Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon pada 2030 sebesar 29 persen.
Biaya mitigasi perubahan iklim mencapai Rp 343,6 triliun per tahun.
Pemerintah harus mengubah paradigma mengenai dana mitigasi, dari biaya menjadi investasi.
PEMERINTAH Indonesia tak cukup mencantumkan komitmen pengendalian krisis iklim dalam dokumen Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC). Komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030—sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional—itu harus diikuti pelbagai langkah konkret. Begitu pula dengan janji Indonesia untuk mencapai nol karbon pada 2060.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu tak mudah untuk mencapai target tersebut. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memperkirakan Indonesia memerlukan dana sekitar Rp 3.779 triliun dari 2020 hingga 2030 atau sekitar Rp 343,6 triliun per tahun. Faktanya, dalam lima tahun terakhir, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara baru menyumbang sekitar 23 persen dari kebutuhan pembiayaan untuk perubahan iklim, atau rata-rata Rp 266,2 triliun per tahun. Sisa kebutuhan dana mitigasi perubahan iklim yang masih sangat besar tak mungkin ditanggung oleh negara sepenuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan iklim adalah masalah bersama pemerintah, pengusaha, dan masyarakat biasa. Dampak perubahan iklim akan mempengaruhi kehidupan kita semua. Hutan yang gundul akan memicu banjir yang bisa menerjang rumah penduduk, merusak pabrik, atau merusak pusat belanja. Penggundulan hutan di Indonesia mempengaruhi iklim global sehingga negara lain pun akan terkena imbasnya. Asap kebakaran hutan di Sumatera, misalnya, pernah memperburuk udara di Singapura dan Malaysia.
Itulah sebabnya mitigasi perubahan iklim seharusnya melibatkan semua pihak. Masyarakat, misalnya, perlu aktif mengurangi volume sampah rumah tangga. Pengusaha harus menjalankan bisnis dengan menjaga kelestarian lingkungan. Pemerintah seharusnya membuat regulasi yang memudahkan orang atau lembaga untuk berperan dalam pelestarian lingkungan. Pemerintah harus mendukung penuh kegiatan yang membantu mengatasi perubahan iklim dan, sebaliknya, menindak tegas kegiatan yang mencemari lingkungan, merusak hutan, serta menambah polusi.
Pemerintah juga perlu melobi lembaga keuangan internasional, pengusaha lokal dan asing, serta negara-negara kaya untuk bahu-membahu menyediakan dana penanganan perubahan iklim. Untuk itu, perlu ada perubahan paradigma mengenai dana mitigasi: dari biaya menjadi investasi, dari beban menjadi kesempatan. Dengan begitu, kita bisa berharap akan lebih banyak dana pelestarian lingkungan yang mengalir ke Indonesia.
Sebelum mengubah cara pandang pihak lain, pemerintah Presiden Joko Widodo lebih dulu harus meninggalkan pandangan yang mengutamakan investasi tapi mengabaikan keselamatan lingkungan—sebagaimana tecermin dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Pandangan kolot itu harus ditinggalkan karena investasi dalam konteks mitigasi perubahan iklim seharusnya investasi yang ramah lingkungan.
Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP26 tahun lalu mendesak negara-negara di dunia mengurangi penggunaan energi fosil seperti batu bara dan beralih ke energi baru dan terbarukan. Sebagian besar peserta konferensi juga menyatakan komitmennya untuk menghentikan penggundulan hutan dan, sebaliknya, memperluas kawasan hutan. Namun, sekali lagi, komitmen penanganan krisis iklim tak cukup sebatas retorika. Indonesia, bersama negara lain, harus menunjukkan langkah lebih nyata dalam melestarikan bumi ini yang kita pinjam dari generasi yang akan datang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo