Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Arti Kata Pembinaan Setelah Peristiwa 1965

Kata pembinaan telah mengalami perluasan makna setelah peristiwa 1965 hingga menjadi penanda kosong. Ia menjadi wujud kekuasaan.

29 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG akhir September, seperti biasa kita kembali dibanjiri berbagai artikel seputar peristiwa 1965. Kini muncul berita yang antara lain membahas perlunya pembinaan terhadap pelajar untuk mengantisipasi bahaya laten komunis dan pentingnya pembinaan ideologi Pancasila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut KBBI Daring, kata bina berarti membangun sesuatu (negara, orang, dan sebagainya) supaya lebih baik. Namun kata jadiannya, pembinaan, masuk senarai penanda kosong atau mengambang. Contoh penanda kosong antara lain kebenaran, keadilan, kebahagiaan, keindahan, dan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penanda kosong bersifat menyerap makna sehingga maknanya pun rentan terhadap penafsiran ganda atau bahkan kontradiktif sehingga mudah dimanfaatkan oleh penuturnya. Siapa saja bisa memanfaatkan deretan penanda kosong ini sesuai dengan keinginannya—seolah-olah maknanya telah tersampaikan, padahal mereka justru telah mengosongkan maknanya. Dalam kasus pembinaan, maknanya telah mengalami perluasan, kontradiksi, dan sekaligus memaksa khalayak untuk menerima makna baru yang diinginkan penuturnya.

KBBI Daring mencatat makna pembinaan sebagai usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Contoh judul berita yang maknanya sejalan dengan itu adalah a) “Polres Tulungagung Gelar Pembinaan Rohani dan Mental” dan b) “Tim PPK Ormawa Untidar Lakukan Pembinaan Karawitan di Desa Nampirejo”.

Bandingkan dua judul itu dengan c) “Sandi, Petugas yang Viralkan Kerusakan Alat Damkar Depok Itu Jalani Pembinaan dan Siap Disanksi” (Kompas.com, 31 Juli 2024) dan d) “Buah Pembinaan di Lapas Kediri, Satu Narapidana Terorisme Kembali Cintai Ibu Pertiwi” (Kediritangguh.co, 11 Juli 2024). Meskipun judul c dan d sama-sama memakai kata pembinaan, pemaknaannya amat berbeda dari a dan b.

Pada kalimat a dan b, kata pembinaan menemukan makna umumnya. Tapi, pada kalimat c dan d, makna pembinaan memiliki akar yang panjang. Pembaca perlu menelusuri duduk perkaranya dulu untuk memahaminya.

Pada kasus c, pembaca akan menemukan makna adanya fakta tersembunyi atau disembunyikan oleh pihak yang melakukan pembinaan. Pembinaan di situ justru bisa bermakna pembungkaman dengan menggunakan penanda kosong. Adapun pada kasus d, kita menemukan dua makna pembinaan, tergantung dari pihak mana kita melihatnya, apakah dari lembaga pemasyarakatan atau kelompok teroris. Lembaga pemasyarakatan akan menganggap “hasil yang lebih baik” dalam pembinaan itu didapatkan setelah narapidana terorisme telah menyadari kekeliruannya. Sebaliknya, bagi kelompok teroris, pembinaan itu dapat bermakna cuci otak.

Contoh kasus yang lebih besar dapat kita temukan di masa Orde Baru. Rachmi Diyah Larasati, dalam Menari di Atas Kuburan Massal (2022), menggambarkan situasi sosial-politik setelah tragedi 1965. Kata pembinaan di masa itu mengandung semacam penilaian yang seringnya berupa diskriminasi mencolok terhadap bentuk-bentuk karya seni tertentu—seolah-olah bentuk-bentuk tersebut tidak lengkap atau berkekurangan. Proses “pembinaan” pada akhirnya membuahkan perubahan terhadap bentuk, seperti riasan atau gerakan dari tari rakyat.

Pembinaan dalam uraian Rachmi memanggul makna penilaian sekaligus kontrol dari pemerintah dan cabang Kementerian Kebudayaan di tingkat lokal bertugas “menasionalkan” praktik-praktik budaya setempat demi dua jargon nasional, yakni pembangunan dan kemajuan. Itu terjadi tidak hanya pada seni tari, tapi juga melebar ke seni lain seperti sastra. Karya sastra yang dianggap berbau kiri akan ditimbun. “Pembinaan” itu juga memuat stigma. Misalnya mereka yang terkena stempel “ET” (eks tahanan politik), dan bahkan anggota keluarganya, dikenai wajib lapor. Pembinaan di sini telah menjadi wujud kekuasaan.

Kita perlu waspada terhadap penanda kosong karena pemaknaannya mungkin tengah dipaksakan oleh si penutur. Jika ada seseorang terkena “pembinaan”, tidak bisa kita buru-buru menyimpulkan bahwa dia sebagai pihak yang salah. Bisa jadi ia hanyalah pihak yang kalah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak artikel ini berjudul "Pembinaan". 

Nur Hadi

Nur Hadi

Penulis cerita pendek dan puisi. Aktif di Akademi Menulis Jepara

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus