Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Astra international: transisi dan transformasi

Krisis kelompok summa mengakibatkan keluarga William Suryajaya melepaskan sebagian saham mereka di PT Astra International. kondisi dan prospek pt astra international.

30 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPANYE para kontestan Pemilu berikut hiruk-pikuknya ternyata belum mengurangi minat publik untuk mengikuti berita-berita ekonomi dan bisnis. Agaknya bukan pula suatu kebetulan jika berita mengenai kesulitan bisnis yang dialami keluarga William Soeryadjaya, telah menjadi topik paling hangat selama tiga pekan terakhir ini. Untuk itu, ada empat alasan sahih yang pantas diketahui umum. Alasan pertama menyangkut utang Kelompok Summa, termasuk Bank Summa, yang hampir seluruh sahamnya dikuasai keluarga William Soeryadjaya. Bicara perkara utang, di luar kasus Bank Duta, kasus PT Bentoel, dan PT Mantrust yang berutang ratusan juta dolar, pasti akan diikuti bergantinya para pemegang saham. Alasan kedua, adanya rencana dari keluarga William Suryadjaya untuk melepas sebagian saham mereka di PT Astra International. Yang lebih penting ialah, satusatunya motif pelepasan saham ini adalah agar diperoleh cukup dana untuk menyelamatkan Kelompok Summa, berikut Bank Summa, atau paling tidak melunasi segala kewajiban utangnya. Alasan ketiga berkaitan dengan alasan pertama dan kedua, yaitu bagaimana sebuah keluarga menangani "krisis" yang akan berdampak pada hubungan mereka dengan perusahaan publik (PT Astra International) dan perusahaan bukan publik (Kelompok Summa dan Bank Summa), yang kedua-duanya hingga kini mereka tetap memiliki saham mayoritasnya. Alasan keempat menyangkut pada "magnitude" persoalan yang dihadapi Kelompok Summa dan akibatnya pada ekonomi nasional. Di sinilah muncul berbagai spekulasi. Malam silaturahmi antara Dewan Management Astra dan pers pekan lampau ternyata tidak banyak menyingkap masalah. Satu-satunya individu yang mampu memberi penjelasan adalah William Soeryadjaya dan ia memilih diam seraya menunjuk pada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) PT Astra International, sebagai instansi yang mungkin mampu menyingkap sebagian "dari dimensi atau magnitude" persoalan. Ini masuk akal karena jumlah saham yang akan dilepas keluarga William Suryadjaya merupakan petunjuk kuat akan besarnya kerugian dan utang Kelompok Summa tersebut. Keempat alasan itu merupakan faktor-faktor yang harus membuka mata kita akan kondisi yang mungkin dihadapi kelompok Astra atau PT Astra International, setelah sebagian saham keluarga William Suryadjaya dilepas dan dengan begitu memunculkan investor-investor baru. Sebelum membahas kondisi dan prospek PT Astra International, perlu kita ketahui berapa banyak saham yang diperkirakan akan berpindah tangan. Spekulasi berkisar pada angka 30% atau lebih besar dari itu. Untuk lebih persis, perlu diketahui berapa nilai seluruh saham PT Astra International yang kini adalah "company listed", berarti semua saham dapat diperdagangkan di bursa. Tercatat 239.698.000 saham PT Astra International dengan nilai Rp 12.600 per saham (terhitung Jumat 22-5-1992) sehingga kapitalisasi pasar menjadi 3.019,1948 milyar rupiah. Dari jumlah lebih dari tiga trilyun rupiah, saham yang dimiliki William Suryadjaya beserta istri dan anak-anak diperkirakan sekitar 75,87%. Jadi, potensi saham yang bisa di "lepas" keluarga William Suryadjaya mencapai 2,29 trilyun rupiah. Dengan melihat potensi "yang at stake" (Rp 2,29 trilyun), realisasinya baru bisa disebut setelah "pindah tangan". Estimasinya, sekitar 800 milyar rupiah ke atas. Saya sendiri memperkirakan "pindah tangan" akan mencapai jumlah hampir 1,6 trilyun rupiah. Yang pasti perpindahan saham ini cukup rumit sehingga perlu diproses oleh berbagai lembaga keuangan terkemuka yang punya reputasi internasional. Mengapa saya menyebut PT Astra sebagai perusahaan yang mengalami transisi dan sekaligus tranformasi? Diawali dengan transformasi, yang dimaksud adalah perjalanan perusahaan itu sejak didirikan pada 20 Februari 1957 hingga sekarang. Tonggak yang penting adalah kebijaksanaan industri otomotif Orde Baru tahun 1975/1976. Astra sebagai pemasok terbesar produk otomotif, tentu menikmati perlindungan (proteksi) atas industri otomotif, berupa larangan impor atas sedan, kendaraan niaga maupun berbagai produk otomotif lainnya) yang menyebabkan tingkat proteksi efektif (effective rate of protection) mencapai hampir 600%. Transformasi Astra memungkinkan perusahaan dengan 45.000 karyawan ini merekrut 600 insinyur tiap tahun selama tiga tahun terakhir. Yang kurang ditonjolkan adalah bahwa devisa dalam bentuk impor barang modal dan bahan baku masih berjumlah milyaran dolar AS dan harga sedan dan kendaraan niaga tetap amat sangat tingginya. PT Astra juga "kecipratan" danadana APBN yang mengalir deras pada masa boom minyak (1974/1975 dan 1980/1981). Transformasi PT Astra International telah memungkinkan akumulasi aset dan diversifikasi usaha, yang menempatkan kelompok ini pada jajaran pemuncak di antara konglomerat yang ada. Ir. T.P. Rachmat malah menekankan kuatnya likuiditas Astra yang berjumlah lebih dari 600 milyar rupiah. Ini sebetulnya tak perlu, karena dengan membaca neraca konsolidasi untuk tahun 1991 (hingga kini baru satu lembar neraca ini yang disiarkan terbatas, dan laporan tahunan 1991 belum tersedia) terungkap bahwa Astra memiliki utang-utang jangka pendek dan jangka panjang yang cukup berarti. Secara keseluruhan, neraca itu mengisyaratkan bahwa kondisi PT Astra International cukup sehat dan masalah Summa janganlah dikaitkan dengan Astra. Namun, apa pentingnya membahas PT Astra International bagi ekonomi Indonesia? Jawabnya adalah, dengan struktur ekonomi kini di mana sektor industri manufaktur (20% dari PDB) melebihi sektor pertanian (18,5% dari PDB), proses industrialisasi mengacu pada semakin pentingnya pemahaman akan perusahaan-perusahaan. Aspek penting lain dari Astra adalah proses transisi yang dialami sebuah perusahaan keluarga yang menjadi perusahaan publik. Pertemuan Dewan Management Astra dengan pers minggu lalu mengaksentuasikan satu hal bahwa kepentingan manajemen tidak selalu harus seiring dengan kepentingan pemegang saham mayoritas. Apakah setelah "pindah tangan", mayoritas saham masih dimiliki keluarga William Suryadjaya, tidaklah menjadi soal. Fenomena "Public Company" memungkinkan pelembagaan perusahaan yang lebih kuat. Di pihak lain, apa pun yang terjadi, siapa yang bisa membantah legacy dari William Suryadjaya dalam sejarah industri di Indonesia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus