Didik J. Rachbini
Pengamat ekonomi dari Indef
GLOBALISASI dalam analisis pemenang Nobel ekonomi tahun 2001, Joseph Stiglitz, memberi makna berbeda bagi negara-negara yang telah mengadopsinya. Ada negara-negara yang menikmati manfaat globalisasi secara meluas dan merata, seperti yang terjadi di Asia Timur, Jepang, dan sekarang sedang dirasakan oleh ekonomi skala besar Cina. Tetapi, di banyak negara lain, globalisasi hanya bermanfaat bagi sedikit orang. Bahkan tidak jarang globalisasi memberi dampak negatif yang menyakitkan, antara lain berupa konflik dengan entitas sistem sosial dan ekonomi lokal, disparitas pendapatan, jurang kaya-miskin, dan lain-lain. Gejala ini terlihat di Ame-rika Latin, Eropa Timur, Indonesia, Filipina, dan lainnya.
Mengapa terjadi perbedaan seperti ini? Jawaban dari ekonom Universitas Columbia ini karena, pada golongan pertama, globalisasi dikendalikan secara mandiri oleh pemimpin, politikus, ekonom, dan teknokratnya. Jepang, Korea, Taiwan, dan Cina mengendalikan sendiri gerak dinamika pasar sesuai kebutuhannya. Sementara itu, pada golongan kedua dicampuri oleh tangan panas IMF atau Bank Dunia, yang ternyata tidak mengerti sistem sosial-politik dan ekonomi negara yang mereka tangani, terutama dalam hal dinamika dan inter-relasi antara keduanya. Ketidakpahaman ini kemudian menjadi kecelakaan dan malapraktek, seperti di Indonesia, Argentina, Brasil, dan Rusia.
Karena itu, lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia lalu menjadi sasaran kritikan tidak saja dari kalangan aktivis LSM dunia, tetapi juga dari intelektual dan ekonomi kenamaan seperti Stiglitz, Jefrey Sachs, dan lain-lain. Kedua lembaga tersebut sudah dianggap out of date dalam menangani masalah global dan tidak profesional membantu negara-negara anggotanya di dunia ketiga. Tuduhan tersebut bahkan sampai menyangkut personelnya, yang dianggap sebagai kelompok ekonom kelas tiga.
Stiglitz menilai IMF sebagai institusi yang buruk politik sekaligus buruk ekonomi (bad politics and bad economics). Ini bukan tuduhan mengada-ada karena ekonom sekelas Stiglitz punya argumen yang kuat tentang kesalahan fun-damental dari kebijakan IMF di negara berkembang. Tapi kedua lembaga ini cukup bebal sehingga, atas nama korban globalisasi yang salah kaprah, aktivis dunia melakukan protes massal di Seattle sejak 1999. Ritual protes berskala besar itu terus dilakukan setiap dua lembaga ini bersidang.
Lembaga keuangan dunia ini melakukan kesalahan yang fundamental karena memaksakan ideologi fundamenta-lisme pasar (market fundamentalism). Ideologi ini setelah dipraktekkan ternyata salah kaprah, buruk secara ekonomi dan politik. Ekonom IMF memandang bahwa sistem eko-nomi di negara sedang berkembang berdiri di ruang hampa, tanpa norma, tanpa sistem sosial, politik dianggap given, dan asumsi naif lain. Karena itu, kebijakan yang dibuat menjadi tak rasional secara politik, biaya sosialnya mahal, dan lalu secara otomatis menggagalkan kebijakan ekonomi itu sendiri karena tindakan kolektif tidak terwujud.
Ekonom IMF buta sosial dan politik. Kebijakan ekonomi yang dilaksanakan dengan ideologi fundamentalisme pasar tak diikuti oleh visi sosial yang luas. Akhirnya, karena kenaifan itu, hambatan kebijakan kian besar, terutama yang berasal dari tantangan sosial-politik. Krisis keuangan yang menular ke dalam krisis ekonomi yang luas dan krisis sosial dan politik adalah contoh malapraktek kebijakan IMF.
* * *
Sejak 1998 Indonesia telah masuk ke ekonomi pasar dan ekonomi global saat deregulasi dipercepat dengan dorongan Bank Dunia dan IMF. Sebenarnya, lima tahun sebelumnya juga sudah ada antisipasi kebijakan masuk ke dalam ekonomi pasar ketika kegiatan ekspor dan investasi dipercepat.
Rancangan ekonomi pasar sesungguhnya telah dimulai sejak 1967 ketika Undang-Undang PMA dibuat untuk me-narik modal asing, terutama di sektor pertambangan. Tapi, dalam sepuluh tahun perjalanannya terasa lambat sehingga ada inisiatif untuk melakukan kebijakan pasarisasi pada awal 1980-an, atau tepatnya tahun 1983 ketika perbankan digiring ke pasar — kendali suku bunga dilepaskan dari tangan pemerintah. Sejalan dengan itu, kegiatan ekspor didorong dan kemudian menemukan kinerjanya yang cukup baik di pasar internasional karena banyak komoditas yang unggul dan kompetitif.
Tangan Bank Dunia masuk lebih dalam melalui Pakto 88, yang memaksakan restrukturisasi lembaga keuangan dan perbankan secara sangat liberal dan tanpa perhitungan yang cermat. Ini sebuah kebijakan yang naif tetapi secara sembrono dituruti oleh teknokrat Indonesia. Inilah bentuk fundamentalisme pasar itu, menurut pengertian Stiglitz. Akhirnya, Indonesia secara bertahap berada di pinggir jurang dan tergiring masuk ke dalamnya. Cara-cara memaksakan kebijakannya adalah ancaman penghentian utang.
Dari tangan Bank Dunia dan IMF yang panas itu, sistem keuangan dan perbankan berkembang menjadi super-besar, tapi super-rapuh. Pakto 88 merancang bank seperti toko kelontong. Karena itu delapan tahun kemudian, ketika terjadi fluktuasi keuangan global, perbankan Indonesia begitu mudahnya runtuh. Intervensi panas IMF beraksi kembali dengan kebijakan amputasi bank dengan nalar berpikir: bank yang buruk silakan minggir dan yang baik berfungsi kembali. Cara berpikir yang naif seperti ini ternyata salah seratus persen karena yang terjadi sebaliknya, yakni bank run. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal utang domestik sebesar Rp 650 triliun dan bisa membengkak menjadi Rp 1.500 triliun dalam beberapa tahun ke depan.
Dampak malapraktek itu telah menular dari sektor moneter ke sektor fiskal dan sektor ekonomi secara keseluruhan. Sistem sosial-politik yang terpuruk tidak lepas dari pengaruh tangan-tangan yang tidak profesional tersebut. Indonesia hanyalah salah satu korban IMF dan ekonom kompradornya. Inilah yang disebut buruk ekonomi dan buruk politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini