Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKU viral maka aku ada. Di Indonesia, mencari keadilan mesti viral dulu. Pemerintah baru akan mendengarkan jeritan rakyat jika ramai dibahas di media sosial. Butuh satu rapat gabungan di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan agar polisi membatalkan penghentian penyidikan kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Mahfud Md., yang memimpin rapat pada 21 November 2022, setuju kasus pemerkosaan terhadap pegawai kontrak Kementerian Koperasi pada Desember 2019 diusut kembali. Polisi menghentikan perkara itu karena merasa sudah melakukan keadilan restoratif, yakni menikahkan korban pemerkosaan dengan satu dari empat pemangsanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurang empati tak hanya menjangkiti polisi kita, tapi juga Kementerian Koperasi. Para pejabat Kementerian yang menjadi keluarga para pemerkosa turut melobi dan membujuk agar korban menerima jalan damai versi mereka. Menteri Koperasi Teten Masduki kemudian hanya memberi sanksi ringan kepada pelaku dan mengizinkan salah satunya menerima beasiswa melanjutkan sekolah.
Tindakan polisi dan Kementerian Koperasi itu ramai diprotes semesta warganet. Korban dan keluarganya yang pemberani lalu mengadukan ketidakadilan itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Bahkan mereka menggugat SP3 itu ke pengadilan. Maka, tibalah rapat gabungan di kementerian yang dipimpin Mahfud Md. itu.
Maka, agar benar negara punya empati dan melindungi hak korban pemerkosaan, polisi tak hanya harus membuka kembali kasus ini, tapi mereka juga harus meluaskan obyek penyidikan ke polisi yang menangani perkara ini dulu. Juga kepada para pejabat Kementerian yang memakai kuasa membujuk korban dan keluarganya menerima opsi pernikahan. Mereka semua harus mendapat sanksi.
Didampingi LBH Apik, LSM yang menangani hak perempuan, keluarga dan korban pemerkosaan menggugat penghentian penyidikan ke pengadilan. Dasarnya adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022. Dalam aturan ini, penyidikan kasus pemerkosaan tak boleh dihentikan, apalagi dalihnya perdamaian lewat pernikahan.
Pasal 4 UU TPKS menggolongkan pernikahan pelaku dengan korban pemerkosaan adalah kejahatan seksual. Isi Pasal 10 bahkan mengatur hukuman atas perbuatan itu adalah 9 tahun bui. Maka, jika gugatan praperadilan itu dikabulkan, polisi punya dasar memakai UU TPKS bagi para pelaku, polisi yang menghentikan kasusnya, dan para pejabat yang memaksakan pernikahan itu.
Pemerkosaan adalah kejahatan primitif yang seharusnya tak terjadi di era modern. Faktanya, penanganan kejahatan ini jauh dari keadilan. Temuan Komisi Nasional Perempuan menunjukkan bahwa hanya 10 persen kasus pemerkosaan berlanjut ke pengadilan. Bahkan 40 persen dihentikan polisi.
Akibat ketidakberpihakan aparatur hukum kepada korban pemerkosaan, survei Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co menunjukkan bahwa 93 persen korban pemerkosaan enggan melaporkan kejahatan yang menimpa mereka ke polisi. Sebanyak 6 persen korban melaporkannya, tapi pelakunya bebas.
Pengusutan kembali kasus pemerkosaan di Kementerian Koperasi harus menjadi momentum polisi dan pemerintah menunjukkan diri berbenah dengan pertama-tama berpihak kepada korban. Jangan menunggu kasusnya viral dulu, baru peduli.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo