Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA arti kekayaan? Kini ia mungkin berarti seorang anak berkendara Rubicon yang tidak kenal perbedaan antara kenakalan dan kejahatan, 68 tas mewah yang disita Komisi Pemberantasan Korupsi dari mantan pejabat pajak, pungutan liar rektor, atau jalinan kemewahan yang dinamis antara pejabat Bea-Cukai dan kroni serta keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di media sosial tampak jelas kemuakan atau kebencian moral publik terhadap apa pun yang berhubungan dengan kekayaan mereka, terutama sikap orang-orang kaya tersebut. Namun tidak demikian dalam kasus selebritas. Raffi Ahmad, misalnya, baru saja mengundang tiga anggota grup K-pop NCT ke rumahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang ditampilkan Raffi akan dianggap hiburan sekaligus satire betapa orang kaya bisa melakukan apa saja. Kaya mah bebas. Siaran kekayaan para selebritas terkadang menjadi dasar untuk menertawakan kemiskinan.
Dalam folklor, orang kaya yang punya masalah moral, seperti serakah dan sombong, biasanya digambarkan berakhir tragis. Apalagi jika kekayaan itu hasil dari keberuntungan yang tak terduga. Orang sombong yang memang kaya sejak lahir sepertinya akan lebih dimaafkan, alih-alih orang miskin yang sombong karena kaya mendadak.
Salah satunya cerita dari Indonesia berjudul Peladang yang Loba (1976) yang diceritakan kembali oleh Djauhari Balik. Si peladang menyelamatkan seekor tikus dari cengkeraman elang. Sebagai balas budi, tikus selalu membawakan sebutir emas setiap malam untuknya.
Anda pasti bisa menebak kelanjutan ceritanya. Peladang serakah ini tidak puas dengan butir demi butir emas dan akhirnya mati karena mengejar kerakusannya sendiri. Kekayaan harta tanpa welas asih, bahkan kepada diri sendiri, adalah kosong dan sia-sia. Begitu kira-kira pesannya.
Belakangan ini kekayaan juga meramaikan ranah bahasa. Persepsi kaya sebenarnya masih tetap klasik, seperti punya banyak tanah atau aset, tinggal di rumah besar, punya mobil mewah, atau berlibur di luar negeri. Yang menonjol adalah istilah untuk fenomena ini, seperti crazy rich, kaya raya, kaya tujuh turunan, tajir mlintir, dan sultan.
Sementara kekayaan dirayakan begitu ramai, kemiskinan, sebaliknya, cenderung membuat gamang. Lihatlah bagaimana Kementerian Sosial memandang keluarga prasejahtera. Ingat, prasejahtera, bukan miskin, kere, apalagi melarat.
Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial menerbitkan aturan pada 2019 tentang pemasangan daftar keluarga penerima bantuan sosial di tempat umum. Salah satu penerapannya adalah stiker atau tulisan di dinding yang berbunyi “Keluarga Miskin” diganti dengan “Keluarga Prasejahtera” untuk menjaga martabat keluarga dan, terutama, kenyataan bahwa negara memang belum menyejahterakan rakyatnya.
Strategi berbahasa pemerintah ini mengandung kesopanan yang ganjil, mengedepankan penghalusan, dan dipercaya sebagai cara untuk menciptakan harmoni sosial. Kemiskinan perlu diperhalus dengan istilah sedatar mungkin. Mengatakan “miskin” secara moral tampaknya sangat menyakitkan sehingga digunakanlah istilah lain, seperti “prasejahtera”, “kurang mampu”, “belum mapan”, atau “kelas bawah”.
Tidak ada orang yang benar-benar bangga disebut atau menyebut diri “kere”, “miskin”, “fakir”, apalagi “miskin tujuh turunan”, kecuali dalam parodi kemiskinan di media sosial buatan content creator, yang pasti tidak miskin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kaya Mah Bebas"