Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA batas dari bahasa kita? Dunia kita, jawab Ludwig Wittgenstein, filsuf bahasa yang tersohor itu. Dunia yang diserap manusia adalah dunia yang dipahami melalui bahasa. Manusia memiliki batasan dunia yang tidak sama satu dengan yang lain, bergantung pada bagaimana ia menguasai bahasanya, yakni makna dan kedalamannya yang menggambarkan dunia yang ia alami. Bahasa yang kita gunakan merupakan cermin dari dunia kita, kata Wittgenstein. Dunia itu mencakupi apa saja yang kita alami dalam kehidupan kita, termasuk kebudayaan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat kita berbahasa, menggunakan kata-kata, adalah upaya kita menggambarkan suatu dunia yang kita alami dan pahami. Kata sedih, bahagia, sabar, dan marah merujuk pada suatu perasaan yang kita alami dan rasakan dalam dunia ini. Di sini, bahasa timbul dari dunia yang kita alami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita menamai suatu peristiwa yang kerap kali terjadi dalam kehidupan kita, budaya kita, dengan satu-dua kata. Misalnya, kata ngunjung dalam bahasa Jawa yang berarti mengunjungi atau mendatangi tetangga atau saudara, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, dengan membawa sesuatu, biasanya makanan bagi yang hidup dan doa-doa bagi yang sudah meninggal. Ini biasanya dilakukan saat menjelang Lebaran, yang disebut ngunjung lebaran. Ngunjung dapat juga berarti mendatangi suatu tempat, laut atau gunung, misalnya, dengan membawa sesajen sebagai persembahan kepada kekuatan gaib yang menguasai tempat itu.
Kata ngunjung melekat dengan tradisi masyarakat Jawa dan telah mengalami perluasan makna dari kata asalnya, kunjung. Saya tak mendapati padanan kata ngunjung dalam bahasa Indonesia dengan makna yang sama. Generasi milenial yang tumbuh dan besar di kota metropolitan seperti Jakarta hanya mengenal istilah “memberikan hampers Lebaran” yang memiliki makna lebih sempit daripada ngunjung lebaran. Kata hampers berasal dari bahasa Inggris hamper, yang memiliki arti keranjang anyaman. Keranjang anyaman itu berisi berbagai macam makanan dan minuman yang akan diberikan kepada orang lain.
Contoh lain, frasa kunduran truk dalam bahasa Jawa yang tak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kunduran truk tak dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan kemunduran truk, meskipun asal kata kunduran dari kata mundur. Alih-alih kita akan menerjemahkannya dengan kalimat yang cukup panjang: truk yang bergerak mundur ke belakang karena tidak sanggup menahan bebannya sendiri sehingga menyebabkan truk tersebut menabrak sesuatu. Munculnya frasa kunduran truk mengacu pada peristiwa kunduran truk yang kerap kali terjadi di jalanan menanjak di pelosok-pelosok desa di Jawa terhadap truk-truk dengan muatan berlebihan yang hilir-mudik mengangkut pasir, batu kapur, ataupun tanaman hasil bumi.
Dulu kita mengenal sebutan pembantu rumah tangga daripada asisten rumah tangga. Dulu juga kita hanya mengenal sebutan orang gila daripada orang dengan gangguan jiwa. Selain itu, orang cacat diganti dengan penyandang disabilitas dan pelacur diganti dengan pekerja seks komersial. Perubahan nama-nama tersebut adalah usaha untuk “memperhalus” pengertian sekaligus upaya memaknai ulang dunia dari apa yang disebut itu. Dengan bahasa, kita berusaha memberi makna (batas) pada dunia. Bahasa mengkonsepsi dunia dan memaknainya.
Sebagian manusia menyadari keterbatasan bahasa tulis dan lisan. Bagi mereka, bahasa yang demikian itu tak sanggup memaknai dunianya secara lebih luas, maka dibuatlah karya sastra, film, lukis, tari, dan karya seni lain. Sebagian manusia ini mencoba memperluas jangkauan bahasanya agar dapat lebih luas mengekspresikan pikiran dan perasaan sekaligus upayanya dalam menjangkau dan memaknai dunia ini.
Jika manusia mampu memaknai dunia dengan bahasa yang sedemikian rupa, bagaimana dengan kucing, anjing, kambing, simpanse, dan binatang lain? Tentu dunia para binatang ini terbatas, sebagaimana terbatasnya “bahasa” yang mereka gunakan dan pahami.
Bahasa membuat batas tegas antara manusia dan binatang dalam memahami dunia ini. Saya ingat kisah nyata seekor anjing legendaris bernama Hachiko yang diangkat ke sebuah film. Ia anjing setia yang setiap hari menjemput pemiliknya pulang kerja di stasiun kereta Shibuya di Tokyo. Sang pemilik meninggal dan tak pernah lagi pulang, tapi Hachiko tetap menungguinya di depan stasiun sampai ajalnya pun tiba.
Bahasa adalah semacam permainan, seperti kata Wittgenstein, yang hanya dipahami oleh pihak-pihak yang bersepakat dan terlibat dalam permainan itu. Permainan antara Hachiko dan pemiliknya adalah bahwa mereka akan bertemu setiap sore di stasiun Shibuya. Hanya itu yang dipahami oleh Hachiko. Ia tidak mampu mengantisipasi jika pemiliknya tak muncul di stasiun itu. Makin terbatas bahasa yang ia pahami, makin terbatas pula dunianya. Begitu pula dengan manusia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bahasa dan Batas Dunia"