik, tapi hidup di ruang tidak terlihat dan terdengar sebagai intrik-intrik. Maka menjadi tragedi jika seorang pemimpin di Indonesia dengan enteng bertanya secara terbuka, “Apa itu moral, apa itu etika?” 

Di Inggris, seorang politikus yang terlambat menemui warga yang sakit akan mengundurkan diri. Di sana politikus yang keliru bicara tentang subyek tertentu akan meminta maaf dengan mengundurkan diri. Di Indonesia, para elite memamerkan politik brutal di ruang publik tanpa upaya menutupi dan tanpa rasa malu, bahkan sombong karena tak tersentuh hukum. Sebutlah para pejabat yang memberikan informasi tentang pembangunan Ibu Kota Nusantara yang berbeda-beda, bahkan bertentangan. Politik uang dalam pemilihan umum, fasilitas mewah dalam penjara, atau permintaan uang miliaran rupiah untuk membayar biaya kampanye di media sosial dipamerkan tanpa rasa malu.

Kedua, runtuh dan kaburnya panduan penegakan hukum. Di Indonesia, supremasi tidak lagi bertumpu pada aspek dasar muruah hukum, yakni etika, undang-undang, dan konstitusi. Hukum dipermainkan lewat politik oligarki yang otoriter dan manipulatif. Pembuatan undang-undang untuk mengatur hal-hal penting dan krusial dibuat lebih cepat dibanding rembuk desa. Padahal semua undang-undang itu punya dampak begitu besar terhadap hajat hidup orang banyak. Misalnya UU IKN, revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, atau UU Mineral dan Batubara. 

Penegakan hukum pun berubah menjadi penyanderaan hukum yang secara terbuka dipamerkan di ruang publik. Supremasi hukum oligarki politik melindungi tokoh dari jerat kasus hukum yang sudah terbuka umum kemudian ditukar dengan dukungan politik. Akibatnya, supremasi hukum bergantung pada kekuasaan. Ruang publik pun menjadi ruang pamer terbesar impunitas yang mempertontonkan hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah.

Ketiga, runtuhnya etika kepemimpinan politik. Etika politik adalah pemandu terbesar untuk laku dan proses politik menjadi keteladanan serta representasi nilai-nilai kepemimpinan dan karakter sebuah bangsa. Jika etika kepemimpinan tidak lagi menjadi etos dalam politik, panduan kepemimpinan dalam berbagai institusi dan ruang hidup akan mengalami guncangan hebat. Pembusukan politik di tingkat elite—seperti pepatah ikan busuk dari kepalanya—akan merembet ke bawah, yang berujung lumpuhnya tata negara dan berbangsa kita.

Keempat, runtuhnya panduan mewujudkan makna warga negara. Politik oligarki dan otoriter di era media baru melahirkan otoritarianisme yang dikelola dalam media baru, yakni bertemunya oligarki kekuasaan dengan para pemengaruh (influencer) hingga pendengung (buzzer) serta program pemerintahan yang dibungkus citra untuk tujuan menghibur adalah propaganda. Maka warga negara pun tidak lagi diperlakukan sebagai Rakyat (dengan “R”) yang harus dilayani hak-haknya. Warga negara hanya ditempatkan sebagai penonton kejadian-kejadian politik. Warga negara hanya diperlakukan sebagai konsumen yang diperlukan untuk mendukung keserakahan berkedok pembangunan.

Pada gilirannya, presiden tergelincir bukan lagi pemandu warga negara dengan model kepemimpinan demokratis. Presiden menjadi pemandu warga negara dalam model “raja-raja Jawa” yang diktator tapi hidup di era media baru. Dengan begitu, presiden yang meniru model kepemimpinan raja Jawa di era media sosial akan tetap populer meski berperilaku diktator serta mematikan daya hidup warga negaranya. 

Kelima, runtuhnya empat sendi utama panduan berbangsa di atas akan mendorong runtuhnya peran mulia institusi demokrasi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keruntuhannya akan merembet ke institusi penting yang menjadi penopang nilai-nilai sebuah bangsa, yakni institusi pendidikan. Ruang publik menjadi arena politik kebinatangan yang mempertontonkan kerakusan dan menghilangkan masyarakat profesional di berbagai bidang. 

Keruntuhan lima hal akibat ruang publik dikuasai politik yang kotor dan mengabaikan etika serta norma adalah hilangnya nilai sebuah bangsa 60-70 tahun mendatang. Relakah kita mewariskan Indonesia yang rusak dan tanpa jati diri kepada generasi nanti?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus