Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Salah Urus Batu Bara

Seretnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik dalam negeri berpangkal pada buruknya tata kelola PLN dan pemerintah. Larangan ekspor tak menyelesaikan masalah.

8 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah Urus Batu Bara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah melarang ekspor batu bara untuk memenuhi listrik dalam negeri oleh PLN.

  • Tak semua perusahaan ingkar memenuhi kewajiban menjual batu bara ke PLN (DMO).

  • Skema DMO penuh moral hazard.

KALAU diniatkan sebagai terapi kejut, larangan ekspor batu bara yang diumumkan pemerintah pada awal tahun baru ini boleh dikata telah membawa hasil: pengusaha kelabakan dan politik menghangat selama beberapa hari. Tapi, jika kebijakan itu bertujuan memastikan pasokan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap di dalam negeri tak pernah lagi seret, keputusan pemerintah tersebut keliru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buruk muka cermin dibelah: larangan ekspor batu bara mengabaikan faktor utama sengkarut ini, yakni buruknya manajemen suplai batu bara di PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) serta anak perusahaannya, PLN Batu Bara. Selain itu, tata kelola batu bara di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang lemah. Sudah lama santer terdengar bagaimana gelapnya proses pengadaan batu bara di PLN dan lemahnya pengawasan domestic market obligation (DMO) oleh Kementerian ESDM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurangnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik dalam negeri sebenarnya tercium sejak semester kedua 2021. Pemerintah baru meradang setelah meminta pasokan darurat sebanyak 5,1 juta ton batu bara pada akhir tahun lalu tak bisa dipenuhi pengusaha. Sebanyak 20 pembangkit listrik yang melayani 10 juta konsumen terancam mati. Karena itu semua, pemerintah unjuk kuasa melarang seluruh ekspor batu bara selama Januari 2022 ini.

Keputusan sapu jagat pemerintah tak hanya merugikan pengusaha batu bara yang memenuhi DMO, tapi juga mengancam stabilitas ekonomi negara sahabat. Ada 85 perusahaan, dari 592 perusahaan batu bara, yang sudah memenuhi DMO tahun lalu. Di kawasan Asia, Jepang, Korea Selatan, dan Cina sangat bergantung pada pasokan batu bara kita. Selain berlebihan, kebijakan itu menunjukkan buruknya manajemen energi nasional Indonesia.

Selama ini, kebutuhan batu bara PLN berkisar 130-140 juta ton. Pada 2020, jumlah sebesar itu merupakan 23 persen dari total produksi batu bara nasional, dan bisa dipenuhi para pengusaha batu bara tanpa ribut-ribut. Pada 2021, pasokan hanya terpenuhi kurang dari separuhnya, yakni 63,57 juta metrik ton. Itu hanya mencakup 10 persen dari total produksi. Kekisruhan pun terjadi.

Penelusuran majalah ini menemukan PLN selama ini banyak mengandalkan kontrak jangka pendek untuk pengadaan batu bara mereka. Sebagai perusahaan perdagangan (trader), PLN Batu Bara kerap berurusan dengan perusahaan tambang kecil atau pedagang batu bara yang tak punya komitmen kontrak pengadaan jangka panjang. Model bisnis semacam ini rawan untuk perusahaan yang harus memenuhi kebutuhan publik seperti PLN. Fluktuasi pasar sekecil apa pun bisa mempengaruhi stabilitas pasokan mereka.

Ditambah, PLN tak punya keleluasaan membeli batu bara di atas harga patokan US$ 70 per ton. Itulah kenapa, ketika harga batu bara mencapai US$ 215 per ton, ketersediaan kapal angkut menipis akibat meningkatnya kinerja ekspor sejumlah komoditas. Tanpa kontrak pengadaan jangka panjang, PLN kelimpungan mencari pasokan.

Mereka terperosok dalam lubang yang mereka gali sendiri. Dalam situasi terjepit, upaya terakhir Kementerian ESDM menugasi sejumlah perusahaan memasok batu bara untuk PLN juga sia-sia saja. Pasalnya, sebagian besar tambang batu bara sudah punya kontrak jangka panjang dengan pembeli.

Ke depan, PLN tak boleh lagi bermain-main dengan stabilitas pasokan batu bara untuk pembangkit listrik dalam negeri. Pengadaan batu bara untuk kepentingan publik tak boleh jadi sarana mengejar rente dari selisih harga di pasar. Badan usaha milik negara ini harus menjalin kontrak jangka panjang dengan perusahaan tambang yang bonafide untuk menjamin pasokan.

Kementerian Energi juga harus mengkaji lagi model DMO untuk penyediaan batu bara. Pemerintah bisa meniru tata kelola industri sawit yang mengenakan bea keluar tambahan untuk ekspor sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Kebijakan fiskal yang tepat dapat mendorong keseimbangan pasokan dan permintaan dalam negeri. Model ini juga bisa dirancang untuk mendorong upaya peralihan dari energi kotor ke energi baru dan terbarukan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus