Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Panglima TNI Andika Perkasa berjanji membuat pendekatan baru menyelesiakan konflik Papua.
Seriuskah tentara mau memakai cara damai?
Sebaiknya Andika Perkasa membuktikan kata-katanya segera.
RENCANA Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Andika Perkasa menyelesaikan konflik di Papua dengan cara damai perlu diteruskan dengan langkah nyata. Jika Jenderal Andika serius tak lagi mengedepankan operasi militer, pintu perdamaian di Papua yang telah lama terkunci bisa terbuka kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir November 2021, Andika menginstruksikan TNI agar berfokus pada tugas pokok pembinaan teritorial. Ia juga meminta tentara menjalin dialog dengan masyarakat Papua. Andika pun menemui sejumlah tokoh dan akademikus di Papua dan menyatakan konflik di Papua harus diselesaikan secara damai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Andika tidak cukup hanya berhenti di kata-kata. Usaha merintis jalan damai tidaklah mudah. Apalagi ia memiliki catatan sejarah dalam konflik di Papua. Ia dituduh terlibat dalam pembunuhan Ketua Dewan Presidium Papua Theys Hiyo Eluay pada 2001. Sejarah itu membuat masyarakat Papua tak bisa percaya begitu saja pada pernyataannya. Rakyat Papua pun sudah sering menerima janji perdamaian dan keadilan. (Baca: Aktor Penyulut Serangan dan Kerusuhan Kiwirok, Papua)
Andika bisa menunjukkan keseriusannya dengan membuka berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan tentara. Salah satunya pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani pada September 2020 yang hingga kini tidak jelas kelanjutannya. Hanya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang bisa membuat Jenderal Andika mendapat kepercayaan rakyat provinsi itu.
Keseriusan Andika juga harus ditunjukkan dengan penarikan pasukan non-organik di Papua, yang menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia paling banyak terlibat kekerasan. Panglima juga perlu membatalkan penambahan pos militer yang bisa menaikkan tensi dengan milisi pro-kemerdekaan. Urusan keamanan di wilayah itu semestinya menjadi wewenang kepolisian yang menggunakan pendekatan penegakan hukum.
Andika bahkan tak perlu ragu menyatakan gencatan senjata dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Mustahil ada perdamaian jika dua pihak masih saling memuntahkan pelor. TNI bisa belajar dari Nota Kesepahaman Helsinki tahun 2005 yang mendamaikan pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka. Kala itu, proses perdamaian ikut ditopang oleh gencatan senjata.
Langkah Andika harus didukung oleh lembaga lain. Perdamaian di Papua hanya bisa terwujud melalui dialog dengan Organisasi Papua Merdeka dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Pemerintah bisa menyambut tawaran Komnas HAM untuk memediasi dialog tersebut sambil menyiapkan desain besar perdamaian di Papua yang mengedepankan keadilan dan hak asasi.
Niat pemerintah untuk memunculkan perdamaian di Papua bisa ditunjukkan dengan menghapus berbagai stigma dan diskriminasi terhadap rakyat Papua. Salah satunya dengan mencabut cap teroris terhadap kelompok kriminal bersenjata. Pendekatan humanis ini niscaya bisa menaikkan kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia.
Gencatan senjata dan dialog perdamaian akan berdampak luas terhadap kehidupan rakyat Papua. Termasuk mendukung terpenuhinya hak-hak yang telah lama tercerabut, seperti pendidikan dan perekonomian. Pemenuhan hak itu juga akan mempercepat sekaligus memperkuat perdamaian di Papua. Bukan hanya dengan pembangunan infrastruktur seperti yang ditempuh pemerintah Presiden Joko Widodo selama ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo