Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kabinet Gemuk Prabowo: Ancaman bagi Demokrasi

Presiden terpilih Prabowo Subianto berdalih bahwa pembentukan kabinet gemuk demi stabilitas. Padahal berbahaya bagi demokrasi.

19 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Apakah kabinet gemuk benar-benar diperlukan untuk mencapai stabilitas yang diinginkan?

  • Dalam teori demokrasi yang sehat, kekuasaan yang tersebar luas dan partisipasi masyarakat merupakan pilar utama.

  • Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah cenderung berjalan tanpa kritik yang berarti.

DEMOKRASI memerlukan oposisi. Meskipun kalimat ini terkesan sederhana, pemahaman dan penerapannya sering kali menjadi tantangan bagi banyak pihak. Berbagai faktor, seperti kekuasaan, uang, dan nasionalisme, kerap kali menjadi alasan di balik kurangnya dukungan terhadap keberadaan oposisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam banyak kasus, individu atau kelompok yang berkuasa mungkin merasa terancam oleh suara-suara yang berbeda, sehingga mereka berusaha membungkam oposisi demi mempertahankan posisinya. Hal ini menciptakan lingkungan yang menganggap kritik dan perbedaan pendapat sebagai ancaman, bukan bagian integral dari proses demokratis yang sehat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

​Dalam konteks politik Indonesia, pernyataan ini makin relevan. Dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024 pada 8 Oktober 2024, presiden terpilih Prabowo Subianto mempertahankan keputusan membentuk kabinet gemuk sebagai langkah menjaga stabilitas pemerintahan. Pernyataan itu menjadi kenyataan ketika Prabowo mengundang lebih dari 40 figur publik ke kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, pada 14-15 Oktober 2024, atau sepekan menjelang pelantikannya.

Pernyataan dan langkah Prabowo ini kemudian menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam: apakah kabinet gemuk tersebut benar-benar diperlukan untuk mencapai stabilitas yang diinginkan atau justru berfungsi sebagai alat untuk konsolidasi kekuasaan?

Stabilitas atau Transaksi Politik?

​Prabowo menganggap kabinet gemuk penting, mengingat luasnya wilayah Indonesia dan kompleksitas masalah yang dihadapi. Di permukaan, argumen ini tampak logis. Namun, jika kita telaah lebih mendalam, kabinet gemuk sering kali berfungsi sebagai sarana transaksi politik, bukan kepentingan stabilitas jangka panjang.

Ketika banyak posisi dalam kabinet diisi tokoh-tokoh dari berbagai partai politik anggota koalisi, pembagian kekuasaan ini lebih mencerminkan kompromi politik untuk menenangkan berbagai faksi ketimbang upaya mendorong kebijakan yang progresif dan efisien.

​Model kabinet gemuk mengancam integritas sistem politik Indonesia. Dalam teori demokrasi yang sehat, seperti yang dikemukakan Robert Dahl, kekuasaan yang tersebar luas dan partisipasi masyarakat merupakan pilar utama. Namun, dalam kabinet gemuk, kekuasaan justru terkonsentrasi pada segelintir elite politik yang mengontrol agenda nasional.

Stabilitas tidak dihasilkan dari kesepahaman kebijakan, melainkan kepuasan elite atas distribusi kekuasaan dan sumber daya. Dengan kata lain, stabilitas yang dimaksudkan Prabowo hanyalah stabilitas palsu yang ditopang politik transaksional.

​Prabowo menekankan pentingnya mengikutsertakan banyak pihak dalam pemerintahan untuk menjaga stabilitas. Tapi apakah stabilitas harus didapat dengan mengorbankan oposisi? Demokrasi yang sehat memerlukan oposisi yang kuat sebagai mekanisme kontrol dan keseimbangan.

Kabinet gemuk mempersempit ruang bagi oposisi mengkritik kebijakan pemerintah karena mayoritas partai telah "dibeli" melalui koalisi. Fenomena ini melahirkan apa yang disebut politolog Giovanni Sartori sebagai "hegemonic democracy": oposisi ada secara nominal, tapi tak memiliki kekuatan substansial untuk melakukan pengawasan.

​Ini bukan sekadar soal distribusi kekuasaan, melainkan juga soal matinya fungsi dasar oposisi dalam sebuah demokrasi. Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah cenderung berjalan tanpa kritik yang berarti. Selain itu, kebijakan yang dihasilkan rentan terhadap korupsi dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Demokrasi kehilangan arah ketika oposisi menjadi boneka, hanya ada untuk memberikan kesan demokratis tanpa kekuatan nyata.

Kabinet Gemuk: Efisiensi atau Maladministrasi?

​Dari perspektif administrasi, kabinet besar sering kali mengarah pada inefisiensi. Makin banyak aktor yang terlibat dalam pengambilan keputusan, makin lambat proses birokrasi. Pemikir birokrasi klasik, seperti Max Weber, menekankan bahwa birokrasi yang efektif adalah birokrasi yang rasional dan efisien, dengan struktur hierarki yang jelas dan pendelegasian tugas yang tepat. Kabinet gemuk cenderung mematahkan prinsip-prinsip ini. Sebab, banyaknya aktor politik yang terlibat justru memperlambat pengambilan kebijakan.

​Dalam praktiknya, keputusan yang harus melewati banyak lapisan koalisi cenderung mengalami hambatan yang lebih besar. Perdebatan antarpartai dalam kabinet, yang bertujuan menjaga "stabilitas", sering kali menyebabkan kebijakan tersandera oleh kepentingan sektarian setiap partai. Hasilnya adalah kebijakan yang kurang visioner dan progresif, serta cenderung mengakomodasi kepentingan politik jangka pendek daripada tujuan pembangunan nasional jangka panjang.

​Argumen Prabowo tentang kabinet gemuk sebagai jaminan stabilitas juga tampaknya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sebagaimana yang diutarakan pemikir politik John Stuart Mill, stabilitas politik tidak boleh dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan peran oposisi.

Demokrasi tidak sekadar menjaga ketertiban politik. Demokrasi adalah sistem yang menjamin berbagai kepentingan dapat bersaing secara sehat dan terbuka. Jika stabilitas didasarkan pada pembungkaman oposisi dan penguatan koalisi dengan pembagian kekuasaan, demokrasi akan kehilangan daya kritisnya dan menjadi otokrasi terselubung.

​Demokrasi sejati justru ditandai dengan kemampuan sistem politik menyerap ketidakpuasan, kritik, dan oposisi dalam proses pengambilan kebijakan. Kabinet gemuk, meskipun menjanjikan stabilitas, pada akhirnya menciptakan sistem politik yang kaku dan tidak responsif terhadap aspirasi rakyat.

Implikasi Jangka Panjang

​Dalam jangka panjang, pembentukan kabinet gemuk dapat menimbulkan efek buruk bagi demokrasi Indonesia. Ketika kabinet diisi banyak aktor politik yang mewakili berbagai kepentingan partai, keputusan yang dihasilkan sering kali bersifat kompromistis dan jauh dari optimal.

Kondisi tersebut akan mengarah pada stagnasi kebijakan yang seharusnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Selain itu, kabinet yang besar menjadi beban anggaran negara karena makin banyak pos menteri dan wakil menteri yang harus dibiayai.

​Sebuah pemerintahan yang efisien seharusnya ramping, dengan para pemangku kebijakan yang kompeten dan teruji, bukan orang yang dipilih berdasarkan kepentingan politik semata. Seperti yang dikemukakan Montesquieu dalam teori pemisahan kekuasaan: kekuasaan eksekutif seharusnya bekerja dengan batasan dan kontrol yang jelas. Kabinet gemuk berpotensi merusak keseimbangan ini karena makin kaburnya garis antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang bertransaksi di balik layar.

​Kabinet gemuk yang dibela Prabowo bukanlah jawaban untuk stabilitas demokrasi Indonesia. Sebaliknya, ini ancaman terhadap mekanisme pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Stabilitas sejati harus datang dari sistem yang mampu menampung kritik, perbedaan pandangan, dan oposisi yang kuat, bukan dari pemerintahan yang diisi banyak faksi dengan kepentingan politik transaksional.

​Indonesia memerlukan kabinet yang lebih ramping, efisien, dan berfokus pada kualitas, bukan kuantitas. Pragmatisme politik jangka pendek yang didorong kabinet gemuk hanya akan membawa kemunduran dalam demokrasi. Sudah saatnya kita berpikir ulang dan mulai mempertanyakan apakah stabilitas yang dibayangkan Prabowo benar-benar stabilitas yang kita butuhkan atau penegas buruknya demokrasi di negeri ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Abie Besman

Abie Besman

Dosen Hukum dan Etika Pers Universitas Padjadjaran dan Fulbright Visiting Scholar 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus