Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Beradab

Barat dan islam, menurut Samuel Huntington bakal mengalami benturan peradaban. Arief Budiman lebih setuju kalau keduanya mengalami benturan ekonomi. barat dan islam dipakai sebagai bendera, juga pembungkus, kepentingan itu.

30 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA ''Barat'', ada ''Islam''. Keduanya disebut sebagai ''peradaban''. Dan antara keduanya bakal terjadi benturan.... Samuel Huntington: gurubesar terkenal dari Harvard ini menulis dalam Majalah Foreign Affairs, dalam nomor musim panas 1993 yang lalu. Ia meramal bahwa kelak benturan akan terjadi antara ''peradaban Barat'' dan ''peradaban Islam''. Benar atau tidak ramalan ini, rupanya ada sesuatu yang membangkitkan perhatian orang, tak cuma pembaca majalah Foreign Affairs. ''Sesuatu'' itu bisa bermacam-macam. Pertama tentulah karena ia ditulis oleh seorang gurubesar dari Harvard yang pernah menulis sejumlah buku yang terkenal. Kedua karena ia tampaknya menyentuh apa yang ingin diutarakan oleh banyak orang, setelah menyimak, seperti Huntington menyimak, kejadian internasional selama beberapa waktu ini kejadian yang tak semuanya enak, tapi terkadang memenuhi nafsu kita untuk marah dan curiga. Ada Revolusi Islam Iran, yang menganggap Amerika ''Si Setan Besar''. Ada Perang Teluk, antara Irak dan Amerika Serikat dan sekutunya, yang oleh Saddam Hussein, pemimpin Irak itu, digambarkan sebagai perang antara Islam dan Amerika. Ada Lybia, yang digedor terus oleh Washington dan Pentagon. Dan kemudian ada bom yang meledak di World Trade Centre, yang katanya disulut oleh sejumlah orang Islam dari Mesir yang masuk ke New York. Banyak orang ingin menyimpulkan bahwa ada konflik memang antara ''Islam'' dan ''Barat'' dan tiba-tiba, alangkah tepatnya, Huntington datang merumuskan. Maka orang pun bertepuk, mengangguk, atau menyelenggarakan diskusi. Pekan lalu saya ikut dalam salah satu diskusi itu. Penyelenggaranya Majalah Ulumul Qur'an, dan dengan saya berbicara juga Arief Budiman dan M. Dawam Rahardjo. Baik Arief Budiman maupun Dawam Rahardjo rupanya membaca Huntington lebih seksama ketimbang saya: keduanya menyimpulkan bahwa Huntington pada dasarnya hanyalah mengartikulasikan purbasangka orang Amerika umumnya tentang apa yang sedang terjadi antara negeri mereka dan banyak negeri di Timur Tengah: purbasangka bahwa ''Islam'' memang datang memusuhi ''Barat'' (meskipun ''Barat'' di sini ternyata cuma Amerika). Dengan kata lain, Huntington bukanlah penganjur permusuhan antara ''peradaban Barat'' dan ''Islam''. Ia hanya perumus. Lagi pula, baik Arief Budiman maupun Dawam Rahardjo tidak setuju bahwa akan ada benturan peradaban. Yang akan (dan sudah) ada hanya benturan kepentingan ekonomi. ''Barat'' atau ''Islam'' hanya dipakai sebagai bendera, juga pembungkus, kepentingan itu. Mendengarkan Arief Budiman dan Dawam Rahardjo, saya ikut mengangguk-angguk. Saya juga tak setuju bahwa ada, atau akan ada, benturan ''peradaban Barat'' dan ''Islam'' tetapi pada dasarnya karena saya tak yakin bahwa kita bisa berbicara tentang ''peradaban'' seakan-akan itu suatu wujud yang jelas, suatu kekuatan tersendiri. ''Peradaban'', apalagi ''peradaban Barat'', (siapa yang sudah pernah melihatnya, sebenarnya, secara utuh?) hanyalah sebuah konstruksi mental: sebuah bangunan yang tanpa kelainan, tanpa ambiguitas, tanpa kontradiksi. Saya mengangguk, karena kebetulan saya sebelumnya sudah mengangguk-angguk kepada sebuah pendapat lain: pendapat Fouad Ajami. Ia menulis, juga di Foreign Affairs, menanggapi tulisan Huntington dan menunjukkan satu pasase kecil dari buku Sejarawan Ferdinand Braudel tentang negeri-negeri Laut Tengah), The Mediterranian and the Mediterranian World in the Age of Philip II. Braudel melukiskan satu kesibukan yang terjadi antara Dunia Kristen dan Islam di abad ke-16, sebuah zaman genting antara dua penganut agama itu, setelah jatuhnya Konstantinopel ke tangan penguasa Turki dan jatuhnya Granada ke tangan penguasa Spanyol. Di balik kegentingan itu, kata Braudel, ''Manusia lewat pergi dan tiba, tak peduli akan tapalbatas, negara, dan keimanan. Mereka lebih sadar akan kebutuhan akan perkapalan dan niaga, susah payahnya peperangan dan pembajakan, dan kesempatan untuk bersekutu dan berkhianat yang dibukakan oleh keadaan.'' Itu di abad ke-16. Jika kita lihat yang terjadi kini, itu juga tabiat di abad ke-20 dan mungkin abad ke-21 sebentar lagi. ''Negeri-negeri pintar mengakali. Mereka main sulap dengan identitas dan kepentingan,'' tulis Ajami. Identitas ''Barat'' atau ''Islam'' bisa dicopot dan diistirahatkan (Turki adalah anggota NATO, dan ingin masuk ''klub'' ekonomi Eropa, dan Amerika Serikat bisa bilang ia sebuah negeri Pasifik), dan akhirnya di mana batas ''peradaban'' itu sebenarnya? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum