Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NEPOTISME adalah upaya mengkonsentrasikan kekuasaan. Ia menempatkan keluarga atau orang yang intim ke dalam organisasi politik ataupun ekonomi sehingga menjadi satu unit kekuasaan dan—bila diperlukan—untuk memperpanjang kekuasaan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik nepotisme dimulai pada tahun 1000-an dalam kekuasaan Paus Gereja Katolik. Pada 1015, Paus Benediktus VIII mengangkat Giovanni dan Teofilatto, saudara dan sepupunya, menjadi kardinal-diakon. Giovanni kemudian menjadi Paus Yohanes XIX dan Teofilatto menjadi Paus Benediktus IX.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nepotisme lalu dilembagakan dan menguat dari Era Kegelapan di abad ke-13 hingga ke-17. Sejak abad ke-13, nepotisme diinstitusikan sebagai Cardinale Nipote. Para paus secara sengaja memberikan hak istimewa kepada keponakan mereka untuk menjadi anggota Kekardinalan. Para sanak famili mendapat wewenang memimpin kota-kota keuskupan utama, administrasi pemerintahan, dan hak suara dalam Conclave untuk memilih paus berikutnya. Klementius VI terkenal sebagai paus paling nepotis dengan mengangkat enam keponakannya di Cardinale Nipote pada 1342.
Dalam sejarah kekuasaan para paus, nepotisme dibela dengan alasan untuk menghindari kekerasan. Paranoia para pembela nepotisme: keponakan dan kerabat bisa menjaga paus dari dalam, terutama untuk melindunginya dari upaya pembunuhan memakai racun. Mereka dianggap lebih selfless, bisa diandalkan, dan memberikan loyalitas penuh kepada paman-paman mereka yang sedang bertakhta (Karen Lloyd, 2022).
Setiap kekuasaan despotik mengandung benih tragedi di belakang hari. Nasib Gian Pietro Carafa atau Paus Paulus IV (bertakhta pada 1555-1559) dan tragedi wangsa Carafa bisa menjadi pelajaran. Selama berkuasa, rezim Paulus IV terkenal lalim. Ia menerapkan inkuisisi brutal, menekan kaum reformis di kalangan Gereja Katolik, memperkuat doktrin “keselamatan hanya ada di dalam Gereja” secara keras.
Di bulan-bulan awal kekuasaannya, Paulus IV mengangkat keponakan tertuanya sebagai Jenderal Kapten Gereja. Sementara itu, keponakan lain ia angkat sebagai Gubernur Borgo, distrik penting di Roma. Adapun suami keponakan perempuannya menjadi Jenderal Batalion Negara Kepausan. Yang paling krusial, Paulus IV menganugerahi keponakan mudanya, Carlo Carafa, sebagai kardinal yang mengurus kehidupan paus sehari-hari, melakukan diplomasi negara, serta menjalankan tugas sebagai penasihat politik. Keluarga Carafa pun menjadi keluarga paling terhormat sekaligus paling dibenci rakyat Roma (Miles Pattenden, 2013).
Kepemimpinan otoriter dan kesalahan dalam taktik politik luar negeri itu membuat Paus Paulus IV dibenci di dalam ataupun luar Roma. Takhtanya pun berumur pendek. Menjelang sakratulmaut Paus, sejarawan mencatat, rakyat berkumpul menunggu kabar kematiannya dengan antusias. Begitu kematiannya diumumkan, dalam beberapa jam, patung-patungnya dirobohkan dan dipenggal, palazzo dan kapel keluarganya dijarah lalu dibakar.
Keluarga menguburkan jasadnya secara kilat dan sembunyi-sembunyi untuk menghindari pelecehan jenazah. Beberapa saat setelah kematiannya, hampir semua anggota keluarganya dibunuh. Pada 1560, Paus Pius IV yang menggantikannya menghukum mati Kardinal Carlo Carafa, keponakan tersayang Paus Paulus IV. Carlo dieksekusi dengan cekikan.
Menyambut kematian Paulus IV, satir anonim ditulis di bawah patung-patung Kota Roma:
At the beginning of your reign, Paul,
You crushed everything under your feet,
But raised your relations and your monks,
And protected them under the shade of your wings.
You looked down upon the old and young alike,
Refusing to listen to princes or the Roman people
And expelling cardinals and bishops.
What now from here, Paul?
Paus Innosensius XII akhirnya menghapus praktik nepotisme Cardinale Nipote pada 1692.
Di era modern, nepotisme ditolak karena dekat dengan korupsi dan kediktatoran. Proklamasi Indonesia menempatkan nepotisme sebagai bahaya bagi kemerdekaan.
Pada 10 Juli 1945, dalam sidang pembahasan bentuk negara oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Muhammad Yamin menyatakan “monarki tentulah dapat didirikan dinasti, atau dinasti baru atau dipilih dinasti satu dari pada dinasti-dinasti yang ada di tanah kita ini… dinasti baru adalah satu kemungkinan yang semata-mata menolak datangnya Indonesia Merdeka... berhubungan dengan pembagian kekuasaan dalam Negara yang monarki yang acapkali dapat anggapan sistem oligarki, atau suatu pemerintahan kekeluargaan”.
Para pendiri Indonesia menegaskan dinasti yang identik dengan nepotisme adalah kekuasaan berbasis relasi kekeluargaan. Cara ini meremehkan prinsip republik yang mengutamakan kedaulatan rakyat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cardinale Nipote"