PENGADILAN Negeri Medan, pekan-pekan ini, menyidangkan perkara dua tokoh Sumatera Utara. Yaitu Raja Inal Siregar, gubernur Sumatera Utara, melawan Budiman alias Tamiyo, yang selama ini dikenal sebagai godfather WNI keturunan Cina di sana. Budiman adalah pemilik dua hotel mewah, sejumlah real estate, dan aktif dalam 30 organisasi sosial. Dalam gugatannya, Raja Inal minta agar pengadilan membatalkan kepemilikan Budiman atas sebidang tanah dan bangunan karena Budiman dinilai memperoleh semua itu secara tidak sah. ''Hak pakai atas tanah tersebut telah berakhir 13 tahun lalu,'' kata Nurdin Lubis, kuasa hukum Raja Inal. Tanah yang dimaksudkan itu seluas 4.673 meter persegi dan berada di jantung kota Medan. Di atas tanah itu, kini, berdiri gedung bertingkat delapan, sekolah, dan rumah tinggal. Dulunya, hak pakai tanah itu dikuasai oleh Perkumpulan Sosial Hok Kian Hwe Koan yang menghimpun warga Cina dari Provinsi Hokkian di Cina. Menurut Nurdin, pengacara Raja Inal itu, ''Organisasi itu terlarang di Indonesia.'' Ia merujuk ke peraturan tahun 1959 (Surat Keputusan Penguasa Perang Daerah) tentang larangan adanya organisasi yang didirikan oleh dan atau untuk warga negara dari negara asing yang tidak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia. Sebenarnya, di tahun 1985, ''nasib'' tanah itu sudah jelas. Pengadilan Negeri Medan pada Maret 1985 sudah menetapkan bahwa harta-harta bekas Hok Kian Hwe Koan tak bertuan. Dan di koran Analisa terbitan 27 November 1985 sudah dipasang pengumuman bahwa Balai Harta Peninggalan menyatakan perkumpulan Hok Kian Hwe Koan dalam keadaan afwezig (tidak hadir). Artinya, organisasi itu sudah dianggap tidak ada. Ternyata, ada satu pengurus Hok Kian yang masih hidup, yakni Lim Soe Kie jabatannya adalah sekretaris. Membaca koran itu, Lim langsung protes. Ia mengirim surat ke pengadilan dan Balai Peninggalan Harta. Tapi, karena Lim ada masalah dengan pihak keamanan, ia memberi kuasa pada anaknya, Thamsir, untuk mengurus tanah itu. Nah, Thamsir inilah yang memberi kuasa lagi kepada Budiman. Maka, majulah Budiman yang antara lain menjabat ketua Badan Komunikasi Persatuan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) ke Pengadilan Negeri Medan. Ia, atas nama pengurus Hok Kian, minta penetapan dari pengadilan bahwa organisasi itu masih ada. Ternyata pengadilan mengukuhkan permintaan Budiman. Lewat penetapan tahun 1988, pengadilan menyatakan perkumpulan Hok Kian masih ada. Lalu pengadilan memerintahkan Balai Harta Peninggalan untuk menyerahkan aset itu kepada Budiman. Langkah selanjutnya adalah membenahi organisasi Hok Kian. Thamsir, yang anak satu-satunya pengurus itu, menyelenggarakan rapat umum Hok Kian. Dalam rapat diputuskan bahwa organisasi itu berganti wajah menjadi Yayasan Sumber Bina Kasih. Yayasan itu melebarkan sayap menjadi perkumpulan nasional, artinya anggotanya tidak melulu orang Hokkian. Maka Budiman masuk dan terpilih sebagai ketua yayasan itu. Dalam rapat itulah lahir satu keputusan penting. ''Yaitu menghibahkan seluruh aset Hok Kian Hwe Koan kepada Yayasan Sumber Bina Kasih,'' kata Pantun Situmorang, pembela Budiman. Namun, menurut Nurdin Lubis, pengacara Raja Inal, sepak terjang Budiman mencari kepastian hukum itu mengada-ada. Menurut Nurdin, kedudukan Budiman sebagai kuasa hukum Thamsir dianggap tidak sah. Maka, katanya, penetapan hukum pengadilan Medan, 1988, itu pun cacat hukum. ''Penetapan pengadilan yang terbit dari kuasa yang cacat hukum harus dibatalkan,'' kata Nurdin, yang sehari-hari kepala biro hukum kantor Gubernur Sum-Ut. Oleh karena itu, Raja Inal menggugat orang-orang dari perkumpulan Hok Kian itu ke pengadilan, termasuk Lim Soe Kie dan Thamsir, dan juga Budiman. Tuntutannya, agar Pengadilan Negeri Medan menyatakan tanah dan bangunan yang dikuasai Yayasan Sumber Bina Kasih itu menjadi harta negara dan berada di bawah pengawasan gubernur. Mereka yang sekarang memanfaatkan tanah itu, kata Nurdin, tak usah khawatir. ''Gugatan ini hanya untuk memulihkan hak saja. Jika kami menang, mereka yang menyewa tidak lagi membayar sewa ke Budiman, tapi kepada negara,'' katanya. Sayangnya, TEMPO tak dapat menghubungi Budiman. Ia sedang memeriksakan kesehatan di luar negeri. Menurut pengacaranya, Pantun Situmorang, Budiman merasa terkejut dan tidak menyangka akan digugat gubernur. ''Namun, Budiman merasa sangat siap,'' katanya. Secara yuridis, kata Pantun, kliennya memiliki harta itu dengan sah. ''Dan Hok Kian bukan organisasi terlarang,'' katanya seraya memberi bukti adanya izin Pangkopkamtib 9 September 1987 bagi anggota perkumpulan Hok Kian untuk mengadakan rapat umum. ''Ini bukti perkumpulan itu tidak dilarang,'' katanya. Yang dibicarakan oleh orang-orang Medan: mengapa baru kini penetapan lima tahun lalu itu dipersoalkan. Maka berkembanglah desas-desus bahwa Budiman, yang ketua Bakom PKB itu, tak mendukung pencalonan Raja Inal sebagai gubernur tempo hari. Budiman mendukung dan penyandang dana untuk kandidat gubernur H. Mudyono, Ketua DPRD Sum-Ut yang akhirnya kalah dalam pemungutan suara. Baik pengacara Budiman sendiri, maupun pembela Raja Inal, membantah keras desas-desus itu. Raja Inal sendiri hanya berkomentar pendek. '' Ah, itu hanya isu. Jangan dilayani,'' katanya. Bunga S., Bersihar Lubis, dan Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini